LATAR BELAKANG
Dewasa ini semakin maraknya perbuatan main hakim sendiri di negara Indonesia. Aktivitas warga masyarakat dalam menanggapi fenomena kerawanan sosial memang mencakup banyak hal, seperti mempersenjatai diri, meningkatkan siskamling, ronda, membentengi pemukiman dengan tembok tinggi, membayar satuan pengaman dan lain-lain.
Di tengah suasana dan atmosfer seperti itulah kita mendapati sikap petugas keamanan yang mulai tegas terhadap penjarah, seperti dalam pemberitaan juga selalu menampilkan adanya para warga yang memukul para pelaku kejahatan seperti pencurian dan pemerkosaan. Bahkan ada kasus maling yang gagal maling motor, warga tetap memukul pelaku tersebut sampai babak belur.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008), main hakim sendiri diartikan sebagai menghakimi orang lain tanpa mempedulikan hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dsb). Berarti segala hal penyiksaan yang dilakukan pada warga terhadap para pelaku tanpa melalui proses yang sesuai hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan main hakim sendiri.
Dari pandangan itulah perlu adanya peraturan yang tegas dalam menghadapi fenomena yang terjadi di masyarakat terhadap adanya perbuatan main hakim sendiri.
HUKUM DALAM BELA PAKSA
Di Indonesia, peraturan perundang-undangan kita, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus mengenai main hakim sendiri. Akan tetapi, bukan berarti KUHP tidak dapat diterapkan sama sekali jika terjadi perbuatan main hakim sendiri.
Dalam konteks pembicaraan ini kita melihat bagaimana ketentuan hukum pidana mengatur mengenai pembelaan diri seseorang menghadapi kejahatan yang menimpa. Apakah tewasnya sang tersangka dapat dijustifikasi hukum?
Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan, "Barang siapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hukum dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum”.
Sesuai dengan rumusan itu, pembelaan diri tidak boleh melampaui batas yang ditentukan, kecuali apa yang ditetapkan dalam ayat (2) dari pasal yang sama, yang berbunyi, "Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum". Pasal 49 KUHP mengatur mengenai apa yang dikenal dalam hukum pidana sebagai bela paksa (ayat 1) dan bela paksa lampau batas (ayat 2). Dengan menggunakan dasar penghapus pidana pada pasal itu, orang yang terpaksa melukai pencuri misalnya dapat tidak dipidana asal tindakan itu sesuai dengan unsur-unsur bela paksa tersebut.
R. Soesilo (1988) menyatakan bahwa orang dapat mengatakan bahwa dirinya dalam "keadaan darurat” dan tidak dapat dihukum itu harus dapat memenuhi tiga syarat. Pertama, perbuatan itu harus terpaksa untuk mempertahankan (membela). Pertahanan atau pembelaan itu haruslah amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Harus ada keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain. Bila penyerang dapat dibuat tidak berdaya misalnya, berarti pembelaan dengan kekerasan itu tidak dapat dipandang sebagai bela paksa.
Kedua, pembelaan itu hanya dapat dilakukan terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal 49 itu, yaitu badan, kehormatan (dalam arti seksual) dan barang diri sendiri maupun orang lain.
Ketiga, harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau ketika itu juga. Jika, misalnya seorang pencuri dan barangnya telah tertangkap, sehingga orang tidak boleh membela dengan memukuli pencuri itu, karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri.
Aturan mengenai dasar penghapus pidana itu juga dikenal dalam hukum pidana negara-negara lain. Dengan aturan-aturan tersebut sebenarnya hukum pidana memberi suatu sarana normatif kebolehan seseorang membela diri dari suatu serangan yang melawan hukum atau suatu tindak pidana. Namun, tentu saja agar hal itu tidak dilakukan secara semena-mena dan melecehkan hukum serta hak asasi setiap orang, hukum pidana juga memberi batasan normatif dengan menyebut syarat-syaratnya.
Jadi, jika kita melihat semata-mata secara hukum positif, sehingga sindrom main hakim sendiri yang ramai terjadi dan tidak jarang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang (yang mungkin saja bukan pelaku sesungguhnya), itu sudah tidak memenuhi ketentuan lagi.
Namun, persoalannya tentu tidak sesederhana itu, sebab kita juga perlu melihat lebih jauh pada akar persoalan di dalam kehidupan sosial masyarakat. Berbagai faktor eksternal juga berpengaruh. Misalnya kekurang berdayaan petugas dalam melumpuhkan aksi-aksi penjahat, ketidakmampuan sistem peradilan pidana menurunkan atau menekan angka kejahatan, kekurang efektifan lembaga peradilan dalam membuktikan kesalahan pelaku atau kekurang berhasilan lembaga pemasyarakatan dalam meresosialisasi.
PIDANA BAGI PELAKU MAIN HAKIM SENDIRI
Dalam Undang-Undang no. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal 4 dan 33 ayat (1) yang di mana apabila kedua pasal tersebut disimpulkan bahwa perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum juga dan melanggar hak asasi manusia.
Dalam hal terjadinya tindakan main hakim sendiri, bagi korban tindakan tersebut dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang antara lain atas dasar ketentuan-ketentuan berikut:
Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan
Dalam penjelasan Pasal 351 KUHP oleh R. Sugandhi, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka.
Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang mengakibatkan luka atau cidera.
Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan
Dalam penjelasan Pasal 170 KUHP oleh R. Sugandhi, kekerasan terhadap orang maupun barang yang dilakukan secara bersama-sama, yang dilakukan di muka umum seperti perusakan terhadap barang, penganiayaan terhadap orang atau hewan, melemparkan batu kepada orang atau rumah, atau membuang-buang barang sehingga berserakan.
Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan di depan umum.
Pasal 406 KUHP tentang Perusakan
Dalam penjelasan Pasal 406 KUHP oleh R. Sugandhi, perusakan yang dimaksud mengakibatkan barang tersebut rusak, hancur sehingga tidak dapat dipakai lagi atau hilang dengan melawan hukum.
Dengan demikian, bagi korban tindakan main hakim sendiri dapat melapor pada pihak kepolisian atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut di atas.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah sebagai berikut:
Bahwa dalam melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hukum dan mengancam serta memukuli pencuri dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.
Dalam perlakuan main hakim sendiri telah melanggar hak asasi manusia dan juga dapat diancam dengan tindak pidana KUHP.
Saran untuk berbagai instansi pemerintah untuk selalu menyosialisasi tentang kejadian main hakim sendiri dan ancaman tindak pidana jika ada terjadi hal demikian. Juga saran untuk masyarakat untuk selalu membuka mata agar tidak selalu memukuli para pencuri. Mereka juga punya hak untuk membela diri dari tuduhan apalagi adanya praduga tak bersalah.
DAFTAR PUSTAKA
“Main Hakim Sendiri.” Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Edisi 4. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1980.
Undang-Undang no. 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
0 komentar :
Post a Comment