LATAR BELAKANG
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi atau hak dasar sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang dapat merampas hak tersebut. Hak Asasi Manusia diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konstitusi ILO. Dengan demikian semua negara di dunia secara moral dituntut untuk menghormati, menegakkan dan melindungi hak tersebut. Salah satu bentuk hak asasi adalah jaminan kebebasan untuk melakukan suatu pekerjaan. Jaminan kebebasan tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan telah diatur dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam, untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia dituntut untuk bekerja. Namun, pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja atau buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi perkembangan dunia usaha.
Penduduk Indonesia termasuk kelima terbesar di dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, Uni Soviet (Federasi Rusia), dan Amerika Serikat. Penduduk Indonesia bertambah cukup pesat dengan laju pertumbuhan sebesar 2,1 persen dalam tahun 1961-1971 dan 2,3 persen dalam tahun 1971-1980. Menurut sensus penduduk 2000, Indonesia memiliki populasi sekitar 206 juta, dan menjadikan banyak orang membutuhkan pekerjaan walaupun lahan pekerjaannya sedikit.
Menurut data statistik Indonesia 2004, jumlah buruh atau pekerja di Indonesia mencapai 25,5 juta jiwa (27,16%) dan jumlah penduduk yang bekerja. Persentase terbesar dan buruh atau pekerja bekerja di sektor pertanian, industri dan perdagangan, yang terdiri dan wiraswasta 42.79%, buruh atau pekerja tidak tetap 50.28% dan buruh atau pekerja 6,93%.
Dari persentase di atas, ada pula tenaga kerja yang masih anak-anak. Berdasarkan data dari BPS pada bulan Oktober 2000, jumlah pekerja anak usia 10-14 tahun tercatat sebanyak 2,05 juta, dan terus turun hingga pada Oktober 2005 menjadi 1,64 juta jiwa. Setelah krisis, pada tahun 2006 terjadi peningkatan menjadi 1,81 juta dan pada tahun 2007 mencapai angka 2,21 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2008 mencapai angka 5,75 juta jiwa. Jumlah tersebut akan jauh lebih besar jika dihitung pekerja anak yang berusia di bawah 10 tahun dan di atas 14 tahun (Haryadi, 1995: 20).
Masih banyak pekerja anak yang bekerja dalam situasi buruk. Jumlahnya mencapai 1,7 juta. Mereka misalnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pekerja tambang, dan pekerja di pabrik yang rentan terpapar bahan kimia. Tingginya angka pekerja anak ini dibarengi pula dengan meningkatnya jumlah anak telantar dan anak jalanan. Komnas mencatat saat ini jumlah anak telantar mencapai 6,1 juta. Pada 2010 jumlahnya hanya mencapai 4,5 juta. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), saat ini Komisi mencatat jumlah pekerja anak lebih dari 4 juta. Jumlah yang besar ini masih harus mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Anak pada dasarnya, masih membutuhkan pembelajaran dan perkembangan sesuai dengan umurnya, seperti belajar, bermain, dan juga lainnya. Namun, pada kenyataannya, sesuai dengan persentase di atas, tidak sedikit juga anak yang melakukan pekerjaan-pekerjaan, baik itu pekerjaan yang ringan sampai pekerjaan yang berat.
Pada usia berapa seseorang diperbolehkan untuk bekerja? Pekerja dengan usia muda bahkan mungkin di bawah umur angkatan kerja yang sering disebut sebagai pekerja anak masih banyak kita jumpai di Indonesia. Bagaimana sebenarnya Undang-undang mengaturnya?
Apakah seorang anak berusia 13 tahun layak bekerja? Tentu saja sisi perkembangan kepribadian, mentalitas dalam bekerja, pengetahuan, dan sebagainya mempengaruhi kinerja kerja mereka apalagi bila mereka diberi pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai tanggung jawab yang berat. Belum lagi, pekerjaan berat bisa mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial anak-anak. Jadi apakah layak?
Maka, dari beberapa uraian tersebut di atas, diperlukan beberapa aturan-aturan mengenai tenaga kerja anak atau pekerja anak. Selain itu, diperlukan juga beberapa perlindungan-perlindungan bagi tenaga kerja anak atau pekerja anak itu sendiri.
TENAGA KERJA ANAK ADALAH...
Tenaga kerja anak atau juga yang dikenal dengan pekerja anak atau dalam bahasa Inggris, yakni Child Labour adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat diartikan adalah anak yang melakukan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan menghambat proses belajar serta tumbuh kembang. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.
Di beberapa negara, hal ini dianggap tidak baik bila seorang anak di bawah umur tertentu, tidak termasuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan sekolah. Seorang 'bos' dilarang untuk mempekerjakan anak di bawah umur, namun umum minimumnya tergantung dari peraturan negara tersebut.
Meskipun ada beberapa anak yang mengatakan dia ingin bekerja (karena bayarannya yang menarik atau karena anak tersebut tidak suka sekolah), hal tersebut tetap merupakan hal yang tidak diinginkan karena tidak menjamin masa depan anak tersebut. Namun beberapa kelompok hak pemuda merasa bahwa pelarangan kerja di bawah umur tertentu melanggar hak manusia.
Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak manusia, dan melarangnya, tetapi negara miskin mungkin masih mengizinkan karena keluarga sering kali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadang kala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.
ATURAN-ATURAN MENGENAI TENAGA KERJA ANAK
Menurut UU No. 1/1951, anak (8-14 tahun) dilarang bekerja. Namun ketentuan ini masih belum berlaku karena belum ada peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hukum ini dengan terpaksa diberlakukanlah ketentuan lama yaitu: Stbl. I 925 No. 647 tentang Pembatasan Pekerjaan anak dan wanita pada malam hari.
Menurut ketentuan ini, anak dapat dipekerjakan dengan berbagai syarat yang menyangkut:
- Jenis Pekerjaan
- Umur, seria
- Waktu Kerja dan Lamanya Kerja.
Hal-hal tersebut di atas tercermin dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
- Anak yang berumur antara 8-14 tahun boleh melakukan pekerjaan, kecuali pada malam hari antara jam: 20.0-05.00.
- Anak-anak yang berumur di bawah 12 tahun tidak boleh melakukan pekerjaan terutama di:
- Pabrik yang tertutup.
- Di tempat kerja dimana dipekerjakan secara bersama-sama lebih dan 10 orang.
- Di tempat kerja dimana dilakukan pembuatan, pemeliharaan, pembetulan, pembongkaran, air, dan gedung.
- Pada perusahaan Kereta Api dan Trem.
Selanjutnya ketentuan pembatasan pekerjaan anak ini atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja 1/1987 tentang Perlindungan Anak yang terpaksa bekerja, ketentuan ini menentukan hal-hal sebagai berikut:
- Tidak boleh mempekerjakan anak lebih dan 4 jam/hari.
- Tidak boleh mempekerjakan anak pada malam hari.
- Wajib membayar upah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
- Mewajibkan kepada pengusaha untuk mengupayakan agar buruh anak diberi kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar.
PTMK ini juga dilengkapi dengan ancaman sanksi pidana bagi pelanggarnya maksimum 3 (tiga) bulan kurungan.
UU No. 20/1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia Minimum untuk diperbolehkan menyatakan bahwa batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang diberlakukan di wilayah Repub1ik Indonesia adalah 15 tahun.
Para negara yang meratifikasi Konvensi No. 138 diharuskan untuk kebijakan nasional yang dirancang untuk menjamin penghapusan anak secara efektif Kebijakan yang sama harus ditujukan untuk menaikkan secara progresif usia minimum untuk bekerja pada tingkat yang dengan pertumbuhan mental dan fisik anak secara penuh.
Masing-masing negara yang meratifikasi harus merinci usia minimum yang diberlakukan. Sebagai pegangan, harus ditentukan tidak lebih dan umur 15 tahun, atau sampai batas usia wajib sekolah, bila lebih tinggi dan usia 15 tahun. Meskipun begitu, para negara yang sedang berkembang boleh menentukan batas usia minimum 14 tahun, sebagai awalnya.
Peraturan ini harus diabaikan untuk jenis pekerjaan yang dapat merusak “kesehatan, keselamatan atau moral” anak. Untuk aktivitas itu, batas usia minimum tidak boleh kurang dari 18 tahun, atau 16 tahun dengan penjagaan atau bimbingan yang tepat.
Konvensi ini juga menyediakan sejumlah pengecualian dan alasan tidak mengikuti peraturan usia minimum dengan pilihan sebagai berikut:
- Tidak termasuk pekerjaan tertentu dimana akan timbul masalah substansial apabila pelaksanaan peraturan dipaksakan (dengan pengecualian tidak untuk pekerjaan berbahaya), setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja terkait;
- Izin untuk pekerjaan ringan yang tidak membahayakan kesehatan perkembangan anak dan yang tidak menghalangi waktu anak bersekolah, ini ditentukan oleh pihak yang berwenang, dan usia tahun (atau 12 tahun). jika peraturan usia minimumnya adalah 14 tahun.
- Izin untuk anak berpartisipasi dalam pertunjukan kesenian, berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja terkait, diberikan secara kasus per kasus.
Suatu negara anggota yang ekonomi dan administrasinya berkembang secara memadai dapat pertama-tama membatasi pelaksanaan Konvensi pada cabang-cabang tertentu dan aktivitas ekonominya. Hal ini harus didahului dengan konsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja yang bersangkutan. Selanjutnya, cabang-cabang yang dimaksud harus meliputi juga bidang pertambangan dan penggalian; pabrik, konstruksi listrik, gas dan air; pelayanan kebersihan (sanitasi); transpor, penyimpanan dan komunikasi; dan perusahaan perkebunan dan pertanian untuk kebutuhan komersial (tidak termasuk perusahaan skala kecil milik keluarga).
Suatu negara anggota yang memutuskan untuk meratifikasi Konvensi No. 138 harus menyiapkan deklarasi seiring dengan ratifikasinya;
- Spesifikasi dan usia minimum yang akan diberlakukan (ini dinaikkan, tetapi tidak boleh diturunkan);
- Jika bermaksud membatasi lingkup penerapan Konvensi ini, harus ada spesifikasi mengenai cabang-cabang aktivitas ekonomi yang akan dikenakan Konvensi ini pada awalnya. (Selanjutnya, lingkup penerapannya boleh diperluas, tetapi tidak boleh dipersempit).
Pemerintah yang mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi No. 138 ini boleh meminta bantuan ILO untuk mengukur kondisi nasional negaranya sebelum memutuskan meratifikasi.
Pemerintah Indonesia tampak masih belum konsisten dalam melaksanakan Konvensi hak Anak PBB yang telah menjadi hukum internasiona1 sejak 2 September 1990. Umur pekerja anak yang menurut ketentuan dunia berumur minimal 18 tahun tidak ditaati, sejumlah anak masih dieksploitasi dan dipekerjakan secara tidak manusiawi.
Persatuan Buruh Dunia (ILO No. 139 Tahun 1973) pun telah membuat konvensi mengenal usia minimum buruh anak yang menyebutkan anak tidak boleh dipekerjakan dalam sektor ekonomi mana pun di bawah umur yang sedang berada dalam penyelesaian wajib sekolah dan tidak kurang dan umur 15 tahun. Umur minimum untuk masuk angkatan kerja yang tidak membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral adalah 18 tahun.
Sejumlah tindakan khusus perlu diambil pemerintah agar bangsa Indonesia tidak dinilai buruk oleh dunia internasional karena melakukan pelanggaran Konvensi Hak Anak PBB. Pertama, menghapus segera pekerja anak di lingkungan yang membahayakan dan eksploitatif termasuk pekerjaan yang menghambat fisik, sosial, tatif termasuk pekerjaan yang menghambat fisik, sosial, kognitif, emosional atau pun moral anak tidak boleh ditolerir. Pemerintah harus tegas menindak pengusaha yang mempekerjakan anak secara tidak manusiawi.
Kedua, pemerintah perlu menyediakan wajib belajar cuma-cuma bagi anak tidak mampu. Pemerintah harus memenuhi tanggung jawab mereka untuk menyediakan pendidikan dasar yang relevan secara cuma-cuma dan diwajibkan bagi anak dan menjamin semua anak masuk sekolah dasar sampai tamat.
Ketiga, adanya perlindungan hukum yang lebih luas bagi anak. Perundang-Undangan mengenai pekerja anak dan pendidikan anak harus konsisten dalam tujuannya dan dilaksanakan dengan cara saling mendukung. Undang-undang mengenai pekerja anak harus selaras dengan Konvensi Hak Anak PBB dan Konvensi ILO.
Keempat, pemerintah harus melakukan pencatatan kelahiran semua anak. Semua anak harus dicatat saat lahir. Hak ini penting untuk memungkinkan penerapan hak anak, seperti memperoleh pendidikan, perawatan kesehatan dan pelayanan dan pemerintah lainnya. Kelima, pengumpulan data dan pemantauan. Data mengenai pekerja anak sangat sulit. Jika pekerja anak ditangani secara serius, maka akan didapatkan angka rasional yang dapat memberikan sumbangan data guna merancang kepentingan dan keselamatan anak. Terakhir perlu disusun peraturan dan kebijakan dunia usaha. Dunia usaha baik nasional maupun internasional harus didesak untuk tidak mempekerjakan anak-anak.
Selain dari Konvensi ILO Nomor 138 dan Konvensi ILO Nomor 139, diatur juga ke dalam Konvensi ILO Nomor 182 mengenal Pelarangan dan Tindakan Segera untuk Penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (Convension Concerning the Prohibition And Immediate Action For The Elimination of the Worst Form of Child Labour) yang diratifikasi Pemerintah Indonesia pada tanggal 8 Maret 2000 dengan UU No. 1/2000.
Dalam konvensi ini, memuat tentang pelarangan dan tindakan segera untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, dengan isi pokok-pokok berikut:
- Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
- “Anak” berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
- Pengertian “bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak” adalah (1) segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; (2) pemanfaatan penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno; (3) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan; (4) pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
- Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
- Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil langkah-langkah agar ketentuan Konvensi ini dapat diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana.
- Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya.
PERLINDUNGAN BAGI TENAGA KERJA ANAK
Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat di Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang bekerja, terutama anak yang masih di bawah umur. Begitu seriusnya permasalahan pekerja anak di atas, peraturan yang digunakan untuk melakukan perlindungan terhadap pekerja anak di samping ada yang merupakan upaya ratifikasi dari konvensi Internasional, juga sebagian merupakan peraturan yang dibuat atas dasar dan inisiatif pemerintah Indonesia. Namun demikian peraturan perundangan yang ada tersebut secara substansial sudah cukup memadai, akan tetapi secara penerapannya masih sangat jauh dari harapan.
Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment). Pendekatan abolisi mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh bekerja dalam kondisi apapun, karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Sementara pendekatan proteksi mendasarkan pemikirannya pada jaminan terhadap hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai warga negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan sebenarnya merupakan lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan terhadap pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Pada dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara terus-menerus mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala bentuk pekerja anak.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment the Abolition of Forced Labour atau Konvensi ILO No. 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja Tahun 1973. Konvensi ini telah diadopsi oleh konferensi umum ILO pada tanggal 26 Juni 1973, dan Indonesia telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999. Konvensi ini sendiri, seperti yang tercantum dalam alinea keempat pembukaannya, dimaksudkan untuk menetapkan suatu naskah umum mengenai batasan umur yang secara berangsur-angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang berlaku pada sektor ekonomi yang terbatas. Hal ini karena sebelumnya memang sudah ada rumusan tentang batasan umur minimal untuk bekerja, hanya saja rumusan itu berbeda-beda untuk setiap jenis dan sektor kerja. Alinea keempat pembukaan ini juga menyebutkan bahwa tujuan dari konvensi ini sendiri adalah untuk menghapus anak sebagai pekerja pada kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
Selain itu juga pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Intermediate Action for the Elimination of The Worst Forms of Child Labour Atau Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak Tahun 1999. Rumusan instrumen internasional yang ditetapkan oleh ILO sebagai kelanjutan dari upaya perlindungan pekerja yang telah dirumuskan oleh konvensi sebelumnya adalah konvensi ILO No. 182. konvensi ini lahir berdasarkan pertimbangan bahwa dipandang perlu adanya instrumen ketenagakerjaan yang baru untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak.
Beberapa muatan asas yang berkaitan dengan perlindungan anak terhadap eksploitasi anak sebagai pekerja dalam konvensi ini adalah asas perlindungan, asas pencegahan, asas penerapan secara efektif, dan asas kerja sama nasional. Konvensi ini juga memuat norma-norma yang berkaitan langsung dengan konsep perlindungan anak sebagai pekerja. Pasal 1 mewajibkan negara anggota untuk mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja anak sebagai hal yang mendesak.
Pasal lain yang berkaitan dengan asas perlindungan anak sebagai pekerja adalah pasal 4, yang merumuskan bahwa untuk pekerjaan berbahaya harus diatur oleh peraturan atau undang-undang nasional, juga mensyaratkan bahwa negara-negara peserta wajib untuk melakukan identifikasi tempat-tempat adanya bentuk-bentuk pekerjaan terburuk tersebut berada Lebih lanjut pasal ini juga merumuskan adanya peninjauan berkala dan revisi tentang jenis-jenis pekerjaan terburuk tersebut Hal ini membuka peluang masuknya rumusan baru tentang jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan penerapan secara efektif diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7. Pada prinsipnya konvensi ILO No. 182 mencoba memberikan rumusan perlindungan terhadap anak sehingga anak tidak dipekerjakan.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi merupakan bagian dari hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights). Lebih lanjut konvensi juga menentukan langkah-langkah yang harus diambil, yaitu antara lain; menentukan umur minimum atau umur-umur minimum untuk ijin bekerja, menetapkan peraturan-peraturan yang tepat mengenai jam-jam kerja dan syarat-syarat perburuhan, dan menentukan hukuman atau sanksi-sanksi lain yang tepat untuk menjamin pelaksanaannya yang efektif (Kurniaty, 2007: 108).
Di sini berarti negara penanggung jawab perlindungan anak harus mampu mengambil kebijakan baik secara yuridis, sosial, serta melakukan kerja sama internasional dalam rangka melindungi hak anak dari eksploitasi ekonomi. Hal ini tentunya termasuk harmonisasi hukum nasional terhadap instrumen hukum internasional yang mengatur perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Undang-undang organik tentang perlindungan hak asasi manusia dari UUD 1945 hasil amandemen IV. Rumusan mengenai hak anak disebutkan dalam pasal 52 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Selain itu pasal ini juga menyebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia sehingga demi kepentingan anak, hak tersebut harus diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut, pasal ini merupakan rumusan perlindungan hak anak yang harus dilindungi oleh hukum.
Beberapa pasal lain dalam UU HAM yang memuat ketentuan perlindungan anak, terutama dalam bentuk perlindungan terhadap anak sebagai pekerja adalah Pasal 64 dan Pasal 65. Pasal 64 berbunyi: "setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya".dan Pasal 65 berbunyi: "setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya".
Masalah pekerja anak juga tidak bisa terlepas dengan upaya kesejahteraan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, seperti dijelaskan dalam Pasal I, bertujuan menciptakan suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Karena itu anak harus diberikan perlindungan secara khusus untuk melindungi dari hal-hal yang dapat membahayakan kesejahteraan mereka.
Masalah perlindungan anak sebagai pekerja memang tidak diatur dalam rumusan undang-undang tentang kesejahteraan anak. Hanya saja jika kita melihat permasalahan pekerja anak dalam kerangka perlindungan anak, maka akan ditemukan bahwa pekerja anak sebagai suatu hal yang bertentangan dengan undang-undang ini. Contohnya Pasal 2 ayat (4) yang merumuskan bahwa anak memiliki hak atas perlindungan dari lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Rumusan ini berkaitan era! dengan dengan konsep perlindungan anak sebagai pekerja. Di banyak tempat, anak yang bekerja akan selalu berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan tereksploitasi. Begitu juga dengan kondisi , kerja yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
Di Indonesia juga sudah mempunyai Undang-Undang khusus untuk melindungi hak-hak anak, yaitu Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang tentang perlindungan anak ini ditetapkan pada tahun 2002, dua belas tahun setelah Indonesia menyatakan meratifikasi konvensi hak anak. Dari lamanya rentang waktu ini terlihat kurang seriusnya pemerintah untuk benar-benar melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak. Pasal 2 menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, selanjutnya Pasal 20 mewajibkan kepada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua untuk ikut bertanggung jawab terhadap perlindungan anak. Bagian lain dari undang-undang ini merumuskan ancaman pidana bagi pelaku eksploitasi anak, termasuk orang yang mengetahui adanya eksploitasi. Pasal-pasal dalam undang-undang ini sangat berkaitan dengan rumusan perlindungan anak sebagai pekerja. Terutama dengan kaitan jenis-jenis pekerjaan terburuk bagi anak seperti yang dimaksudkan dalam konvensi ILO No. 182. dengan adanya ketentuan pidana dalam undang-undang ini, maka perlindungan terhadap anak terutama dalam hal anak sebagai pekerja, diharapkan dapat terlaksana. Memang undang-undang ini tidak mengatur secara khusus mengenai perlindungan anak sebagai pekerja. Akan tetapi ketentuan-ketentuan konvensi ILO No. 138 dan konvensi ILO No. 182 telah dijadikan dasar hukum adanya undang-undang ini.
Kebijakan perlindungan anak terhadap penanggulangan pekerja anak dianggap belum efektif. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala di lapangan. Antara lain, nilai-nilai sosial seperti nilai historis, tradisi, kebiasaan, lingkungan sosial, budaya masyarakat yang tersusun dari tingkah laku yang terpola, dan lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan oleh bidang pengawasan ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa masalah yang terkait dengan pekerja anak adalah masalah lintas sektoral, yang meliputi aspek ekonomi (anak bekerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sebuah keluarga), budaya (anak bekerja merupakan ‘keharusan’ budaya masyarakat tertentu yang merupakan doktrin Jawa ‘banyak anak banyak rezeki’), politik (dengan anak bekerja, dapat diharapkan dapat melanggengkan dominasi trah/kekuasaan), hukum (anak yang bekerja juga melingkupi penegasan status dan kedudukan anak sebagai subyek yang memiliki hak dan kewajiban yang harus dijamin oleh hukum), sosial (anak yang bekerja dapat mengangkat harkat dan derajat sebuah keluarga di mata masyarakat/anak yang menganggur adalah hina di mata masyarakat). Sehingga berpijak dari berbagai macam perspektif masalah anak yang bekerja tersebut, menuntut pula regulasi dan pengaturan yang komprehensif dalam bentuk peraturan perundangan yang seharusnya dibuat, baik oleh eksekutif maupun legislatif, baik di tingkat pusat maupun di tingkatan daerah, selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah.
Oleh karena itu, penanggulangan pekerja anak lebih dipertegas lagi dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001, tanggal 8 Januari 2001, tentang Penanggulangan Pekerja Anak, dijelaskan dalam pasal 1 ayat 4, bahwa Penanggulangan Pekerja Anak atau disebut PPA adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk menghapus, mengurangi dan melindungi pekerja anak berusia 15 tahun ke bawah agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya. Sedangkan pelaksanaan kegiatan PPA dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Kemasyarakatan dan lembaga lain yang peduli terhadap pekerja anak.
Dalam pasal 4 juga dijelaskan bahwa Pemerintah Daerah melakukan langkah-langkah pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan PPA. Hal ini menunjukkan peran Pemerintah Daerah sangat besar terhadap keberhasilan untuk menanggulangi pekerja anak, karena semua peran dari Pemerintah Daerah terkait dengan adanya Otonomi Daerah.
Untuk bisa mencapai pada keberhasilan tersebut, maka diatur juga dalam pasal 5 mengenai program-program dari PPA. Program yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah tersebut memang sangat penting untuk usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak.
Secara konsepsional, setidaknya ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yang sekiranya dapat dipergunakan sebagai upaya untuk mengatasi dan sekaligus memberdayakan pekerja anak, yakni penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan penguatan atau pemberdayaan (empowerment) (Affandi, 2007: 17).
Pendekatan penghapusan muncul berdasarkan asumsi bahwa seorang anak tidak boleh bekerja, karena dia harus sekolah dan bermain. Hal ini menurut penulis, dilandasi oleh semangat dan kultur masyarakat industri maju Negara-negara Barat. Sebab dalam masyarakat yang sudah maturity industrinya, tidak ditemukan persoalan yang signifikan bahwa mereka para keluarga mengharuskan anaknya bekerja karena alasan ekonomi, sebagaimana negara-negara miskin di kawasan Asia, Amerika latin dan Afrika. Sehingga dalam Negara maju tersebut, sering kita jumpai aturan yang melarang segala jenis pekerja anak dan oleh karenanya praktek kerja anak harus dihapuskan.
Dunia anak adalah dunia sekolah dan dunia bermain, yang diarahkan kepada peningkatan dan akselerasi perkembangan jiwa, fisik, mental, moral dan sosial. Aturan dan kurikulum sekolah anak di desain sedemikian rupa sehingga anak benar-benar “IN” dalam dunia mereka sendiri, yang merupakan bagian integral dari proses yang sistematis dalam melahirkan generasi serta dunia anak yang kondusif.
Pendekatan perlindungan, muncul berdasarkan pandangan bahwa anak sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja. Oleh karenanya hak-haknya sebagai pekerja harus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku bagi pekerja dewasa, sehingga terhindar dari tindak penyalahgunaan dan eksploitasi. Dalam pandangan penulis, pendekatan kedua ini tidak melarang anak bekerja karena bekerja adalah bagian dari hak asasi anak yang paling dasar. Meskipun masih anak-anak, hukum harus dapat menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi untuk mendapatkan pekerjaan dan oleh karenanya juga mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Masa depan anak tidak lagi ditentukan oleh kekuatan orang tua, keluarga, masyarakat, apalagi Negara. Tetapi sebaliknya orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara, mempunyai kewajiban untuk menjamin terwujudnya hak anak yang paling asasi yakni mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam pendekatan ini tidak dibenarkan ada peraturan perundangan yang mengeksploitasi sumber daya anak, hanya sekedar untuk kepentingan ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dalam perspektif orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara (Affandi, 2007: 19).
Sedangkan pendekatan Empowerment, juga berangkat dari pengakuan terhadap hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan pekerja anak agar mereka memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Dalam pandangan penulis pendekatan perlindungan dan pendekatan pemberdayaan inilah yang seharusnya menjadi dasar pijakan bagi Negara-negara di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika, khususnya di Indonesia, lebih khusus lagi di daerah selaras dengan semangat dan esensi otonomi daerah.
Selain memperhatikan ketiga pendekatan tersebut di atas, upaya memberikan perlindungan dan pencegahan terhadap pekerja anak dapat dilakukan dengan cara; pertama, mengubah persepsi masyarakat terhadap pekerja anak, bahwa anak yang bekerja dan terganggu tumbuh kembangnya dan tersita hak-haknya akan pendidikan tidak dapat dibenarkan. Kedua, melakukan advokasi secara bertahap untuk mengeliminasi pekerja anak, dengan perhatian pertama diberikan kepada jenis pekerjaan yang sangat membahayakan, dalam hal ini perlu ada kampanye besar-besaran untuk menghapuskan pekerja anak. Ketiga, mengundangkan dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang selaras dengan konvensi internasional, khususnya Konvensi Hak Anak dan Konvensi ILO lain yang menyangkut anak, keempat, mengupayakan perlindungan hukum dan menyediakan pelayanan yang memadai bagi anak-anak yang bekerja di sektor informal, seperti di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Kelima, memastikan agar anak-anak yang bekerja memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan keterampilan melalui bentuk-bentuk pendidikan alternatif yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Huraerah, 2006: 76).
Seperti tampak pada analisis di atas, hubungan antara pekerja anak dengan kemiskinan bersifat multidimensi dan kompleks. ILO melalui Program Internasional tentang Penghapusan Pekerja Anak (the International Programme on the Elimination of Child Labour/IPEC) terus mendukung Pemerintah Indonesia dan masyarakat madani untuk mengatasi dimensi kemiskinan yang kompleks pada pekerja anak dengan memberikan respons multidimensi sejak tahun 1992. Dukungan ILO-IPEC bersifat holistis dengan aktivitas bertingkat yang langsung ditargetkan pada penerima manfaat dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penghapusan pekerja anak.
Selain itu, ada cara-cara lain dalam hal perlindungan terhadap pekerja anak, antara lain sebagai berikut:
- Lemahnya penegakan hukum terhadap eksploitasi pekerja anak merupakan indikasi adanya sikap ambivalen pemerintah terhadap permasalahan ini, di samping juga rendahnya tingkat pengetahuan dan perhatian aparat penegak hukum. Peningkatan jaringan kerja sama LSM dalam melakukan advokasi perlindungan hukum terhadap pekerja anak sangat dibutuhkan untuk mendorong terjadinya keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Salah satu cara lain dalam mengatasi permasalahan “pekerja anak”, khususnya anak jalanan yaitu dengan jalan adopsi. Pengertian adopsi yaitu pengangkatan anak berusia balita yang dimana kondisi dalam kelangsungan hidupannya termasuk kondisi keluarga yang tidak mampu atau bisa juga sebab lain. Dalam perspektif HAM adopsi merupakan jalan terbaik guna menanggulangi dan mengurangi beban penderitaan masyarakat miskin maupun masyarakat anak jalanan itu sendiri karena anak-anak merupakan aset bangsa sebagai generasi penerus dan merupakan potensi sumber daya manusia bagi pembangunan nasional jangka pendek maupun jangka panjang.
- Dibutuhkan pembinaan dan memberikan kesempatan kepada anak bangsa yang terlantar di jalanan yang dalam pendidikan kurang mendapatkan semestinya di usia belajar. Kondisi ini merupakan tugas kewenangan kita bersama sebagai kepanjangan tangan dari tugas negara untuk mengayomi khususnya pemerintah dan kita sebagai masyarakat Indonesia yang peduli atas kehadiran anak-anak tersebut untuk mengenyam pendidikan.
Masalah perlindungan hukum bagi pekerja anak bukan sesuatu yang dapat diatasi seperti membalikkan telapak tangan. Prosesnya akan memakan waktu yang lama serta membutuhkan kerja sama yang serius antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan sejauh mana Negara telah memberikan perlindungan terhadap pekerja anak, masih perlu dipantau lebih lanjut.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pemaparan dari uraian dalam pembahasan di atas, maka dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
- Aturan-aturan mengenai tenaga kerja anak atau pekerja anak adalah (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang ini mengatur mengenai hal yang berhubungan pekerja anak mulai dari batas usia diperbolehkan kerja, siapa yang tergolong anak, pengupahan dan perlindungan bagi pekerja anak. (2) Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja (1LO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment the Abolition of Forced Labour), Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang umur minimum seseorang untuk bekerja. Umur minimum tidak boleh 15 tahun. Negara-negara yang fasilitas perekonomian dan pendidikannya belum dikembangkan secara memadai dapat menetapkan usia minimum 14 tahun untuk bekerja pada tahap permulaan. Umur minimum yang lebih tua yaitu 18 tahun ditetapkan untuk jenis pekerjaan yang berbahaya “yang sifat maupun situasi dimana pekerjaan tersebut dilakukan kemungkinan besar dapat merugikan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak”. Umur minimum yang lebih rendah untuk pekerjaan ringan ditetapkan pada umur 13 tahun. (3) Undang-Undang No. 1 tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Intermediate Action for the Elimination of The Worst Forms of Child Labour), Undang-Undang ini menghimbau adanya pelarangan dan aksi untuk menghapuskan segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon dan kerja paksa, termasuk pengerahan anak-anak atau secara paksa atau untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata dengan menerapkan undang-undang dan peraturan.
- Banyaknya aturan yang telah disahkan terkait dengan perlindungan terhadap pekerja anak. Namun, proses perlindungan tersebut masih belum maksimal. Banyak yang dapat dilakukan seperti ILO melalui Program Internasional tentang Penghapusan Pekerja Anak (the International Programme on the Elimination of Child Labour/IPEC) terus mendukung Pemerintah Indonesia dan masyarakat madani untuk mengatasi dimensi kemiskinan yang kompleks pada pekerja anak dengan memberikan respons multidimensi sejak tahun 1992. Peningkatan jaringan kerja sama LSM dalam melakukan advokasi perlindungan hukum terhadap pekerja anak juga sangat dibutuhkan untuk mendorong terjadinya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Salah satu cara lain dalam mengatasi permasalahan “pekerja anak”, khususnya anak jalanan yaitu dengan jalan adopsi. Selain itu, dibutuhkan pembinaan dan memberikan kesempatan kepada anak bangsa yang terlantar di jalanan yang dalam pendidikan kurang mendapatkan semestinya di usia belajar.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU/LITERATUR
Asikin, Zainal dkk, , Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, Kitab Undang-Undang Ketenagakerjaan, Buku Kedua, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.
Manulang, Sendjun H., Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1990.
Marwan, M. dan Jimmy P., Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, Surabaya: Reality Publisher, 2009.
Rumondang, Haiyani dkk, Evaluasi Terhadap Pemenuhan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja Bagi Pekerja Perkebunan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2006.
Tunggal, Iman Sjahputra, Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2009.
----------, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Harvarindo, 2009.
B. INSTRUMEN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 Tahun 1987
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang No. 1 tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-undang No. 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Batas Usia Minimum Diperbolehkan Bekerja.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
C. SITUS INTERNET
Ampera. “Hubungan Hukum Dokter-Pasien”. http://drampera.blogspot.com/2011/04/hubungan-hukum-dokter-pasien.html, diakses pada tanggal 19 April 2014.
H0404055, “Perlindungan Terhadap Pekerja Anak Masalah dan Solu”, http://h0404055.wordpress.com/2010/04/02/perlindungan-terhadap-pekerja-anak-masalah-dan-solu/, diakses pada tanggal 24 Juni 2014.
Kusumaningrum, Santi, “Tentang Tenaga Kerja Anak”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl918/tentang-tenaga-kerja-anak, pada tanggal 24 Juni 2014.
Setiamandani, Emei Dwinanarhati, “Perlindungan Hukum bagi Pekerja Anak dan Upaya Penanggulangannya”, http://emeidwinanarhati.blogspot.com/2012/08/jurnal-reformasi.html, diakses pada tanggal 23 Juni 2014.
Sufa, Ira Guslina, “Pemerintah Harus Jamin Hak Pekerja Anak”, http://www.tempo.co/read/news/2013/07/23/078498803/Pemerintah-Harus-Jamin-Hak-Pekerja-Anak, diakses pada tanggal 24 Juni 2014.
Wikipedia Indonesia, “Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia, diakses pada tanggal 23 Juni 2014.
Wikipedia Indonesia, “Organisasi Buruh Internasional”, id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Buruh_Internasional, diakses pada tanggal 23 Juni 2014.
Wikipedia Indonesia, “Pekerja Anak”, http://id.wikipedia.org/wiki/Pekerja_anak, diakses pada tanggal 23 Juni 2014.
0 komentar :
Post a Comment