February 2015 ~ a Riswan Hanafyah's Blog project

Selamat Datang di McRizzwan!

Sempatkan waktu Anda untuk membaca pengantar kecil di sini!

Artikel di McRizzwan

Dapatkan artikel-artikel menarik dalam blog ini!

Proyek di McRizzwan

Proyek-proyek yang dikerjakan oleh McRizzwan!

Video di YouTube McRizzwan

Kunjungi akun kami di YouTube dan lihat video lebih banyak dari proyek Riswan Hanafyah di YouTube!

Just Info

Just Info memberikan informasi apa saja, yang penting menarik.

All Things About McRizzwan!

Temukan saya di Instagram dan Twitter: @mcrizzwan sekarang juga!

Thursday, February 19, 2015

Artikel: Perbandingan Pemutar Media

Perbandingan Media Player

Banyak sekali pemutar media yang telah dirilis oleh berbagai pengembang program, dan bahkan kita harus mencari pemutar media mana yang cocok dengan pengguna. Di laptop saya terdapat beberapa pemutar media yang saya gunakan untuk memutar media dari laptop saya seperti mendengarkan musik, menonton film, dan sebagainya.

Di artikel ini, saya akan mencoba untuk membandingkan antara pemutar media satu dengan pemutar media lainnya.

Winamp

Tampilan Winamp

Tampilan Winamp

Siapa yang tidak kenal dengan Winamp? Saya pernah menggunakan pemutar musik (tepatnya pemutar media) ini karena saya tidak tahu pemutar sejenis sebelumnya. Pemutar yang awalnya hanya pemutar musik berubah menjadi pemutar media karena telah mendukung pemutar video. Karena itu, saya meninggalkan Winamp (tidak serta merta juga, khususnya untuk format yang tidak dapat dibaca aplikasi lain, saya gunakan ini), karena menjadi berat.

Winamp yang dibuat oleh Nullsoft saat ini dipegang oleh Rhapsody, memiliki beberapa fitur yang pastinya sudah diketahui, seperti ekualiser, visualisasi, DSP Manager yang diatur di Preferensi, Skins, dan lainnya. Winamp juga menjadi salah satu pemutar media dengan file format terbanyak yang dapat diputar, ditambah dengan beberapa plug-ins, bisa lebih banyak yang didukung. Berbagai macam skin juga dapat dipilih sesuka hati sehingga kita yang memilih juga dapat pusing.

Winamp terkini juga dapat digunakan untuk menyalin CD Audio ke format-format lain, sehingga Anda tidak perlu menggunakan CD ke komputer untuk mendengarkan lagu. Beberapa format dapat digunakan, dan beberapa dapat digunakan ketika telah membeli Winamp Pro.

Winamp juga dapat memutar video dengan berbagai file format seperti WMV, AVI, MP4, dan lainnya, namun karena itu membuat Winamp menjadi berat, apalagi dengan komputer yang tidak dapat memutar file HD, sehingga Winamp tidak cocok digunakan untuk memutar video. Tetapi jika komputer yang Anda gunakan cukup baik dan kencang, Winamp tidak jadi masalah.

Buka websitenya: www.winamp.com

AIMP

Tampilan AIMP3

Pemutar musik AIMP3

AIMP adalah pemutar musik yang saat ini saya gunakan. Saya kenal pemutar musik ini dari teman saya, dan ternyata walaupun hanya sebagai pemutar musik saja, tetapi kemampuannya tidak kalah dibandingkan dengan pemutar musik sejenis, bahkan lebih! Seperti kemampuan multi tab playlist, dan Resources lebih ringan dari pemutar musik lainnya, tergantung dengan jenis skin-nya, namun kebanyakan tidak memakan banyak. Puluhan format audio bisa diputar, bahkan file MP4 bisa diputar, namun hanya sebatas audio saja, karena tidak ingin keluar dari akarnya, hanya pemutar musik saja.

Seperti dengan Winamp, AIMP juga memiliki banyak skin yang bisa digunakan oleh siapa saja dengan sesuka hati. Saat ini, AIMP mempunyai beberapa skin yang hebat. Saya menaruh perhatian kepada beberapa jenis skin dengan desain Hi-Fi seperti ini:

Skin AIMP3

dan juga seperti ini.

Skin AIMP3

Desain Hi-Fi ini mengingatkan kita dengan pemutar kaset konvensional, dan saya sangat menyukainya sampai-sampai saya memakai skin tersebut. Untuk menggunakan skin desain Hi-Fi, harap dicatat bahwa resolusi layar Anda harus Full-HD, kalau tidak skin-nya akan berantakan dan AIMP akan berjalan lambat. Tidak perlu khawatir, ada beberapa skin Hi-Fi yang tidak memerlukan Full-HD, yang pastinya bisa dicoba.

Selain itu, Anda juga harus mengecek yang namanya DSP Manager. Di sini, Anda bisa memberi efek pada musik seperti Reverb, Flanger, Pitch, Bass dan lainnya. Di situ juga bisa ditambahkan dengan DSP Enhancer seperti DFX dan lainnya. Di DSP Manager juga terdapat pengaturan penormal suara, ekualiser, dan opsi Mixing. Jika ingin kembali pada aturan awal, ada tombol Default untuk mengembalikan aturan menjadi aturan awal.

Jika Anda yang suka memutar file MIDI, AIMP juga dapat digunakan, namun untuk memutar MIDI diperlukan file SF2 yang disebut dengan Sound Font. Anda harus membaca buku petunjuk yang ada dalam paket instalasi di Program Files. Tinggal Search, ketik MIDI, dan ikuti instruksinya. Coba bandingkan suara yang dihasilkan dengan AIMP dengan Winamp atau Windows Media Player. Bagaimana hasilnya?

Di paket instalasi AIMP juga tersedia Tag Manager untuk mengedit ID Tag pada file audio, Audio Converter, untuk mengonversi file audio ke file audio yang lain, dan Audio Library, sebagai perpustakaan lagu. Di website resminya, Anda juga bisa mengunduh Skin Editor untuk membuat dan mengedit skin, dan Language Editor untuk membuat dan mengedit bahasa aplikasi.

AIMP juga tersedia dalam bahasa Indonesia, namun kadang-kadang di setiap rilisannya tidak ada bahasa Indonesia, mungkin karena penerjemahnya yang kurang mengikuti perkembangan setiap perilisan AIMP, namun jangan terlalu khawatir, bahasa Inggris tetap tersedia sebagai bahasa Utama dengan bahasa Rusia (mau pakai bahasa Rusia?). Atau bila perlu, Unduh Language Editor untuk menambahkan bahasa Indonesia.

Buka websitenya: www.aimp.ru

iTunes

Tampilan iTunes

Dengar lagu di iTunes.

iTunes merupakan pemutar media yang dikembangkan oleh Apple. iTunes digunakan tidak hanya untuk mendengarkan musik dan menonton video, tetapi juga merupakan penghubung antara PC atau Mac ke perangkat iOS seperti iPod, iPhone dan iPad. Selain itu juga, iTunes menjadi tempat untuk membeli lagu, video klip, film, aplikasi iOS, buku, serta mendengarkan Podcast dan Radio Internet.

iTunes mendukung beberapa format media. Yang menjadi format standar di pemutar media ini adalah file AIF, M4A, M4B, M4R, MP3, M4V, dan format lainnya. Untuk format seperti WMA, tidak dapat diputar secara langsung di iTunes, melainkan harus dikonversi secara otomatis oleh iTunes.

iTunes digunakan sebagai penghubung dari PC atau Mac ke perangkat iOS, sehingga Anda dapat mengatur, memasukkan, dan menghapus apa-apa saja yang ada di dalam perangkat iOS seperti musik, video, buku, podcast, bahkan aplikasi dapat diatur. File dalam aplikasi iOS dapat diambil dan disimpan dalam iTunes File Sharing. Selain itu, iTunes juga dapat mengunduh file pembaruan ke perangkat iOS.

Bagi yang tidak menggunakan perangkat iOS, sepertinya iTunes tidak berguna bagi mereka. Namun, jika bagi mereka yang memakai perangkat tersebut seperti saya, maka iTunes menjadi barang wajib bagi mereka. Ukuran file yang lebih dari 100 MB bukan menjadi masalah besar saat mengunduh pemutar media ini. Namun, bagi yang mempunyai koneksi yang relatif lambat, bisa menjadi masalah. Selain itu, jika versi iOS di perangkat iOS lebih baru dan iTunes tidak dapat membukanya, maka iTunes harus diperbarui ke yang lain baru sehingga perangkat iOS dapat dideteksi dengan versi iOS yang lebih baru.

Buka websitenya: www.itunes.com

GOM Player

Tampilan GOM Player

Butuh Oreo?

Pemutar video yang saya gunakan adalah GOM Player. GOM Player menjadi andalan pertama saya dalam memutar video. Kemampuannya tidak dapat diragukan, dan mendukung berbagai macam format video, skin yang bisa digonta ganti, ekualiser, fitur bookmark, fitur sharpness dan softness video, menghilangkan voice pada video, dan fitur-fitur lainnya.

Memutar video di sini tidak hanya nyaman, tetapi juga pintar, karena ketika memilih satu video saja melalui Windows Explorer, video lain akan terikut, bila nama video yang ikut sama persis dengan video yang diputar. Ini sangat berguna, apalagi bila yang diputar itu adalah video yang berseri. Apalagi dengan penempatan hot-key yang bersahabat dan mudah diingat, seperti barisan angka untuk ukuran layar pemutar video dan barisan huruf pertama, yakni QWERTY untuk mengatur pencahayaan dan warna video.

GOM Player terkini dapat mendukung subtitle dengan format SRT, SSA, ASS, dan lainnya. Selain itu, GOM Player mendukung subtitle yang terdapat dalam video, dan mendukung pemilihan multi audio dalam video. Versi GOM Player yang lama, pada format SSA/ASS tidak terlalu didukung, namun tetap dapat dibaca. Saat ini, SSA/ASS telah didukung dan lebih baik. Namun sayangnya, eksekusi file tersebut masih kasar dan animasi yang tidak halus (apalagi subtitle yang dibuat dari Aegisub), font yang digunakan terganti, dan timing subtitle yang masih tidak baik, terkadang masih muncul, padahal timingnya seharusnya menghilang. Namun, itu suatu kemajuan dalam dukungan format SSA/ASS.

Bagi saya, saya selalu menggunakan seperti Pitch untuk audio pada video, dan sepertinya di sini tidak tersedia. Walaupun tersedia Fast and Slow Speed pada video, audionya malah tetap pada pitch aslinya, malah terkesan kasar dalam menggunakan fitur tersebut, seperti dikumur-kumur. Tetapi itu tidak apa-apa dan bukan menjadi masalah. Entahlah, apa yang membuat saya menjadi pemutar video utama di laptop saya, tidak tahu apa alasannya.


KMPlayer

Tampilan KMPlayer

Saya benar-benar jadi korban iklan.

KMPlayer (biasanya orang-orang bilang KMP Player) menjadi pemutar video alternatif pertama apabila video tidak dapat diputar di GOM Player. Biasanya yang saya alami adalah video dapat diputar, namun audio tidak dapat diputar. KMPlayer juga cukup komplit. KMPlayer pada umumnya sebagai pemutar video, namun dapat memutar audio, dan secara default, bila saat memasang program ini, file-file yang didukung, baik video dan audio akan diasosiasikan ke program KMPlayer. Seperti pada umumnya pemutar video, mendukung subtitle, ekualiser, dan lainnya.

Saat memutar videonya, pada umumnya lancar. Namun, subtitle yang besar pada aturan default membuat saya terganggu. Jika hal itu sama dengan yang saya alami, Anda dapat mengatur ukuran subtitle di Preferences. Subtitle SSA/ASS juga didukung, namun hanya teks seperti subtitle SRT. Tidak perlu khawatir, hal itu juga dapat diatur di Preferences. Untuk mengetahui apa yang harus dilakukan, cari saja di Google, OK? Untuk tampilan subtitle SSA/ASS, lebih baik dari GOM Player, lebih halus, font yang dapat dibaca, dan pastinya lebih lancar.

Karena saya menggunakan GOM Player, sehingga saya tidak terlalu familiar dengan hot key yang digunakan untuk KMPlayer. Untuk yang mempunyai kasus yang sama dengan saya, juga dapat diatur di Preferences.

Jika Fast/Slow Speed di GOM Player buat saya tidak bagus, beda dengan KMPlayer. Di KMPlayer, selain mempercepat atau memperlambat video, pitchnya pun dapat diatur sesuai dengan kecepatannya. Namun, pitchnya dapat berubah walaupun tidak dipercepat atau videonya dipercepat, namun audionya tetap pada pitch yang sama dengan cara mengaturnya di klik kanan pada layar program, pilih playback, dan lihat saja opsinya.

Buka websitenya: www.kmplayer.com/

VLC

Tampilan VLC

Sebuah Mac atau PC?

VLC adalah pemutar video alternatif kedua. VLC merupakan pemutar media gratis dan merupakan program sumber terbuka. Selain menjadi pemutar media, bisa menjadi enkoder dan streamer di dalam program ini.

VLC menggunakan kodek internal, dan dapat membaca hampir semua format, CD, DVD, Networks streams, capture cards dan format media lainnya.

VLC menjadi pilihan ketiga saya karena format pada umumnya dapat diputar dengan GOM Player dan KMPlayer. Namun untuk urusan file format MKV, buat saya VLC jagonya. File SSA/ASS yang sangat baik dibandingkan dengan pemutar media lainnya. Namun sayangnya, dibutuhkan pertama kali Font Cache, yang katanya membutuhkan beberapa detik, kadang bisa menjadi lama, tergantung subtitle dan komputernya.


Saya tidak akan menulis terlalu banyak tentang ini, karena saya juga jarang menggunakan pemutar media ini.

Buka websitenya: www.videolan.org/vlc/

Proyek: Kalender 2015

Kalender 2015
Mungkin agak terlambat, setidaknya ada yang telah saya lakukan. Ini adalah kalender buatan saya yang mungkin berguna untuk Anda. Saya buat ini untuk mengisi binderku yang tampak sepi. Dan ini sebenarnya adalah edisi ke-3 yang telah saya buat, namun tidak pernah saya masukkan ke blog ini karena kesibukan saya. Saya harap Anda menikmati kalender ini.

Wednesday, February 18, 2015

Artikel: Aturan-Aturan dan Perlindungan Terhadap Pekerja Anak di Indonesia

LATAR BELAKANG

Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi atau hak dasar sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang dapat merampas hak tersebut. Hak Asasi Manusia diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konstitusi ILO. Dengan demikian semua negara di dunia secara moral dituntut untuk menghormati, menegakkan dan melindungi hak tersebut. Salah satu bentuk hak asasi adalah jaminan kebebasan untuk melakukan suatu pekerjaan. Jaminan kebebasan tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan telah diatur dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Namun, pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja atau buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi perkembangan dunia usaha.

Penduduk Indonesia termasuk kelima terbesar di dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, Uni Soviet (Federasi Rusia), dan Amerika Serikat. Penduduk Indonesia bertambah cukup pesat dengan laju pertumbuhan sebesar 2,1 persen dalam tahun 1961-1971 dan 2,3 persen dalam tahun 1971-1980. Menurut sensus penduduk 2000, Indonesia memiliki populasi sekitar 206 juta, dan menjadikan banyak orang membutuhkan pekerjaan walaupun lahan pekerjaannya sedikit.

Menurut data statistik Indonesia 2004, jumlah buruh atau pekerja di Indonesia mencapai 25,5 juta jiwa (27,16%) dan jumlah penduduk yang bekerja. Persentase terbesar dan buruh atau pekerja bekerja di sektor pertanian, industri dan perdagangan, yang terdiri dan wiraswasta 42.79%, buruh atau pekerja tidak tetap 50.28% dan buruh atau pekerja 6,93%.

Dari persentase di atas, ada pula tenaga kerja yang masih anak-anak. Berdasarkan data dari BPS pada bulan Oktober 2000, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun tercatat sebanyak 2,05 juta, dan terus turun hingga pada Oktober 2005 menjadi 1,64 juta jiwa. Setelah krisis, pada tahun 2006 terjadi peningkatan menjadi 1,81 juta dan pada tahun 2007 mencapai angka 2,21 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2008 mencapai angka 5,75 juta jiwa. Jumlah tersebut akan jauh lebih besar jika dihitung pekerja anak yang berusia di bawah 10 tahun dan di atas 14 tahun (Haryadi, 1995: 20).

Masih banyak pekerja anak yang bekerja dalam situasi buruk. Jumlahnya mencapai 1,7 juta. Mereka misalnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pekerja tambang, dan pekerja di pabrik yang rentan terpapar bahan kimia. Tingginya angka pekerja anak ini dibarengi pula dengan meningkatnya jumlah anak telantar dan anak jalanan. Komnas mencatat saat ini jumlah anak telantar mencapai 6,1 juta. Pada 2010 jumlahnya hanya mencapai 4,5 juta. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), saat ini Komisi mencatat jumlah pekerja anak lebih dari 4 juta. Jumlah yang besar ini masih harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Anak pada dasarnya, masih membutuhkan pembelajaran dan perkembangan sesuai dengan umurnya, seperti belajar, bermain, dan juga lainnya. Namun, pada kenyataannya, sesuai dengan persentase di atas, tidak sedikit juga anak yang melakukan pekerjaan-pekerjaan, baik itu pekerjaan yang ringan sampai pekerjaan yang berat.

Pada usia berapa seseorang diperbolehkan untuk bekerja? Pekerja dengan usia muda bahkan mungkin di bawah umur angkatan kerja yang sering disebut sebagai pekerja anak masih banyak kita jumpai di Indonesia. Bagaimana sebenarnya Undang-undang mengaturnya? 

Apakah seorang anak berusia 13 tahun layak bekerja? Tentu saja sisi perkembangan kepribadian, mentalitas dalam bekerja, pengetahuan, dan sebagainya mempengaruhi kinerja kerja mereka apalagi bila mereka diberi pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai tanggung jawab yang berat. Belum lagi, pekerjaan berat bisa mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak-anak. Jadi apakah layak?

Maka, dari beberapa uraian tersebut di atas, diperlukan beberapa aturan-aturan mengenai tenaga kerja anak atau pekerja anak. Selain itu, diperlukan juga beberapa perlindungan-perlindungan bagi tenaga kerja anak atau pekerja anak itu sendiri.

TENAGA KERJA ANAK ADALAH...

Tenaga kerja anak atau juga yang dikenal dengan pekerja anak atau dalam bahasa Inggris, yakni Child Labour adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat diartikan adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.

Di beberapa negara, hal ini dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang 'bos' dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun umum minimumnya tergantung dari peraturan negara tersebut.

Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok hak pemuda merasa bahwa pelarangan kerja di bawah umur tertentu melanggar hak manusia.

Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengizinkan karena keluarga sering kali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadang kala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.

ATURAN-ATURAN MENGENAI TENAGA KERJA ANAK

Menurut UU No. 1/1951, anak (8-14 tahun) dilarang bekerja. Namun ketentuan ini masih belum berlaku karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hukum ini dengan terpaksa diberlakukanlah ketentuan lama yaitu: Stbl. I 925 No. 647 tentang Pembatasan Pekerjaan anak dan wanita pada malam hari.

Menurut ketentuan ini, anak dapat dipekerjakan dengan berbagai syarat yang menyangkut:
  1. Jenis Pekerjaan
  2. Umur, seria
  3. Waktu Kerja dan Lamanya Kerja.
Hal-hal tersebut di atas tercermin dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
  1. Anak yang berumur antara 8-14 tahun boleh melakukan pekerjaan, kecuali pada malam hari antara jam: 20.0-05.00.
  2. Anak-anak yang berumur di bawah 12 tahun tidak boleh melakukan pekerjaan terutama di:
  • Pabrik yang tertutup.
  • Di tempat kerja dimana dipekerjakan secara bersama-sama lebih dan 10 orang.
  • Di tempat kerja dimana dilakukan pembuatan, pemeliharaan, pembetulan, pembongkaran, air, dan gedung.
  • Pada perusahaan Kereta Api dan Trem.
Selanjutnya ketentuan pembatasan pekerjaan anak ini atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja 1/1987 tentang Perlindungan Anak yang terpaksa bekerja, ketentuan ini menentukan hal-hal sebagai berikut:
  1. Tidak boleh mempekerjakan anak lebih dan 4 jam/hari.
  2. Tidak boleh mempekerjakan anak pada malam hari.
  3. Wajib membayar upah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  4. Mewajibkan kepada pengusaha untuk mengupayakan agar buruh anak diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar.
PTMK ini juga dilengkapi dengan ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya maksimum 3 (tiga) bulan kurungan.

UU No. 20/1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan menyatakan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah Repub1ik Indonesia adalah 15 tahun.

Para negara yang meratifikasi Konvensi No. 138 diharuskan untuk kebijakan nasional yang dirancang untuk menjamin penghapusan anak secara efektif Kebijakan yang sama harus ditujukan untuk menaikkan secara progresif usia minimum untuk bekerja pada tingkat yang dengan pertumbuhan mental dan fisik anak secara penuh.

Masing-masing negara yang meratifikasi harus merinci usia minimum yang diberlakukan. Sebagai pegangan, harus ditentukan tidak lebih dan umur 15 tahun, atau sampai batas usia wajib sekolah, bila lebih tinggi dan usia 15 tahun. Meskipun begitu, para negara yang sedang berkembang boleh menentukan batas usia minimum 14 tahun, sebagai awalnya.

Peraturan ini harus diabaikan untuk jenis pekerjaan yang dapat merusak “kesehatan, keselamatan atau moral” anak. Untuk aktivitas itu, batas usia minimum tidak boleh kurang dari 18 tahun, atau 16 tahun dengan penjagaan atau bimbingan yang tepat.

Konvensi ini juga menyediakan sejumlah pengecualian dan alasan tidak mengikuti peraturan usia minimum dengan pilihan sebagai berikut:
  1. Tidak termasuk pekerjaan tertentu dimana akan timbul masalah substansial apabila pelaksanaan peraturan dipaksakan (dengan pengecualian tidak untuk pekerjaan berbahaya), setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja terkait;
  2. Izin untuk pekerjaan ringan yang tidak membahayakan kesehatan perkembangan anak dan yang tidak menghalangi waktu anak bersekolah, ini ditentukan oleh pihak yang berwenang, dan usia tahun (atau 12 tahun). jika peraturan usia minimumnya adalah 14 tahun.
  3. Izin untuk anak berpartisipasi dalam pertunjukan kesenian, berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja terkait, diberikan secara kasus per kasus.
Suatu negara anggota yang ekonomi dan administrasinya berkembang secara memadai dapat pertama-tama membatasi pelaksanaan Konvensi pada cabang-cabang tertentu dan aktivitas ekonominya. Hal ini harus didahului dengan konsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang bersangkutan. Selanjutnya, cabang-cabang yang dimaksud harus meliputi juga bidang pertambangan dan penggalian; pabrik, konstruksi listrik, gas dan air; pelayanan kebersihan (sanitasi); transpor, penyimpanan dan komunikasi; dan perusahaan perkebunan dan pertanian untuk kebutuhan komersial (tidak termasuk perusahaan skala kecil milik keluarga).

Suatu negara anggota yang memutuskan untuk meratifikasi Konvensi No. 138 harus menyiapkan deklarasi seiring dengan ratifikasinya;
  1. Spesifikasi dan usia minimum yang akan diberlakukan (ini dinaikkan, tetapi tidak boleh diturunkan);
  2. Jika bermaksud membatasi lingkup penerapan Konvensi ini, harus ada spesifikasi mengenai cabang-cabang aktivitas ekonomi yang akan dikenakan Konvensi ini pada awalnya. (Selanjutnya, lingkup penerapannya boleh diperluas, tetapi tidak boleh dipersempit).
Pemerintah yang mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi No. 138 ini boleh meminta bantuan ILO untuk mengukur kondisi nasional negaranya sebelum memutuskan meratifikasi.

Pemerintah Indonesia tampak masih belum konsisten dalam melaksanakan Konvensi hak Anak PBB yang telah menjadi hukum internasiona1 sejak 2 September 1990. Umur pekerja anak yang menurut ketentuan dunia berumur minimal 18 tahun tidak ditaati, sejumlah anak masih dieksploitasi dan dipekerjakan secara tidak manusiawi.

Persatuan Buruh Dunia (ILO No. 139 Tahun 1973) pun telah membuat konvensi mengenal usia minimum buruh anak yang menyebutkan anak tidak boleh dipekerjakan dalam sektor ekonomi mana pun di bawah umur yang sedang berada dalam penyelesaian wajib sekolah dan tidak kurang dan umur 15 tahun. Umur minimum untuk masuk angkatan kerja yang tidak membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral adalah 18 tahun.

Sejumlah tindakan khusus perlu diambil pemerintah agar bangsa Indonesia tidak dinilai buruk oleh dunia internasional karena melakukan pelanggaran Konvensi Hak Anak PBB. Pertama, menghapus segera pekerja anak di lingkungan yang membahayakan dan eksploitatif termasuk pekerjaan yang menghambat fisik, sosial, tatif termasuk pekerjaan yang menghambat fisik, sosial, kognitif, emosional atau pun moral anak tidak boleh ditolerir. Pemerintah harus tegas menindak pengusaha yang mempekerjakan anak secara tidak manusiawi.

Kedua, pemerintah perlu menyediakan wajib belajar cuma-cuma bagi anak tidak mampu. Pemerintah harus memenuhi tanggung jawab mereka untuk menyediakan pendidikan dasar yang relevan secara cuma-cuma dan diwajibkan bagi anak dan menjamin semua anak masuk sekolah dasar sampai tamat.

Ketiga, adanya perlindungan hukum yang lebih luas bagi anak. Perundang-Undangan mengenai pekerja anak dan pendidikan anak harus konsisten dalam tujuannya dan dilaksanakan dengan cara saling mendukung. Undang-undang mengenai pekerja anak harus selaras dengan Konvensi Hak Anak PBB dan Konvensi ILO.

Keempat, pemerintah harus melakukan pencatatan kelahiran semua anak. Semua anak harus dicatat saat lahir. Hak ini penting untuk memungkinkan penerapan hak anak, seperti memperoleh pendidikan, perawatan kesehatan dan pelayanan dan pemerintah lainnya. Kelima, pengumpulan data dan pemantauan. Data mengenai pekerja anak sangat sulit. Jika pekerja anak ditangani secara serius, maka akan didapatkan angka rasional yang dapat memberikan sumbangan data guna merancang kepentingan dan keselamatan anak. Terakhir perlu disusun peraturan dan kebijakan dunia usaha. Dunia usaha baik nasional maupun internasional harus didesak untuk tidak mempekerjakan anak-anak.

Selain dari Konvensi ILO Nomor 138 dan Konvensi ILO Nomor 139, diatur juga ke dalam Konvensi ILO Nomor 182 mengenal Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (Convension Concerning the Prohibition And Immediate Action For The Elimination of the Worst Form of Child Labour) yang diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tanggal 8 Maret 2000 dengan UU No. 1/2000.

Dalam konvensi ini, memuat tentang pelarangan dan tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, dengan isi pokok-pokok berikut:
  1. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
  2. “Anak” berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
  3. Pengertian “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak” adalah (1) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; (2) pemanfaatan penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno; (3) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; (4) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak. 
  4. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 
  5. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil langkah-langkah agar ketentuan Konvensi ini dapat diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana.
  6. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya.
PERLINDUNGAN BAGI TENAGA KERJA ANAK

Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat di Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bekerja, terutama anak yang masih di bawah umur. Begitu seriusnya permasalahan pekerja anak di atas, peraturan yang digunakan untuk melakukan perlindungan terhadap pekerja anak di samping ada yang merupakan upaya ratifikasi dari konvensi Internasional, juga sebagian merupakan peraturan yang dibuat atas dasar dan inisiatif pemerintah Indonesia. Namun demikian peraturan perundangan yang ada tersebut secara substansial sudah cukup memadai, akan tetapi secara penerapannya masih sangat jauh dari harapan. 

Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment). Pendekatan abolisi mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh bekerja dalam kondisi apapun, karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Sementara pendekatan proteksi mendasarkan pemikirannya pada jaminan terhadap hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai warga negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan sebenarnya merupakan lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan terhadap pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Pada dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara terus-menerus mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala bentuk pekerja anak.

Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment the Abolition of Forced Labour atau Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973. Konvensi ini telah diadopsi oleh konferensi umum ILO pada tanggal 26 Juni 1973, dan Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999. Konvensi ini sendiri, seperti yang tercantum dalam alinea keempat pembukaannya, dimaksudkan untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai batasan umur yang secara berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang berlaku pada sektor ekonomi yang terbatas. Hal ini karena sebelumnya memang sudah ada rumusan tentang batasan umur minimal untuk bekerja, hanya saja rumusan itu berbeda-beda untuk setiap jenis dan sektor kerja. Alinea keempat pembukaan ini juga menyebutkan bahwa tujuan dari konvensi ini sendiri adalah untuk menghapus anak sebagai pekerja pada kegiatan ekonomi secara keseluruhan.

Selain itu juga pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Intermediate Action for the Elimination of The Worst Forms of Child Labour Atau Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak Tahun 1999. Rumusan instrumen internasional yang ditetapkan oleh ILO sebagai kelanjutan dari upaya perlindungan pekerja yang telah dirumuskan oleh konvensi sebelumnya adalah konvensi ILO No. 182. konvensi ini lahir berdasarkan pertimbangan bahwa dipandang perlu adanya instrumen ketenagakerjaan yang baru untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.

Beberapa muatan asas yang berkaitan dengan perlindungan anak terhadap eksploitasi anak sebagai pekerja dalam konvensi ini adalah asas perlindungan, asas pencegahan, asas penerapan secara efektif, dan asas kerja sama nasional. Konvensi ini juga memuat norma-norma yang berkaitan langsung dengan konsep perlindungan anak sebagai pekerja. Pasal 1 mewajibkan negara anggota untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja anak sebagai hal yang mendesak. 

Pasal lain yang berkaitan dengan asas perlindungan anak sebagai pekerja adalah pasal 4, yang merumuskan bahwa untuk pekerjaan berbahaya harus diatur oleh peraturan atau undang-undang nasional, juga mensyaratkan bahwa negara-negara peserta wajib untuk melakukan identifikasi tempat-tempat adanya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut berada Lebih lanjut pasal ini juga merumuskan adanya peninjauan berkala dan revisi tentang jenis-jenis pekerjaan terburuk tersebut Hal ini membuka peluang masuknya rumusan baru tentang jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan penerapan secara efektif diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Pada prinsipnya konvensi ILO No. 182 mencoba memberikan rumusan perlindungan terhadap anak sehingga anak tidak dipekerjakan.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi merupakan bagian dari hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights). Lebih lanjut konvensi juga menentukan langkah-langkah yang harus diambil, yaitu antara lain; menentukan umur minimum atau umur-umur minimum untuk ijin bekerja, menetapkan peraturan-peraturan yang tepat mengenai jam-jam kerja dan syarat-syarat perburuhan, dan menentukan hukuman atau sanksi-sanksi lain yang tepat untuk menjamin pelaksanaannya yang efektif (Kurniaty, 2007: 108).

Di sini berarti negara penanggung jawab perlindungan anak harus mampu mengambil kebijakan baik secara yuridis, sosial, serta melakukan kerja sama internasional dalam rangka melindungi hak anak dari eksploitasi ekonomi. Hal ini tentunya termasuk harmonisasi hukum nasional terhadap instrumen hukum internasional yang mengatur perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Undang-undang organik tentang perlindungan hak asasi manusia dari UUD 1945 hasil amandemen IV. Rumusan mengenai hak anak disebutkan dalam pasal 52 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Selain itu pasal ini juga menyebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia sehingga demi kepentingan anak, hak tersebut harus diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut, pasal ini merupakan rumusan perlindungan hak anak yang harus dilindungi oleh hukum.

Beberapa pasal lain dalam UU HAM yang memuat ketentuan perlindungan anak, terutama dalam bentuk perlindungan terhadap anak sebagai pekerja adalah Pasal 64 dan Pasal 65. Pasal 64 berbunyi: "setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya".dan Pasal 65 berbunyi: "setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".

Masalah pekerja anak juga tidak bisa terlepas dengan upaya kesejahteraan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, seperti dijelaskan dalam Pasal I, bertujuan menciptakan suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Karena itu anak harus diberikan perlindungan secara khusus untuk melindungi dari hal-hal yang dapat membahayakan kesejahteraan mereka.

Masalah perlindungan anak sebagai pekerja memang tidak diatur dalam rumusan undang-undang tentang kesejahteraan anak. Hanya saja jika kita melihat permasalahan pekerja anak dalam kerangka perlindungan anak, maka akan ditemukan bahwa pekerja anak sebagai suatu hal yang bertentangan dengan undang-undang ini. Contohnya Pasal 2 ayat (4) yang merumuskan bahwa anak memiliki hak atas perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Rumusan ini berkaitan era! dengan dengan konsep perlindungan anak sebagai pekerja. Di banyak tempat, anak yang bekerja akan selalu berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan tereksploitasi. Begitu juga dengan kondisi , kerja yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

Di Indonesia juga sudah mempunyai Undang-Undang khusus untuk melindungi hak-hak anak, yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tentang perlindungan anak ini ditetapkan pada tahun 2002, dua belas tahun setelah Indonesia menyatakan meratifikasi konvensi hak anak. Dari lamanya rentang waktu ini terlihat kurang seriusnya pemerintah untuk benar-benar melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak. Pasal 2 menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, selanjutnya Pasal 20 mewajibkan kepada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua untuk ikut bertanggung jawab terhadap perlindungan anak. Bagian lain dari undang-undang ini merumuskan ancaman pidana bagi pelaku eksploitasi anak, termasuk orang yang mengetahui adanya eksploitasi. Pasal-pasal dalam undang-undang ini sangat berkaitan dengan rumusan perlindungan anak sebagai pekerja. Terutama dengan kaitan jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak seperti yang dimaksudkan dalam konvensi ILO No. 182. dengan adanya ketentuan pidana dalam undang-undang ini, maka perlindungan terhadap anak terutama dalam hal anak sebagai pekerja, diharapkan dapat terlaksana. Memang undang-undang ini tidak mengatur secara khusus mengenai perlindungan anak sebagai pekerja. Akan tetapi ketentuan-ketentuan konvensi ILO No. 138 dan konvensi ILO No. 182 telah dijadikan dasar hukum adanya undang-undang ini.

Kebijakan perlindungan anak terhadap penanggulangan pekerja anak dianggap belum efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala di lapangan. Antara lain, nilai-nilai sosial seperti nilai historis, tradisi, kebiasaan, lingkungan sosial, budaya masyarakat yang tersusun dari tingkah laku yang terpola, dan lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh bidang pengawasan ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa masalah yang terkait dengan pekerja anak adalah masalah lintas sektoral, yang meliputi aspek ekonomi (anak bekerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sebuah keluarga), budaya (anak bekerja merupakan ‘keharusan’ budaya masyarakat tertentu yang merupakan doktrin Jawa ‘banyak anak banyak rezeki’), politik (dengan anak bekerja, dapat diharapkan dapat melanggengkan dominasi trah/kekuasaan), hukum (anak yang bekerja juga melingkupi penegasan status dan kedudukan anak sebagai subyek yang memiliki hak dan kewajiban yang harus dijamin oleh hukum), sosial (anak yang bekerja dapat mengangkat harkat dan derajat sebuah keluarga di mata masyarakat/anak yang menganggur adalah hina di mata masyarakat). Sehingga berpijak dari berbagai macam perspektif masalah anak yang bekerja tersebut, menuntut pula regulasi dan pengaturan yang komprehensif dalam bentuk peraturan perundangan yang seharusnya dibuat, baik oleh eksekutif maupun legislatif, baik di tingkat pusat maupun di tingkatan daerah, selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah.

Oleh karena itu, penanggulangan pekerja anak lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001, tanggal 8 Januari 2001, tentang Penanggulangan Pekerja Anak, dijelaskan dalam pasal 1 ayat 4, bahwa Penanggulangan Pekerja Anak atau disebut PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya. Sedangkan pelaksanaan kegiatan PPA dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Kemasyarakatan dan lembaga lain yang peduli terhadap pekerja anak.

Dalam pasal 4 juga dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah melakukan langkah-langkah pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan PPA. Hal ini menunjukkan peran Pemerintah Daerah sangat besar terhadap keberhasilan untuk menanggulangi pekerja anak, karena semua peran dari Pemerintah Daerah terkait dengan adanya Otonomi Daerah.

Untuk bisa mencapai pada keberhasilan tersebut, maka diatur juga dalam pasal 5 mengenai program-program dari PPA. Program yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah tersebut memang sangat penting untuk usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak.

Secara konsepsional, setidaknya ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yang sekiranya dapat dipergunakan sebagai upaya untuk mengatasi dan sekaligus memberdayakan pekerja anak, yakni penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan penguatan atau pemberdayaan (empowerment) (Affandi, 2007: 17).

Pendekatan penghapusan muncul berdasarkan asumsi bahwa seorang anak tidak boleh bekerja, karena dia harus sekolah dan bermain. Hal ini menurut penulis, dilandasi oleh semangat dan kultur masyarakat industri maju Negara-negara Barat. Sebab dalam masyarakat yang sudah maturity industrinya, tidak ditemukan persoalan yang signifikan bahwa mereka para keluarga mengharuskan anaknya bekerja karena alasan ekonomi, sebagaimana negara-negara miskin di kawasan Asia, Amerika latin dan Afrika. Sehingga dalam Negara maju tersebut, sering kita jumpai aturan yang melarang segala jenis pekerja anak dan oleh karenanya praktek kerja anak harus dihapuskan. 

Dunia anak adalah dunia sekolah dan dunia bermain, yang diarahkan kepada peningkatan dan akselerasi perkembangan jiwa, fisik, mental, moral dan sosial. Aturan dan kurikulum sekolah anak di desain sedemikian rupa sehingga anak benar-benar “IN” dalam dunia mereka sendiri, yang merupakan bagian integral dari proses yang sistematis dalam melahirkan generasi serta dunia anak yang kondusif.

Pendekatan perlindungan, muncul berdasarkan pandangan bahwa anak sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja. Oleh karenanya hak-haknya sebagai pekerja harus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku bagi pekerja dewasa, sehingga terhindar dari tindak penyalahgunaan dan eksploitasi. Dalam pandangan penulis, pendekatan kedua ini tidak melarang anak bekerja karena bekerja adalah bagian dari hak asasi anak yang paling dasar. Meskipun masih anak-anak, hukum harus dapat menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi untuk mendapatkan pekerjaan dan oleh karenanya juga mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Masa depan anak tidak lagi ditentukan oleh kekuatan orang tua, keluarga, masyarakat, apalagi Negara. Tetapi sebaliknya orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara, mempunyai kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi yakni mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam pendekatan ini tidak dibenarkan ada peraturan perundangan yang mengeksploitasi sumber daya anak, hanya sekedar untuk kepentingan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dalam perspektif orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara (Affandi, 2007: 19).

Sedangkan pendekatan Empowerment, juga berangkat dari pengakuan terhadap hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan pekerja anak agar mereka memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Dalam pandangan penulis pendekatan perlindungan dan pendekatan pemberdayaan inilah yang seharusnya menjadi dasar pijakan bagi Negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika, khususnya di Indonesia, lebih khusus lagi di daerah selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah. 

Selain memperhatikan ketiga pendekatan tersebut di atas, upaya memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pekerja anak dapat dilakukan dengan cara; pertama, mengubah persepsi masyarakat terhadap pekerja anak, bahwa anak yang bekerja dan terganggu tumbuh kembangnya dan tersita hak-haknya akan pendidikan tidak dapat dibenarkan. Kedua, melakukan advokasi secara bertahap untuk mengeliminasi pekerja anak, dengan perhatian pertama diberikan kepada jenis pekerjaan yang sangat membahayakan, dalam hal ini perlu ada kampanye besar-besaran untuk menghapuskan pekerja anak. Ketiga, mengundangkan dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang selaras dengan konvensi internasional, khususnya Konvensi Hak Anak dan Konvensi ILO lain yang menyangkut anak, keempat, mengupayakan perlindungan hukum dan menyediakan pelayanan yang memadai bagi anak-anak yang bekerja di sektor informal, seperti di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Kelima, memastikan agar anak-anak yang bekerja memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan keterampilan melalui bentuk-bentuk pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Huraerah, 2006: 76).

Seperti tampak pada analisis di atas, hubungan antara pekerja anak dengan kemiskinan bersifat multidimensi dan kompleks. ILO melalui Program Internasional tentang Penghapusan Pekerja Anak (the International Programme on the Elimination of Child Labour/IPEC) terus mendukung Pemerintah Indonesia dan masyarakat madani untuk mengatasi dimensi kemiskinan yang kompleks pada pekerja anak dengan memberikan respons multidimensi sejak tahun 1992. Dukungan ILO-IPEC bersifat holistis dengan aktivitas bertingkat yang langsung ditargetkan pada penerima manfaat dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penghapusan pekerja anak.

Selain itu, ada cara-cara lain dalam hal perlindungan terhadap pekerja anak, antara lain sebagai berikut:
  1. Lemahnya penegakan hukum terhadap eksploitasi pekerja anak merupakan indikasi adanya sikap ambivalen pemerintah terhadap permasalahan ini, di samping juga rendahnya tingkat pengetahuan dan perhatian aparat penegak hukum. Peningkatan jaringan kerja sama LSM dalam melakukan advokasi perlindungan hukum terhadap pekerja anak sangat dibutuhkan untuk mendorong terjadinya keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  2. Salah satu cara lain dalam mengatasi permasalahan “pekerja anak”, khususnya anak jalanan yaitu dengan jalan adopsi. Pengertian adopsi yaitu pengangkatan anak berusia balita yang dimana kondisi dalam kelangsungan hidupannya termasuk kondisi keluarga yang tidak mampu atau bisa juga sebab lain. Dalam perspektif HAM adopsi merupakan jalan terbaik guna menanggulangi dan mengurangi beban penderitaan masyarakat miskin maupun masyarakat anak jalanan itu sendiri karena anak-anak merupakan aset bangsa sebagai generasi penerus dan merupakan potensi sumber daya manusia bagi pembangunan nasional jangka pendek maupun jangka panjang.
  3. Dibutuhkan pembinaan dan memberikan kesempatan kepada anak bangsa yang terlantar di jalanan yang dalam pendidikan kurang mendapatkan semestinya di usia belajar. Kondisi ini merupakan tugas kewenangan kita bersama sebagai kepanjangan tangan dari tugas negara untuk mengayomi khususnya pemerintah dan kita sebagai masyarakat Indonesia yang peduli atas kehadiran anak-anak tersebut untuk mengenyam pendidikan.
Masalah perlindungan hukum bagi pekerja anak bukan sesuatu yang dapat diatasi seperti membalikkan telapak tangan. Prosesnya akan memakan waktu yang lama serta membutuhkan kerja sama yang serius antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan sejauh mana Negara telah memberikan perlindungan terhadap pekerja anak, masih perlu dipantau lebih lanjut.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pemaparan dari uraian dalam pembahasan di atas, maka dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Aturan-aturan mengenai tenaga kerja anak atau pekerja anak adalah (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang ini mengatur mengenai hal yang berhubungan pekerja anak mulai dari batas usia diperbolehkan kerja, siapa yang tergolong anak, pengupahan dan perlindungan bagi pekerja anak. (2) Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja (1LO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment the Abolition of Forced Labour), Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang umur minimum seseorang untuk bekerja. Umur minimum tidak boleh 15 tahun. Negara-negara yang fasilitas perekonomian dan pendidikannya belum dikembangkan secara memadai dapat menetapkan usia minimum 14 tahun untuk bekerja pada tahap permulaan. Umur minimum yang lebih tua yaitu 18 tahun ditetapkan untuk jenis pekerjaan yang berbahaya “yang sifat maupun situasi dimana pekerjaan tersebut dilakukan kemungkinan besar dapat merugikan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak”. Umur minimum yang lebih rendah untuk pekerjaan ringan ditetapkan pada umur 13 tahun. (3) Undang-Undang No. 1 tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Intermediate Action for the Elimination of The Worst Forms of Child Labour), Undang-Undang ini menghimbau adanya pelarangan dan aksi untuk menghapuskan segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon dan kerja paksa, termasuk pengerahan anak-anak atau secara paksa atau untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata dengan menerapkan undang-undang dan peraturan.
  2. Banyaknya aturan yang telah disahkan terkait dengan perlindungan terhadap pekerja anak. Namun, proses perlindungan tersebut masih belum maksimal. Banyak yang dapat dilakukan seperti ILO melalui Program Internasional tentang Penghapusan Pekerja Anak (the International Programme on the Elimination of Child Labour/IPEC) terus mendukung Pemerintah Indonesia dan masyarakat madani untuk mengatasi dimensi kemiskinan yang kompleks pada pekerja anak dengan memberikan respons multidimensi sejak tahun 1992. Peningkatan jaringan kerja sama LSM dalam melakukan advokasi perlindungan hukum terhadap pekerja anak juga sangat dibutuhkan untuk mendorong terjadinya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Salah satu cara lain dalam mengatasi permasalahan “pekerja anak”, khususnya anak jalanan yaitu dengan jalan adopsi. Selain itu, dibutuhkan pembinaan dan memberikan kesempatan kepada anak bangsa yang terlantar di jalanan yang dalam pendidikan kurang mendapatkan semestinya di usia belajar. 
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU/LITERATUR

Asikin, Zainal dkk, , Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Ketenagakerjaan, Buku Kedua, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.
Manulang, Sendjun H., Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1990.
Marwan, M. dan Jimmy P., Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, Surabaya: Reality Publisher, 2009.
Rumondang, Haiyani dkk, Evaluasi Terhadap Pemenuhan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja Bagi Pekerja Perkebunan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006.
Tunggal, Iman Sjahputra, Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2009.
----------, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2009.

B. INSTRUMEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1987
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang No. 1 tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

C. SITUS INTERNET

Ampera. “Hubungan Hukum Dokter-Pasien”. http://drampera.blogspot.com/2011/04/hubungan-hukum-dokter-pasien.html, diakses pada tanggal 19 April 2014.
H0404055, “Perlindungan Terhadap Pekerja Anak Masalah dan Solu”, http://h0404055.wordpress.com/2010/04/02/perlindungan-terhadap-pekerja-anak-masalah-dan-solu/, diakses pada tanggal 24 Juni 2014.
Kusumaningrum, Santi, “Tentang Tenaga Kerja Anak”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl918/tentang-tenaga-kerja-anak, pada tanggal 24 Juni 2014.
Setiamandani, Emei Dwinanarhati, “Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak dan Upaya Penanggulangannya”, http://emeidwinanarhati.blogspot.com/2012/08/jurnal-reformasi.html, diakses pada tanggal 23 Juni 2014.
Sufa, Ira Guslina, “Pemerintah Harus Jamin Hak Pekerja Anak”, http://www.tempo.co/read/news/2013/07/23/078498803/Pemerintah-Harus-Jamin-Hak-Pekerja-Anak, diakses pada tanggal 24 Juni 2014.
Wikipedia Indonesia, “Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia, diakses pada tanggal 23 Juni 2014.
Wikipedia Indonesia, “Organisasi Buruh Internasional”, id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Buruh_Internasional, diakses pada tanggal 23 Juni 2014.
Wikipedia Indonesia, “Pekerja Anak”, http://id.wikipedia.org/wiki/Pekerja_anak, diakses pada tanggal 23 Juni 2014.

Tuesday, February 17, 2015

Artikel: Hubungan Hukum dan Akibat Hukum dari Transaksi Terapeutik

Transaksi Terapeutik dalam Kesehatan


LATAR BELAKANG

Di zaman modern saat ini, kebutuhan akan kesehatan semakin meningkat. Oleh karena itu, semakin banyak dokter yang bermunculan untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pasiennya. Dokter sendiri adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran. Karena kemampuannya itu, dokter sangat dibutuhkan oleh pasien dalam upaya mendapatkan kesembuhan.

Walaupun dokter telah mempunyai kemampuan tersebut, menjalankan profesi kedokteran atau kesehatan ada hal-hal yang jarang disadari oleh dokter, bahwa saat ia menerima pasien untuk mengatasi masalah kesehatan baik di bidang kuratif, preventif, rehabilitasi maupun promotif, sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan antara dua belah pihak (dokter dan pasien) dalam bidang kesehatan.

Para dokter selama ini mengetahui bila ia telah memiliki ijazah sebagai dokter dan mempunyai izin, maka ia boleh memasang papan praktek, dan siap untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai ijazah yang dimilikinya. Selain itu bila bekerja di rumah sakit, puskesmas, atau pusat pelayanan kesehatan lainnya, maka satu-satunya yang dipikirkan adalah ia harus menjalankan profesinya sesuai dengan misi yang diemban atau ditugaskan. Tidak terlintas dalam pemikirannya bahwa pada waktu menerima pasien sebetulnya telah terjadi transaksi terapeutik.

Hal ini terjadi dan dipahami sebab dahulu tidak pernah disampaikan dalam pendidikan bahwa menerima dan mengobati pasien adalah suatu persetujuan atau transaksi di bidang pengobatan yang mempunyai landasan hukum. Terasa aneh mungkin bila hubungan dokter dengan pasien demikian disebut sebagai kontrak di bidang kedokteran. Sebab pengertian kontrak selama ini lebih dekat pada pengertian sewa menyewa, jual beli atau kontrak antara biro bangunan atau pemborong dengan masyarakat yang ingin membuat rumah atau bangunan lainnya.

Oleh karena itu, untuk mengetahui semua itu, dalam makalah ini akan dijelaskan apa sebenarnya itu transaksi terapeutik, siapa sajakah pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut, hubungan hukumnya dari pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut, dan akibat hukum transaksi terapeutik tersebut.

DEFINISI TRANSAKSI TERAPEUTIK

Transaksi berarti perjanjian atau persetujuan yaitu hubungan timbal balik antara dua pihak yang bersepakat dalam satu hal. Terapeutik adalah terjemahan dari bahasa Inggris, yakni therapeutic yang berarti dalam bidang pengobatan. Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi di antara dokter dengan pasien bukan di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitasi maupun promotif, maka persetujuan ini disebut transaksi terapeutik.

Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik tersebut timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga sebaliknya dengan dokter.

Di dalam Mukadimah pada Kode Etik Kedokteran Indonesia, juga tercantum tentang transaksi terapeutik. Yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang transaksi terapeutik di atas, bahwa dalam transaksi terapeutik tersebut mempunyai subjek perjanjian dan objek perjanjian. Pada dasarnya, perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia memuat subjek dan objek dari perjanjian. Subjek dari perjanjian, yakni para pihak dalam perjanjian tersebut dan objek dari perjanjiannya adalah melaksanakan suatu hal. Maka, dalam transaksi terapeutik tersebut, subjek perjanjian dalam transaksi terapeutik adalah pihak dokter dan pihak pasien. Sedangkan objek dari transaksi yaitu bukan “kesembuhan” pasien, melainkan upaya maksimal yang tepat untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien dalam transaksi tersebut.

Yang menjadi pembeda dari transaksi terapeutik dengan transaksi atau perjanjian lainnya seperti perjanjian sewa menyewa atau perjanjian jual beli atau kontrak antara biro bangunan atau pemborong dengan masyarakat yang ingin membuat rumah atau bangunan lainnya, yakni dokter hanya dapat memberikan upaya maksimal. Hubungan dokter dengan pasien ini dalam perjanjian hukum perdata termasuk kategori perikatan berdasarkan daya upaya atau usaha maksimal (inspanningsverbintenis). Ini berbeda dengan ikatan yang termasuk kategori perikatan yang berdasarkan hasil kerja (resultaatsverbintenis). Yang terakhir ini terlihat dalam urusan kontrak bangunan, dimana bila pemborong tidak membuat rumah sesuai jadwal dan bestek yang disepakati, maka pemesan dapat menuntut pemborong.

HUBUNGAN HUKUM ANTARA PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK

Dalam transaksi terapeutik terjadi akibat adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi terapeutik. Seperti yang disebutkan di atas bahwa pihak-pihak tersebut antara lain dokter dan pasien, dan pihak-pihak tersebut berperan sebagai subjek dari transaksi terapeutik. Hubungan hukum dokter dan pasien adalah hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum. Dokter sebagai subjek hukum dan pasien juga sebagai subjek hukum secara sukarela dan tanpa paksaan saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian atau kontrak yang disebut kontrak terapeutik. Dalam hubungan hukum ini maka segala sesuatu yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dalam upaya penyembuhan penyakit pasien adalah merupakan perbuatan hukum yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.

Timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien, dalam praktek sehari-hari dapat disebabkan dalam berbagai hal. Hubungan itu terjadi antara lain disebabkan pasien yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan agar menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Keadaan ini terjadi adanya persetujuan kehendak di antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan si pasien kepada dokter, sehingga si pasien bersedia memberikan persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis (informed consent). Secara yuridis, informed consent dalam pelayanan kesehatan telah memperoleh pembenaran melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/1989. Di sisi lain, alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien adalah karena keadaan mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya, dalam keadaan terjadinya kecelakaan lalu lintas ataupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat (emergency) dimana dokter langsung dapat melakukan tindakan. Keadaan seperti ini yang disebut dengan zaakwaarneming sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Dengan demikian, selain hubungan hukum antara dokter dan pasien terbentuk karena transaksi terapeutik (ius contracto), maka hubungan hukum antara dokter dan pasien juga bisa terbentuk didasarkan pada zaakwaarneming dan atau disebabkan karena undang-undang (ius delicto). Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang seperti ini merupakan salah satu ciri dari transaksi terapeutik yang membedakan dengan perjanjian (transaksi) pada umumnya sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata.

Dari hubungan antara dokter dan pasien dalam transaksi terapeutik tersebut, masing-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang kedua pihak tersebut harus dilakukan dan dipenuhi. Dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, berikut adalah hak dan kewajiban dari dokter:

1) Hak dokter
  1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; 
  2. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional; 
  3. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan 
  4. menerima imbalan jasa. 
2) Kewajiban dokter
  1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
  2. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; 
  3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; 
  4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
  5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. 
Selain itu, dalam undang-undang yang sama, berikut adalah hak dan kewajiban dari pasien:

1) Hak pasien
  1. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, yakni:
  • diagnosis dan tata cara tindakan medis;
  • tujuan tindakan medis yang dilakukan; 
  • alternatif tindakan lain dan risikonya; 
  • risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan 
  • prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. 
     2.  meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
     3.  mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
     4.  menolak tindakan medis; dan
     5.  mendapatkan isi rekam medis.

2) Kewajiban pasien
  1. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; 
  2. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; 
  3. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan 
  4. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. 

Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter yang pakar dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit. Hubungan antara dokter dengan pasien, telah terjadi sejak dahulu. Dokter dianggap sebagai seseorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan hukum antara Dokter dengan pasien, berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik layaknya bapak dan anak yang bertolak pada prinsip “father knows best” dimana seorang dokter dianggap lebih mengetahui dan mampu untuk mengobati atas penyakit yang diderita oleh pasien. Sehingga, kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien dan dokter memiliki peranan penting. Di dalam perkembangannya, pola hubungan antara dokter dan pasien yang demikian tersebut, lambat laun telah mengalami pergeseran ke arah yang lebih demokratis yaitu hubungan horizontal kontraktual atau partisipasi bersama. Kedudukan dokter tidak lagi dianggap lebih tinggi daripada pasien melainkan kedudukan dokter dan pasien dalam hubungannya tersebut sudah seimbang atau sederajat. Pasien tidak lagi dianggap sebagai objek hukum tetapi pasien sudah sebagai subjek hukum. Segala sesuatunya dikomunikasikan di antara kedua belah pihak sehingga menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, baik dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan maupun si pasien sendiri selaku penerima pelayanan kesehatan. 

Hubungan hukum dokter dan pasien akan menempatkan dokter dan pasien berada pada kesejajaran, sehingga setiap apa yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tersebut harus melibatkan pasien dalam menentukan apakah sesuatu tersebut dapat atau tidak dapat dilakukan atas dirinya. Salah satu bentuk kesejajaran dalam hubungan hukum dokter dan pasien adalah melalui informed consent atau persetujuan tindakan medik. Pasien berhak memutuskan apakah menerima atau menolak sebagian atau seluruhnya rencana tindakan da pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya.

Hubungan hukum dokter dan pasien menempatkan keduanya sebagai subjek hukum yang masing-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus di hormati. Dokter sebagai subjek hukum mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala sesuatu yang menjadi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien mempunyai kewajiban yang sama untuk memenuhi hak-hak dokter. Pengingkaran atas pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak akan menimbulkan tidak ada harmonisasi dalam hubungan hukum tersebut yang dapat berbuntut pada gugatan atau tuntutan hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan hak-haknya atau kepentingan-kepentingannya.

Dokter tidak boleh bertindak arogan dan semena-mena atas superioritas yang dimilikinya atas pasien karena memiliki keahlian dan kecakapan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kesehatan. sehingga pasien merasa sangat tergantung pada dokter. Perbuatan seperti itu adalah sebuah perbuatan melanggar hukum karena tidak menghargai hak-hak pasien dalam perjanjian terapeutik tersebut.

Hubungan hukum dokter dan pasien mengacu pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang di dalam pasal tersebut mengatur syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian atau perikatan hukum syarat-syarat tersebut yaitu antara lain:

1) Pelaku perjanjian harus dapat bertindak sebagai subjek hukum
2) Perjanjian antara subjek hukum tersebut harus atas dasar sukarela dan tanpa paksaan
3) Perjanjian tersebut memperjanjikan sesuatu di bidang pelayanan kesehatan
4) Perjanjian tersebut harus atas sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan hukum.

AKIBAT HUKUM TRANSAKSI TERAPEUTIK

Seperti yang telah disebutkan di atas, akibat hukum dari suatu perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien. Hal ini berlaku juga dengan transaksi terapeutik. Jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien. Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam pasal 1338 dan 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sebagai berikut:

Pasal 1338

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Pasal 1339

“Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”.

Dari kedua pasal di atas dapat diambil pengertian sebagai berikut:
  1. Transaksi terapeutik berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan hal yang diperjanjikan.
  2. Transaksi terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain, misalnya karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain tanpa indikasi medis yang jelas. Untuk mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau keluarganya.
  3. Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Wawancara dalam pengobatan harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut oleh dokter, dan pasien harus membantu menjawab dengan itikad baik pula agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.
  4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien. Dokter harus menjaga mutu pelayanan dengan berpedoman kepada standar pelayanan medik yang telah disepakati bersama dalam rumah sakit maupun organisasi profesi sebagai kebiasaan yang berlaku, serta memikirkan kelayakan dan kepatutan yang ada di masyarakat.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang transaksi terapeutik, maka akan dipaparkan kekhususan transaksi terapeutik dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut (Komalawati, 2002):
  1. Subjek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga profesional di bidang medik yang kompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut.
  2. Objek perjanjian berupa upaya medik profesional yang mencirikan pemberian pertolongan.
  3. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Rumah Sakit adalah sebuah institusi yang di dalamnya bernaung tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, dan lain-lain yang bertujuan menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional kepada masyarakat. Transaksi terapeutik yang terjadi di Rumah Sakit berlangsung dalam bentuk perjanjian tertulis berupa persetujuan tindakan medik (informed consent), sehingga formulir yang telah ditandatangani oleh orang yang berhak memberikan informed consent, dapat digunakan menjadi alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Apabila jika suatu ketika terjadi perbuatan melanggar hukum, maka pengadilan umumnya akan menerima hal tersebut sebagai alat bukti adanya kesepakatan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pemaparan dari uraian dalam pembahasan di atas, maka dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.
  2. Transaksi terapeutik terjadi akibat adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien. Timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat disebabkan pasien yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan agar menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan terjadi adanya persetujuan kehendak di antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan si pasien kepada dokter, sehingga si pasien bersedia memberikan persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis (informed consent). Selain itu, yang menyebabkan timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien adalah juga karena adanya keadaan mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya, dalam keadaan terjadinya kecelakaan lalu lintas ataupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat yang mana dokter langsung dapat melakukan tindakan. Keadaan seperti ini yang disebut dengan zaakwaarneming.
  3. Akibat hukum dari dilakukannya transaksi terapeutik tersebut tertuang di dalam pasal 1338 dan 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA 

A. INSTRUMEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Keputusan Menteri Kesehatan RI, No 434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi para Dokter di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/1989.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

B. SITUS INTERNET
Ampera. “Hubungan Hukum Dokter-Pasien”. http://drampera.blogspot.com/2011/04/hubungan-hukum-dokter-pasien.html, diakses pada tanggal 19 April 2014.
Asep0ustom. “Transaksi Terapeutik”. http://chevichenko.wordpress.com/2009/11/28/transaksi-terapeutik/, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Lubis, M. Sofyan. “Hubungan Hukum Dokter & Pasien”. http://kantorhukum-lhs.com/1?id=Hubungan-Hukum-Dokter-Pasien, diakses pada tanggal 19 April 2014.
Prasko Abdullah. “Perjanjian Terapeutik”. http://prasxo.wordpress.com/2011/03/02/perjanjian-terapeutik/, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Satriaapenaa. “Akibat Transaksi / Kontrak / Perjanjian Terapeutik”. http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2309307-akibat-transaksi-kontrak-perjanjian-terapeutik, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Surbakti, Feri Antoni. “Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien dalam Transaksi Terapuetik”. http://feriantonisurbakti.blogspot.com/2013/08/hubungan-hukum-antara-dokter-dan-pasien.html, diakses pada tanggal 19 April 2014.