LATAR BELAKANG
Di zaman modern saat ini, kebutuhan akan kesehatan semakin meningkat. Oleh karena itu, semakin banyak dokter yang bermunculan untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pasiennya. Dokter sendiri adalah seseorang yang karena keilmuannya berusaha menyembuhkan orang-orang sakit. Tidak semua orang yang menyembuhkan penyakit bisa disebut dokter. Untuk menjadi dokter biasanya diperlukan pendidikan dan pelatihan khusus dan mempunyai gelar dalam bidang kedokteran. Karena kemampuannya itu, dokter sangat dibutuhkan oleh pasien dalam upaya mendapatkan kesembuhan.
Walaupun dokter telah mempunyai kemampuan tersebut, menjalankan profesi kedokteran atau kesehatan ada hal-hal yang jarang disadari oleh dokter, bahwa saat ia menerima pasien untuk mengatasi masalah kesehatan baik di bidang kuratif, preventif, rehabilitasi maupun promotif, sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan antara dua belah pihak (dokter dan pasien) dalam bidang kesehatan.
Para dokter selama ini mengetahui bila ia telah memiliki ijazah sebagai dokter dan mempunyai izin, maka ia boleh memasang papan praktek, dan siap untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai ijazah yang dimilikinya. Selain itu bila bekerja di rumah sakit, puskesmas, atau pusat pelayanan kesehatan lainnya, maka satu-satunya yang dipikirkan adalah ia harus menjalankan profesinya sesuai dengan misi yang diemban atau ditugaskan. Tidak terlintas dalam pemikirannya bahwa pada waktu menerima pasien sebetulnya telah terjadi transaksi terapeutik.
Hal ini terjadi dan dipahami sebab dahulu tidak pernah disampaikan dalam pendidikan bahwa menerima dan mengobati pasien adalah suatu persetujuan atau transaksi di bidang pengobatan yang mempunyai landasan hukum. Terasa aneh mungkin bila hubungan dokter dengan pasien demikian disebut sebagai kontrak di bidang kedokteran. Sebab pengertian kontrak selama ini lebih dekat pada pengertian sewa menyewa, jual beli atau kontrak antara biro bangunan atau pemborong dengan masyarakat yang ingin membuat rumah atau bangunan lainnya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui semua itu, dalam makalah ini akan dijelaskan apa sebenarnya itu transaksi terapeutik, siapa sajakah pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut, hubungan hukumnya dari pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut, dan akibat hukum transaksi terapeutik tersebut.
DEFINISI TRANSAKSI TERAPEUTIK
Transaksi berarti perjanjian atau persetujuan yaitu hubungan timbal balik antara dua pihak yang bersepakat dalam satu hal. Terapeutik adalah terjemahan dari bahasa Inggris, yakni therapeutic yang berarti dalam bidang pengobatan. Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang berarti pengobatan. Persetujuan yang terjadi di antara dokter dengan pasien bukan di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitasi maupun promotif, maka persetujuan ini disebut transaksi terapeutik.
Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. Dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik tersebut timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga sebaliknya dengan dokter.
Di dalam Mukadimah pada Kode Etik Kedokteran Indonesia, juga tercantum tentang transaksi terapeutik. Yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang transaksi terapeutik di atas, bahwa dalam transaksi terapeutik tersebut mempunyai subjek perjanjian dan objek perjanjian. Pada dasarnya, perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia memuat subjek dan objek dari perjanjian. Subjek dari perjanjian, yakni para pihak dalam perjanjian tersebut dan objek dari perjanjiannya adalah melaksanakan suatu hal. Maka, dalam transaksi terapeutik tersebut, subjek perjanjian dalam transaksi terapeutik adalah pihak dokter dan pihak pasien. Sedangkan objek dari transaksi yaitu bukan “kesembuhan” pasien, melainkan upaya maksimal yang tepat untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien dalam transaksi tersebut.
Yang menjadi pembeda dari transaksi terapeutik dengan transaksi atau perjanjian lainnya seperti perjanjian sewa menyewa atau perjanjian jual beli atau kontrak antara biro bangunan atau pemborong dengan masyarakat yang ingin membuat rumah atau bangunan lainnya, yakni dokter hanya dapat memberikan upaya maksimal. Hubungan dokter dengan pasien ini dalam perjanjian hukum perdata termasuk kategori perikatan berdasarkan daya upaya atau usaha maksimal (inspanningsverbintenis). Ini berbeda dengan ikatan yang termasuk kategori perikatan yang berdasarkan hasil kerja (resultaatsverbintenis). Yang terakhir ini terlihat dalam urusan kontrak bangunan, dimana bila pemborong tidak membuat rumah sesuai jadwal dan bestek yang disepakati, maka pemesan dapat menuntut pemborong.
HUBUNGAN HUKUM ANTARA PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK
Dalam transaksi terapeutik terjadi akibat adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi terapeutik. Seperti yang disebutkan di atas bahwa pihak-pihak tersebut antara lain dokter dan pasien, dan pihak-pihak tersebut berperan sebagai subjek dari transaksi terapeutik. Hubungan hukum dokter dan pasien adalah hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum. Dokter sebagai subjek hukum dan pasien juga sebagai subjek hukum secara sukarela dan tanpa paksaan saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian atau kontrak yang disebut kontrak terapeutik. Dalam hubungan hukum ini maka segala sesuatu yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dalam upaya penyembuhan penyakit pasien adalah merupakan perbuatan hukum yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien, dalam praktek sehari-hari dapat disebabkan dalam berbagai hal. Hubungan itu terjadi antara lain disebabkan pasien yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan agar menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Keadaan ini terjadi adanya persetujuan kehendak di antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan si pasien kepada dokter, sehingga si pasien bersedia memberikan persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis (informed consent). Secara yuridis, informed consent dalam pelayanan kesehatan telah memperoleh pembenaran melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/1989. Di sisi lain, alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien adalah karena keadaan mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya, dalam keadaan terjadinya kecelakaan lalu lintas ataupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat (emergency) dimana dokter langsung dapat melakukan tindakan. Keadaan seperti ini yang disebut dengan zaakwaarneming sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Dengan demikian, selain hubungan hukum antara dokter dan pasien terbentuk karena transaksi terapeutik (ius contracto), maka hubungan hukum antara dokter dan pasien juga bisa terbentuk didasarkan pada zaakwaarneming dan atau disebabkan karena undang-undang (ius delicto). Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang seperti ini merupakan salah satu ciri dari transaksi terapeutik yang membedakan dengan perjanjian (transaksi) pada umumnya sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata.
Dari hubungan antara dokter dan pasien dalam transaksi terapeutik tersebut, masing-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang kedua pihak tersebut harus dilakukan dan dipenuhi. Dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, berikut adalah hak dan kewajiban dari dokter:
1) Hak dokter
- memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
- memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
- memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
- menerima imbalan jasa.
2) Kewajiban dokter
- memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
- merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
- merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
- melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
- menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain itu, dalam undang-undang yang sama, berikut adalah hak dan kewajiban dari pasien:
1) Hak pasien
- mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis, yakni:
2. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
- diagnosis dan tata cara tindakan medis;
- tujuan tindakan medis yang dilakukan;
- alternatif tindakan lain dan risikonya;
- risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
- prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
3. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. menolak tindakan medis; dan
5. mendapatkan isi rekam medis.
2) Kewajiban pasien
- memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
- mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
- mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
- memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter yang pakar dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit. Hubungan antara dokter dengan pasien, telah terjadi sejak dahulu. Dokter dianggap sebagai seseorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan hukum antara Dokter dengan pasien, berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik layaknya bapak dan anak yang bertolak pada prinsip “father knows best” dimana seorang dokter dianggap lebih mengetahui dan mampu untuk mengobati atas penyakit yang diderita oleh pasien. Sehingga, kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien dan dokter memiliki peranan penting. Di dalam perkembangannya, pola hubungan antara dokter dan pasien yang demikian tersebut, lambat laun telah mengalami pergeseran ke arah yang lebih demokratis yaitu hubungan horizontal kontraktual atau partisipasi bersama. Kedudukan dokter tidak lagi dianggap lebih tinggi daripada pasien melainkan kedudukan dokter dan pasien dalam hubungannya tersebut sudah seimbang atau sederajat. Pasien tidak lagi dianggap sebagai objek hukum tetapi pasien sudah sebagai subjek hukum. Segala sesuatunya dikomunikasikan di antara kedua belah pihak sehingga menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, baik dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan maupun si pasien sendiri selaku penerima pelayanan kesehatan.
Hubungan hukum dokter dan pasien akan menempatkan dokter dan pasien berada pada kesejajaran, sehingga setiap apa yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tersebut harus melibatkan pasien dalam menentukan apakah sesuatu tersebut dapat atau tidak dapat dilakukan atas dirinya. Salah satu bentuk kesejajaran dalam hubungan hukum dokter dan pasien adalah melalui informed consent atau persetujuan tindakan medik. Pasien berhak memutuskan apakah menerima atau menolak sebagian atau seluruhnya rencana tindakan da pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya.
Hubungan hukum dokter dan pasien menempatkan keduanya sebagai subjek hukum yang masing-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus di hormati. Dokter sebagai subjek hukum mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala sesuatu yang menjadi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien mempunyai kewajiban yang sama untuk memenuhi hak-hak dokter. Pengingkaran atas pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak akan menimbulkan tidak ada harmonisasi dalam hubungan hukum tersebut yang dapat berbuntut pada gugatan atau tuntutan hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan hak-haknya atau kepentingan-kepentingannya.
Dokter tidak boleh bertindak arogan dan semena-mena atas superioritas yang dimilikinya atas pasien karena memiliki keahlian dan kecakapan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan kesehatan. sehingga pasien merasa sangat tergantung pada dokter. Perbuatan seperti itu adalah sebuah perbuatan melanggar hukum karena tidak menghargai hak-hak pasien dalam perjanjian terapeutik tersebut.
Hubungan hukum dokter dan pasien mengacu pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang di dalam pasal tersebut mengatur syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian atau perikatan hukum syarat-syarat tersebut yaitu antara lain:
1) Pelaku perjanjian harus dapat bertindak sebagai subjek hukum
2) Perjanjian antara subjek hukum tersebut harus atas dasar sukarela dan tanpa paksaan
3) Perjanjian tersebut memperjanjikan sesuatu di bidang pelayanan kesehatan
4) Perjanjian tersebut harus atas sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan hukum.
AKIBAT HUKUM TRANSAKSI TERAPEUTIK
Seperti yang telah disebutkan di atas, akibat hukum dari suatu perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien. Hal ini berlaku juga dengan transaksi terapeutik. Jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien. Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam pasal 1338 dan 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sebagai berikut:
Pasal 1338
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.
Pasal 1339
“Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”.
Dari kedua pasal di atas dapat diambil pengertian sebagai berikut:
- Transaksi terapeutik berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan hal yang diperjanjikan.
- Transaksi terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain, misalnya karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain tanpa indikasi medis yang jelas. Untuk mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau keluarganya.
- Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Wawancara dalam pengobatan harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut oleh dokter, dan pasien harus membantu menjawab dengan itikad baik pula agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.
- Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien. Dokter harus menjaga mutu pelayanan dengan berpedoman kepada standar pelayanan medik yang telah disepakati bersama dalam rumah sakit maupun organisasi profesi sebagai kebiasaan yang berlaku, serta memikirkan kelayakan dan kepatutan yang ada di masyarakat.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang transaksi terapeutik, maka akan dipaparkan kekhususan transaksi terapeutik dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut (Komalawati, 2002):
- Subjek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenaga profesional di bidang medik yang kompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut.
- Objek perjanjian berupa upaya medik profesional yang mencirikan pemberian pertolongan.
- Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).
Rumah Sakit adalah sebuah institusi yang di dalamnya bernaung tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, dan lain-lain yang bertujuan menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional kepada masyarakat. Transaksi terapeutik yang terjadi di Rumah Sakit berlangsung dalam bentuk perjanjian tertulis berupa persetujuan tindakan medik (informed consent), sehingga formulir yang telah ditandatangani oleh orang yang berhak memberikan informed consent, dapat digunakan menjadi alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Apabila jika suatu ketika terjadi perbuatan melanggar hukum, maka pengadilan umumnya akan menerima hal tersebut sebagai alat bukti adanya kesepakatan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pemaparan dari uraian dalam pembahasan di atas, maka dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.
- Transaksi terapeutik terjadi akibat adanya hubungan hukum antara dokter dan pasien. Timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien dapat disebabkan pasien yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan agar menyembuhkan penyakit yang dideritanya, dan terjadi adanya persetujuan kehendak di antara kedua belah pihak. Hubungan hukum ini bersumber pada kepercayaan si pasien kepada dokter, sehingga si pasien bersedia memberikan persetujuan kepada dokter untuk melakukan tindakan medis (informed consent). Selain itu, yang menyebabkan timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien adalah juga karena adanya keadaan mendesak untuk segera mendapatkan pertolongan dari dokter. Misalnya, dalam keadaan terjadinya kecelakaan lalu lintas ataupun karena adanya situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat yang mana dokter langsung dapat melakukan tindakan. Keadaan seperti ini yang disebut dengan zaakwaarneming.
- Akibat hukum dari dilakukannya transaksi terapeutik tersebut tertuang di dalam pasal 1338 dan 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Menteri Kesehatan RI, No 434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi para Dokter di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/1989.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Menkes/1989.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
B. SITUS INTERNET
Ampera. “Hubungan Hukum Dokter-Pasien”. http://drampera.blogspot.com/2011/04/hubungan-hukum-dokter-pasien.html, diakses pada tanggal 19 April 2014.
Asep0ustom. “Transaksi Terapeutik”. http://chevichenko.wordpress.com/2009/11/28/transaksi-terapeutik/, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Lubis, M. Sofyan. “Hubungan Hukum Dokter & Pasien”. http://kantorhukum-lhs.com/1?id=Hubungan-Hukum-Dokter-Pasien, diakses pada tanggal 19 April 2014.
Prasko Abdullah. “Perjanjian Terapeutik”. http://prasxo.wordpress.com/2011/03/02/perjanjian-terapeutik/, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Satriaapenaa. “Akibat Transaksi / Kontrak / Perjanjian Terapeutik”. http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2309307-akibat-transaksi-kontrak-perjanjian-terapeutik, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Asep0ustom. “Transaksi Terapeutik”. http://chevichenko.wordpress.com/2009/11/28/transaksi-terapeutik/, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Lubis, M. Sofyan. “Hubungan Hukum Dokter & Pasien”. http://kantorhukum-lhs.com/1?id=Hubungan-Hukum-Dokter-Pasien, diakses pada tanggal 19 April 2014.
Prasko Abdullah. “Perjanjian Terapeutik”. http://prasxo.wordpress.com/2011/03/02/perjanjian-terapeutik/, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Satriaapenaa. “Akibat Transaksi / Kontrak / Perjanjian Terapeutik”. http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2309307-akibat-transaksi-kontrak-perjanjian-terapeutik, diakses pada tanggal 16 April 2014.
Surbakti, Feri Antoni. “Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien dalam Transaksi Terapuetik”. http://feriantonisurbakti.blogspot.com/2013/08/hubungan-hukum-antara-dokter-dan-pasien.html, diakses pada tanggal 19 April 2014.
0 komentar :
Post a Comment