Artikel: Sejarah Masuknya Hukum Islam di Indonesia serta Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia ~ a Riswan Hanafyah's Blog project

Thursday, July 11, 2013

Artikel: Sejarah Masuknya Hukum Islam di Indonesia serta Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional di Indonesia

LATAR BELAKANG

Indonesia memakai sistem hukum positif, yaitu hukum yang berlaku di suatu wilayah dan waktu tertentu. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum Eropa (Eropa Kontinental), hukum agama (hukum Islam), dan hukum adat (hukum pribumi).

Hukum agama karena sebagian besar masyarakat di Indonesia menganut agama Islam, maka dominasi hukum atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. Namun, hukum agama, dalam hal ini adalah hukum Islam, tidak akan ada tanpa ada sejarah masuknya dari hukum Islam ke Indonesia, dan juga hukum Islam tidak akan berlaku tanpa adanya kedudukan yang jelas dalam sistem hukum di Indonesia.

SEJARAH MASUKNYA HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Hukum Islam telah ada di Kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini, yaitu pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh Masehi sebelum masuknya kolonialisasi di Indonesia. Masa ini terjadi pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia yang memberlakukan hukum Islam dan corak pemerintahan Islam. Proses Islamisasi Hukum Islam terjadi pada awalnya di lakukan oleh saudagar-saudagar Arab dan masyarakat Indonesia dengan cara kontak dagang dan perkawinan. Kontak dagang dan perkawinan dengan orang Indonesia dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah nilai-nilai Islam yang disesuaikan dengan budaya setempat. Pembentukan keluarga Islam inilah kemudian menjadi masyarakat Islam di Indonesia.

Setelah hukum Islam mengakar kemudian tugas saudagar di gantikan oleh Ulama untuk melaksanakan syiar Islam di Indonesia, dari ulama inilah kemudian raja-raja belajar Islam dan memberlakukan hukum Islam walaupun tidak secara penuh. Sebagai contoh Sultan Pasai pada tahun 1345 M di pegang oleh Sultan Malik Al-Zahir adalah seorang Fukaha yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Indonesia.

Secara yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum Islam diberlakukan dalam konteks ijtihad ulama, permasalahan-permasalahan yang terjadi terkadang tidak bisa di selesaikan oleh perundang-undangan kerajaan maka terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fikih. Dengan pola ini mazhab imam 4 Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat ini. Sistem hukum Islam terus berjalan bersamaan dengan sistem hukum adat di Indonesia hingga masuknya kolonialisasi yang dilakukan oleh negara-negara barat di Indonesia. Semula pedagang dari Portugis, Kemudian Spanyol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.

Kehadiran Belanda di Indonesia sejak awal sudah ditentang dengan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, bahkan dari Kerajaan Banten (Jawa Barat) mendapat protes sangat keras, sikap seperti ini di ikuti oleh kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Akan tetapi dengan politik liciknya Belanda dengan dalih sebagai pedagang berhasil menguasai bumi Indonesia, sejak itulah Indonesia menjadi tanah jajahan (daerah koloni) pemerintah Hindia Belanda.

Pada 1742 Belanda yang dikenal dengan VOC dalam Statuta Jakarta memperkenalkan sistem peradilan di Indonesia. Badan peradilan di bentuk maksudnya di samping berlaku untuk orang-orang Belanda juga di upayakan diberlakukan untuk orang-orang pribumi Indonesia. Akan tetapi VOC tidak berhasil karena mendapat reaksi keras dari masyarakat Islam di Indonesia, sehingga kemudian Belanda membiarkan lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat pribumi berjalan seperti biasa, di antaranya hukum perkawinan Islam, dan Waris Islam.

Untuk melegakan umat Islam di Indonesia VOC pada tahun 1760 M menerbitkan Compendium Frijer yang isinya menghimpun hukum perkawinan Islam dan hukum pewarisan Islam yang diberlakukan di pengadilan-pengadilan guna menyelesaikan sengketa umat Islam di Indonesia. Diterbitkan pula kitab “Muharrar” untuk pengadilan di Semarang yang memuat hukum-hukum Jawa yang dijiwai hukum Islam. Di Cirebon diterbitkan Kitab Papekam yang berisikan hukum-hukum Jawa kuno dan untuk luar Jawa untuk daerah Gowa dan Bone. Demikian hukum Islam diberlakukan penuh hingga (dari) tahun 1602-1800M.

Setelah VOC mengakhiri masa kekuasaannya di Indonesia kemudian diteruskan sepenuhnya oleh pemerintah Belanda, pada masa ini kekuasaan kolonialnya di perluas sampai seluruh nusantara. Sejak inilah hukum Islam mengalami pergeseran dan pengikisan, tahun 1848 pemerintah Belanda membentuk panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten Van Oudh Aarlem. Tujuan dibentuknya panitia kodifikasi hukum ini adalah mencari persesuaian hukum di negeri Belanda dengan hukum yang hidup di Indonesia.

Di samping itu akibat politik hukum Belanda asas dualisme hukum yang berlaku di Indonesia satu sisi hukum perdata berat diberlakukan untuk golongan Eropa yang kemudian diberlakukan pula bagi golongan pribumi dan golongan timur Asing dengan asas sukarela. Politik hukum Belanda pada dasarnya mengebiri hukum Adat dan hukum Islam di Indonesia dengan tunduknya kepada hukum perdata berat yang jelas-jelas tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia akan mempermudah pemerintah Belanda menguasai bumi Indonesia dengan kedudukan sangat kuat sebagai penguasa dan rakyat Indonesia sebagai pribumi selamanya.

Pengaruh politik hukum Hindia Belanda terhadap peradilan agama di Indonesia cukup besar baik pada masa Indonesia sebelum merdeka dan setelah Indonesia merdeka dimana hukum Islam dalam perjalanannya selalu dibayangi teori Receptio in Complaexu, terbukti dengan lahirnya beberapa undang-undang yang masih menyudutkan hukum Islam sebagai peradilan kelas dua, hal ini terlihat dengan pelaksanaan eksekusi putusan peradilan hingga tahun 1989 masih dibutuhkan pengukuhan dari pengadilan negeri (Executoir Verklaring).

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL DI INDONESIA

Membicarakan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia, tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu umat Islam. Umat Islam adalah salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di Indonesia dan tidak dapat diceraiberaikan dengan hukum Islam yang sesuai keyakinannya.

Dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat ditafsirkan sebagai berikut.
  1. Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah hukum Islam bagi umat Islam, kaidah agama Nasrani, agama Hindu, ataupun kesusilaan Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik Indonesia tidak boleh diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan bangsa Indonesia.
  2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam, Nasrani, dan Hindu-Bali bagi masing-masing pemeluk. Sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Penyelenggara negara berkewajiban menjalankan syariat yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan. Misalnya, syariat Islam tidak hanya memuat hukum salat, zakat, puasa, dan haji, melainkan juga hukum dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara untuk menjalankannya dengan sempurna. Misalnya, hukum harta kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyelenggaraan hukum perkawinan dan pewarisan, penyelenggaraan hukum pidana (Islam) seperti zina, pencurian, dan pembunuhan. Hal ini memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan Agama) untuk menjalakannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syariat yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan umat Islam yang menjadi warga negara Republik Indonesia.
  3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya. Olehnya, dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi semua orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Artinya hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan dan membiarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan agama masing-masing (H. Mohammad Daud Ali, 1991: 8).
Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: (a) Dr. Muhammad Hatta (almarhum) ketika menjelaskan arti perkataan “kepercayaan” yang termuat dalam ayat (2), menyatakan pada tahun 1974 bahwa perkataan kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan agama. Kuncinya adalah perkataan itu terdapat di ujung ayat (2) Pasal 29 dimaksud. Kata “itu” menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut, Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab Agama (H. Mohammad Daud Ali, 1991: 9).

Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai dengan keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945, tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu bahwa dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah akidah, kepercayaan agama; (b) ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan; (c) pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum pada Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dari sumber hukum dalam mewujudkan keadilan dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1970 peradilan di Indonesia harus dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (sekarang Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004) (H. Mohammad Daud Ali, 1991: 10).

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, dapat diasumsikan bahwa hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dana beberapa instruksi pemerintah yang berkaitan dengan hukum Islam. Demikian juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman bagi para hakim di peradilan khusus, yaitu Peradilan Agama di Indonesia. Hal ini dimaksudkan merupakan pancaran dari norma hukum yang tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Oleh karena itu, keberlakuan dan kekuatan hukum Islam secara ketatanegaraan di negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA


Ali, M. Daud. 2002. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ali, H. Zainuddin. 2006. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.


0 komentar :

Post a Comment