Artikel: Perbandingan Hukum Belanda dengan Hukum Indonesia Terkait dengan Hukum Perikatan ~ a Riswan Hanafyah's Blog project

Saturday, March 21, 2015

Artikel: Perbandingan Hukum Belanda dengan Hukum Indonesia Terkait dengan Hukum Perikatan

LATAR BELAKANG

Dalam perkembangan dan pengembangan suatu hukum di suatu negara, diperlukan adanya suatu kajian tentang membandingkan hukum suatu negara dengan hukum di negara lain terkait dengan masalah hukum perdata. Hal ini biasanya disebut dengan perbandingan hukum perdata.
Perbandingan hukum perdata atau disebut juga dengan comparition of civil lay systems (Inggris), vergelijkend burgerlijk recht (Belanda), atau vergleichenden zivilrechts (Jerman) merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting yang diajarkan pada Fakultas Hukum di seluruh Indonesia, karena mata kuliah ini mengkaji dan menganalisis perbedaan dan persamaan sistem hukum, terutama sistem hukum perdata yang berlaku di dunia.
Perbandingan hukum perdata sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan hukum yang mempunyai banyak kegunaan, manfaat serta fungsinya tidak kecil bagi berbagai bidang antara lain, berfungsi bagi pengembangan ilmu hukum di suatu negara, berfungsi bagi praktik pembinaan hukum, dan berfungsi dalam rangka perencanaan hukum.
Perbandingan hukum perdata menjadi lebih diperlukan karena dengan perbandingan hukum, kita dapat mengetahui jiwa serta pandangan hidup bangsa lain termasuk hukumnya. Saling mengetahui sistem hukum suatu negara, sengketa dan kesalah pahaman dapat dihindari sehingga tercapailah perdamaian dunia.
Perbandingan hukum perdata mempunyai peranan penting di bidang hukum secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu, semakin perlu diketahui atau dipelajari karena mempunyai berbagai manfaat antara lain, dapat membantu dalam rangka pembentukan hukum nasional disamping mempunyai peranan penting dalam rangka hubungan antar bangsa dan sebagainya. Pendeknya perbandingan hukum perdata mempunyai peranan penting di segala bidang kajian hukum perdata.

Dalam makalah ini, akan membandingkan hukum antara sistem hukum Belanda dengan sistem hukum Indonesia terkait dengan hukum perikatan. Hukum perikatan sendiri adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Dalam makalah ini juga, selain membandingkan hukum, baik dari kelebihan dan kekurangan dari Belanda dengan hukum Indonesia terkait dengan hukum perikatan, juga bertujuan untuk menemukan hukum baru, sehingga penemuan hukum tersebut bisa lebih baik lagi dari hukum-hukum yang ada selama ini.

ASAS ITIKAD BAIK

Pasal 1338 (3) BW menyatakan bahwa, “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Apa yang dimaksud dengan itikad baik (te goeder trouw; good faith) perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan ‘itikad’ adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik). Dalam Kamus Hukum Foekema Andrea dijelaskan bahwa “goede trouw” adalah maksud, semangat yang menjiwai para peserta dalam suatu perbuatan hukum atau tersangkut dalam suatu hubungan hukum. Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”. Sementara itu Black’s Law Dictionary memberi rumusan:
“Good faith is an intangible and abstract quality with no technical meaning or statutory definition, and it compasses, among other things, an honest belief, the absence of malice and the absence of design to defraud or to seek an unconsionable advantage, and individual’s personal good faith is concept of his own mind and inner spirit and, therefore, may not conclusively be determinded by his protestations alone. In common usage this term is ordinarily used to describe that state ofmind denoting hon esty ofpurpose, freedom from intention to defraud, and, generally speaking, means being faithful to one’s duty or obligation.”
Pengaturan Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus - kontrak berdasarkan itikad baik). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian itikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas dari pada pengertian sehari-hari. Menurut Hoge Raad, dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 (Nederlandse Jurisprudentie, hlm. 676)  memberikan rumusan bahwa: perjanjian harus dilaksanakan “volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid”, artinya itikad balk harus dilaksanakan  menurut kepantasan. P. L. Werry menerjemahkan “redelijkheid en billijkheid” dengan istilah “budi dan kepatutan” beberapa terjemahan lain menggunakan istilah “kewajaran dan keadilan” atau “kepatutan dan keadilan”. Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima oieh nalar dan akal sehat (reasonable; raisonnable), sedang billijkheid artinya patut dan adil. Dengan dapat dirasakan dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan berasal dan subjektivitas para pihak. Menurut P. L. Werry norma ini pada hakikatnya sama dengan norma “kecermatan yang patut dalam masyarakat” pada norma tidak tertulis yang tercantum dalam Pasal 1365 BW (perbuatan melanggar hukum).
Menurut J. M. van Dunne daya berlaku itikad baik (goede trouw; good faith) meliputi seluruh proses kontrak atau diibaratkan dengan “the rise and fall of contract”. Dengan demikian itikad baik meliputi tiga fase perjalanan kontrak, yaitu: (1) pre contractuele fase, (ii) contractuele fase, dan (iii) postcontractuele fase. Pasal 1338 ayat (3) BW tersebut di atas, pada umumnya selalu dihubungkan dengan Pasal 1339 BW, bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.” (keadilan yang dimaksud di sini adalah itikad baik).
Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua macam, yaitu:
1.      Itikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang beri itikad tidak baik (te kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggung risiko. Itikad baik semacam ini dapat disimak dan ketentuan Pasal 1977 (1) BW dan Pasal 1963 BW, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis.
2.      Itikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaksud dalam hubungan hukum itu. Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal I 338 (3) BW adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat itikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.
Beranjak dan pendapat Wirjono Prodjodikoro, maka pengertian itikad baik menurut Pasal dibedakan dengan pengertian itikad baik menurut Pasal i 963 BW. Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 (3) BW diberikan batasan dalam arti objektif-dinamis sedangkan pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 BW dan 1977 (1) BW diberikan batasan arti subjektif-statis.
Pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 BW, adalah kemampuan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang, dimana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak milik atas barang itu telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi oleh hukum dan itikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak bersifat dinamis, melainkan bersifat statis. Demikian pula dengan pengertian itikad baik dalam Pasal 1977 (1) BW, terkait dengan cara pihak ketiga memperoleh suatu benda (kepemilikan) yang disebabkan ketidaktahuan mengenai cacat kepemilikan tersebut dapat dimaafkan, namun dengan syarat-syarat tertentu. Dalam kaitan dengan penerapan itikad baik menurut Pasal 1977 (1) BW sering itikad baik tersebut diartikan “tidak tahu dan tidak harus tahu”, maksudnya ketidaktahuan pihak ketiga mengenai cacat kepemilikan ini dapat dimaafkan menurut kepatutan dan kelayakan. Misalnya, apabila seseorang membeli sayur di pasar sayur, atau membeli buah-buahan, maka ketidaktahuan akan adanya cacat kepemilikan yang dilakukan pembeli dapat dimaafkan dan sebagai konsekuensinya kepemilikan terhadap benda yang dibeli tersebut dilindungi oleh hukum. Mengapa demikian, karena seorang yang membeli sayur atau buah di tempat yang lazim di mana barang tersebut diperjualbelikan, akan senantiasa beranggapan bahwa ia berhadapan dengan orang yang berhak berbuat bebas untuk memperjualbelikan barang tersebut (meskipun hal ini ternyata tidak selalu terbukti benar).
Sementara itu, pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 (3) yang berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik., adalah bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan. dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dan sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memerhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi. Artinya itikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 (3) BW mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.
Sehubungan dengan fungsi itikad baik dalam Pasal 1338 (3) BW, menurut beberapa sarjana antara lain P. L. Werry, Arthur S. Hartkamp dan Marianne M. M. Tillem, terdapat tiga fungsi utama itikad baik, yaitu:
a.       Fungsi yang mengajarkan bahwa kontrak harus ditafsirkan menurut itikad baik (itikad baik sebagai asas hukum umum), artinya kontrak harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair).
b.      Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende werking van de geode trouw), artinya itikad baik dapat menambah isi atau kata-kata perjanjian apabila terdapat hak dan kewajiban yang timbul di antara para pihak tidak secara tegas dinyatakan dalam kontrak. Menurut P. L. Werry hal ini terkait dengan pelaksanaan kontrak sebagaimana putusan Hoge Raad tanggal 10 Februari 1921 dalam perkara persaingan antara pengurus firma yang bertentangan dengan itikad baik. Demikian pula dalam putusan Hoge Raad tanggal 13 Maret 1964, NJ 1964 dalam perkara perlaksanaan kontrak penanggungan (borgtocht) yang mewajibkan kreditor untuk memerhatikan itikad baik dalam pelaksanaan kontrak.
c.       Fungsi membatasi atau meniadakan (beperkende en deroerende werking van de goede trouw), artinya fungsi ini hanya dapat diterapkan apabila terdapat alasan-alasan  yang amat penting (alleen in spreekende gevallen). Putusan Hoge Raad yang membatasi atau meniadakan daya kerja kontrak dapat dicermati dalam kasus Stork v. N. V Harleemshe Katoen Maatschappij (Sarong Arrest), HR 8 Januari 1026, NJ 1926, 203, Mark is Mark Arrest, HR 2 Januari 1931 serta Saladin v. Hollandsce Bank Unie (HBO) Arrest, tanggal 16 Mei 1967, Hoge Raad dan NBW dalam menerapkan fungsi ini hanya terhadap kasus-kasus yang pelaksanaan menurut kata-kata kontrak tersebut sungguh-sungguh tidak dapat diterima karena tidak adil. Rasio penerapan ini dapat dipahami karena merupakan penyimpangan (perkecualian) terhadap asas pacta sunt servanda.
Dalam NBW pengaturan substansi itikad baik tercantum pada ketentuan Pasal 6:2 dan 6:248 (1) NBW Ketentuan tersebut telah menghapus dualisme penggunaan istilah “goede trouw. Pengertian itikad baik sebagaimana dimaksud Pasal 1338 (3) BW diartikan “redelijkheid en billijkheid”, sedangkan untuk istilah “goede trouw” sebagaimana dimaksud Pasal 1963 BW dan 1977 BW tetap menggunakan istilah “goede trouw”. Menurut Arthur S. Hartkamp, pembentuk undang-undang telah membedakan itikad baik dalam makna ketaatan akan “reasonable commercial standard offair dealing” dan itikad baik dalam makna “honesty in fact”. Untuk mencegah kemungkinan timbulnya kebingungan, dalam NBW menggunakan istilah itikad baik dalam makna yang pertama saja di mana itikad baik kemudian dikarakteristikkan sebagai reasonableness (redelijkheid) dan equity (billijkheid).
Menurut Arthur S. terdapat dua model pengujian tentang ada atau tidaknya itikad baik dalam kontrak, yaitu pengujian objektif (objective test) dan pengujian subjektif (subjective test). Pengujian objektif (objective test) pada umumnya dikaitkan dengan kepatutan, artinya salah satu pihak tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah bertindak jujur manakala ternyata ia tidak bertindak secara patut. Sementara itu pengujian subjektif (subjective test) terhadap kewajiban itikad baik dikaitkan dengan keadaan karena ketidaktahuan (lack of notice).
Memang diakui bahwa untuk memahami itikad baik bukan hal yang mudah. Pada kenyataannya itikad baik acap kali tumpang-tindih dengan kewajaran dan kepatutan (redelijkh eid en billijkheid; reasonableness and equity) Dalam itikad baik terkandung kepatutan, demikian pula dalam pengertian kepatutan terkandung itikad baik. Oleh karena itu dalam praktek pengadilan, itikad baik dan kepatutan dipahami sebagai asas atau prinsip yang saling melengkapi (complementary).
Dalam UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS), substansi itikad baik diatur dalam Pasal 1.7 dan 2.15, yang menekankan perlunya itikad baik dan kejujuran (good faith andfair dealing) dan melarang adanya proses perundingan kontrak yang didasari itikad buruk. Meskipun penekanan perlunya itikad baik dan kejujuran (good faith andfair dealing) pada ketentuan tersebut diletakkan pada proses perundingan kontrak, namun tidak berarti pada proses berikutnya (i.c. pelaksanaan kontrak) itikad baik dikesampingkan. Itikad baik hendaknya diartikan dan diformulasikan pada seluruh proses kontrak.
Selanjutnya dengan memerhatikan substansi masing-masing asas tersebut di atas, sesuai dengan fungsi “check and balance”, maka asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas daya mengikat kontrak, asas pacta sunt servanda, itikad baik serta asas proporsionalitas mempunyai daya kerja menjangkau kontrak yang bersangkutan. Sebagai suatu sistem, pada prinsipnya para pihak bebas membuat kontrak menentukan isi dan bentuknya, serta melangsungkan proses pertukaran hak dan kewajiban sesuai kesepakatan masing-masing secara proporsional. Dalam hubungan antar asas..asas hukum kontrak, menurut pendapat saya, kedudukan asas proporsionalitas adalah asas pokok yang mandiri dan berdiri setara dengan asas-asas pokok hukum kontrak yang lain. Hal ini didasari pada karakteristik serta fungsi asas proporsionalitas sebagaimana telah diuraikan dalam analisis pada subbab sebelumnya.
Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan posisi asas proporsionalitas disampingkan asas-asas pokok hukum kontrak lainnya. Dengan mengandaikan sebuah kue yang lezat terhidangkan, dinikmati serta memberi rasa puas bagi mereka yang mengonsumsinya. Kelezatan kue tersebut disebabkan karena berpadunya komposisi unsur-unsur penyusun, antara lain: tepung, gula, telur, mentega, susu, dan lain-lain. Komposisi tersebut tidak terdiri dan 1 kilogram tepung, 1 kilogram gula, I kilogram telur, 1 kilogram mentega, I kilogram susu dan lain-lain, namun komposisi yang menyebabkan kue tersebut lezat dan nikmat justru karena sesuai takaran atau proporsinya masing-masing. Demikian halnya dengan daya kerja serta fungsi masing-.masing asas dalam kontrak, membentuk sistem “check and balance sesuai dengan proporsinya sehingga bangunan kontrak menjadi kukuh.
Proporsionalitas daya kerja masing-masing asas dalam membingkai suatu kontrak hendaknya tidak diartikan sebagal pengertian atau makna asas proporsionalitas. Bekerjanya masing-masing asas secara proporsional dalam membentuk kontrak karena bekerjanya asas-asas tersebut dalam sistem “check and balance”. Idealnya agar kontrak menjadi kukuh maka masing-masing asas seyogianya mempunyai daya kerja proporsional. Sedangkan asas proporsionaiitas sendiri terkait dengan pertukaran hak dan kewajiban secara proporsional yang meliputi seluruh tahapan kontrak. Jadi pengertian asas proporsionalitas hendaknya dibedakan dengan bekerjanya asas-asas dalam hukum kontrak secara proporsional.

KEABSAHAN KONTRAK

Aktivitas bisnis pada dasarnya senantiasa dilandasi aspek hukum terkait, ibaratnya sebuah kereta api hanya akan dapat berjalan menuju tujuannya apabila ditopang dengan rel yang berfungsi sebagai landasan geraknya. Tidak berlebihan kiranya, apabila keberhasilan suatu proses bisnis yang menjadi tujuan akhir para pihak hendaknya senantiasa memerhatikan aspek kontraktual yang membingkai aktivitas bisnis mereka. Dengan demikian, bagaimana agar bisnis mereka berjalan sesuai tujuan akan berkorelasi dengan struktur kontrak yang dibangun bersama. Kontrak akan melindungi proses bisnis para pihak, apabila pertama-tama dan terutama, kontrak tersebut dibuat secara sah karena hal ini menjadi penentu proses hubungan hukum selanjutnya.
Menyikapi tuntutan dinamika tersebut di atas, pembuat undang-undang telah menyiapkan seperangkat aturan hukum sebagai tolok ukur bagi para pihak untuk menguji standar keabsahan kontrak yang mereka buat. Perangkat aturan hukum tersebut sebagaimana yang diatur dalam sistematika Buku III BW yaitu:
a.       Syarat sahnya kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 BW; dan
b.      Syarat sahnya kontrak yang diatur di luar Pasal 1320 BW (vide Pasal 1335, Pasal 1337, pasal 1339 dan Pasal 1347).
Pasal 1320 BW merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan kontrak yang dibuat para pihak. Dalam Pasal 1320 BW tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu:
a.       sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestermming van degenen die zich verbinden);
b.      kecakapan untuk membuat perikatan (de bekwaarmheid om eene verbintenis aan te gaan);
c.       suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);
d.      suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak).
M. L. Barron menambahkan elemen pembentuk kontrak, selain ketiga elemen di atas, meliputi juga:
a.       Capacity of parties, kecakapan para pihak.
b.      Reality of consent, artinya harus benar-benar kesepakatan yang sesuai dengan kehendaknya, bukan karena adanya cacat kehendak (mis-representation, duress or undue influence).
c.       Legality of object (terkait dengan tujuan atau objek yang harus diperbolehkan menurut hukum).
NBW sendiri terkait dengan syarat sahnya kontrak telah mengadakan pembaharuan, sebagaimana terdapat dalam Buku III tentang Hukum Harta Kekayaan Pada Umumnya (Vermogensrecht in Het Algemeen) dan Buku VI Tentang Bagian Umum Hukum Perikatan (Algemeen Gedeelte van Het Verbintenissenrecht). Syarat sahnya kontrak menurut NBW tersebar dalam berbagai pasal dengan substansi pokok, yaitu:
a.       Kesepakatan;
b.      kemampuan bertindak;
c.       perjanjian yang dilarang (gabungan syarat “hal tertentu” dan syarat “kausa yang dilarang”).
Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 BW tersebut di atas terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi tidak dipenuhinya masing-masing syarat dimaksud. Pertama, syarat kesepakatan dan kecakapan, merupakan unsur subjektif karena berkenaan dengan diri orang atau subjek yang membuat kontrak. Kedua, syarat objek tertentu dan kausa yang diperbolehkan merupakan unsur objektif.
Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW, baik syarat subjektif maupun syarat objektif akan mempunyai akibat-akibat, sebagai berikut:
a.        “noneksistensi”, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak;
b.      vernietigbaar atau dapat dibatalkan, apabila kontrak tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan (onbekwaamheid) - (Pasal 1320 BW syarat 1 dan 2), berarti hal ini terkait dengan unsur subjektif, sehingga berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan; dan
c.       nietig atau batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat objek tertentu atau tidak kausa atau kausanya tidak diperbolehkan
(Pasal 1320 BW syarat 3 dan 4) berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum.
Mengenai elemen atau unsur pembentukan kontrak, yaitu: (i) kesepakatan; (ii) kecakapan; (iii) suatu hal tertentu; dan (iv) kausa yang diperbolehkan akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikut, dapat dicermati dan perbandingan antara BW dengan NBW serta dalam beberapa hal dengan UPICC, RUU Kontrak (ELIPS) dan Contracts Act 1950 (Akta Kontrak 1950).

DASAR KETERIKATAN KONTRAKTUAL & PENENTUAN SAAT LAHIRNYA KONTRAK
Pasal 1320 BW syarat 1 mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.
Mengenai substansi kesepakatan ini NBW juga mengatur secara lebih terinci, sebagaimana diatur dalam Buku VI, Titel 5 tentang Kontrak Pada Umumnya (Contracts in General; Overeenkornsten in Het Algemeen), Bagian 2 tentang Pembentukan Kontrak (Formation of Contracts; Het tot Stand Komen Van Overeenkomst). Dalam ketentuan Pasal 6:217 NBW menyatakan, bahwa:
(1)   A contract is formed by an offer and its acceptance;
(2)   Artlicles 21 9-225 apply unless the offer, another juridical act or usage produce a different result.
Pasal ini menekankan pentingnya kesepakatan sebagai dasar awal pembentukan kontrak. Kesepakatan dimaksud dibentuk oleh dua unsur yang fundamental, penawaran (offer, aanbod) dan penerimaan (acceptance; aanvaarding) Hal yang sama dipersyaratkan dalam BW (vide Pasal 1320 syarat 1) namun NBW lebih terperinci mengatur kapan terbentuknya suatu kontrak sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6:219-225 NBW.
UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) dalam sistematika Bab II tentang Pembentukan (Formation) juga mengatur pembentukan kontrak berdasarkan penawaran dan penerimaan. Pasal 2.1 tentang Cara Pembentukan (Manner of Formation), menyatakan bahwa, “Suatu kontrak dapat diadakan baik dengan penerimaan suatu penawaran atau dengan tindakan dan para pihak yang cukup untuk menunjukkan adanya suatu kesepakatan.” Selanjutnya mengenal keabsahan kontrak yang dihubungkan dengan kesepakatan Pasal 3.2 menyatakan bahwa, “Suatu kontrak telah diadakan, diubah atau diakhiri semata.. mata oleh kesepakatan dan para pihak tanpa persyaratan lain apa pun lebih lanjut.” 
Selanjutnya, terkait dengan substansi mengenai kapan terjadinya kontrak yang didasarkan pada proses penawaran dan penerimaan diatur dalam Pasal 6:2 1 7 serta 6:219-225 NBW Muatan materi pasal-pasal NBW tersebut ternyata pada umumnya secara substansial sesuai dengan prinsip-prinsip UPICC maupun RUU Kontrak (ELIPS) diatur dalam Pasal 2.3-2.11.
Sebagaimana diketahui, kesepakatan ini dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Dasar keterikatan kontraktual berasal dan pernyataan kehendak, yang dibedakan dalam dua unsur yaitu kehendak dan pernyataan. Dalam situasi normal antara kehendak dan pernyataan saling bersesuaian, namun tidak menutup kemungkinan terjadi bahwa antara kehendak dan pernyataan terdapat ketidaksesuaian. Untuk menganalisis adanya dasar keterikatan kontraktual berlandaskan pada kehendak atau pernyataan, dapat dikaji dan perkembangan tiga teori, yaitu:
a.       Teori kehendak (wilsleer; wilstheorie) menyatakan bahwa keterikatan kontraktual baru ada hanya jika dan sejauh pernyataan berlandaskan pada putusan kehendak yang sungguh-sungguh sesuai dengan itu. Keberatan terhadap teori ini karena dalam lalu lintas hukum sangat sulit untuk mengetahui apakah pernyataan yang dibuat seseorang itu sesuai dengan kehendaknya. Sehingga selalu menimbulkan pertanyaan apakah ada kepastian hukum mengenai lahirnya keterikatan kontraktual.
b.      Teori pernyataan (verklaringsleer, verklaringstheorie), nyatakan bahwa seseorang itu terikat dengan pernyataannya. Kelemahan dan teori ini apabila terdapat pernyataan yang ternyata tidak sesuai dengan kehendak.
c.       Teori kepercayaan (vertrouwensleer; vertrouwenstheorie), adalah teori baru sebagai ajaran yang diikuti (hersendeleer), merupakan teori jalan tengah yang menjembatani kelemahan dan kekurangan dua teori sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa pernyataan yang menjadi landasan keterikatan kontraktual adalah pernyataan yang selayaknya menimbulkan kepercayaan bahwa hal itu sesuai dengan putusan kehendak.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Nieuwenhuis mengemukakan bahwa NBW mengambil jalan tengah (kompromi), dengan memilih ajaran “de dubbele grondsiag” (asas ganda) Hal ini didasari pertimbangan historis bahwa masalah penetapan dua persyaratan, yaitu kehendak dan pernyataan telah menjadi perdebatan masa lalu. Pada masa itu telah salah merumuskan problematikanya, karena persoalannya bukan antara kehendak dan pernyataan tetapi antara kehendak yang dinyatakan secara terbuka di samping kepercayaan yang di- timbulkan (het opgewekte vertrouwen). Ajaran “de dubbele grondsiag” (asas ganda) sebagaimana diatur dalam ketentuan berikut:
a.       Pasal 3:33 menyatakan bahwa:
“Suatu perbuatan hukum mensyarakat suatu akibat hukum yang menjadi tujuan kehendak, yang diungkapkan melalui suatu pernyataan.”
Penempatan pasal ini pada urutan terlebih dahulu didasarkan pada pertimbangan bahwa suatu perbuatan hukum di mana kehendak dan pernyataan itu sama adalah hal yang biasa (wajar terjadi dalam lalu lintas hukum di masyarakat) yaitu berkaitan dengan kehendak yang di- nyatakan secara terbuka.
b.      Pasal 3:35 yang menyatakan bahwa:
“Seseorang yang mengartikan suatu pernyataan atau kelakuan seorang lain dengan maksud yang dalam keadaan-keadaan ini wajar dapat diberikan kepadanya sebagai pernyataan dengan kecenderungan tertentu yang diarahkan kepadanya oleh orang itu, tidak dapat dipersalahkan dengan tidak adanya kehendak yang sesuai dengan pernyataan itu.
Sedangkan penempatan pasal ini pada urutan berikutnya didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi kepentingan pihak yang dalam lalu lintas hukum telah bertindak berdasarkan itikad baik (te goeder trouw)  terjebak dalam suatu kesalahan hukum. Oleh karena itu, pasal ini menekankan pada kepercayaan yang dibangkitkan sebagai dasar suatu perbuatan hukum.
Niewenhuis lebih lanjut menegaskan pentingnya untuk menyadari bahwa kedua dasar itu (kehendak yang dinyatakan secara terbuka dan kepercayaan yang dibangkitkan) saling berhubungan dalam suatu hubungan subsidair. Dasar yang primair adalah kehendak (dalam hal kehendak sesuai satu sama lain, hal yang normal) dan hanya dalam hal ada “perbedaan” antara kehendak dan pernyataan, maka dasar kepercayaan yang dibangkitkan yang akan membantu menyelesaikan perbedaan tersebut. Hal ini sebagaimana yang telah diterapkan oleh Hoge Raad dalam putusan tanggal 15 April 1983, NJ 1983, 458; Hajjout v. Ijmah dan putusan tanggal 17 Desember 1977 NJ 1977 241; Bunde v. Erckens.
Syarat kesepakatan (toestemming) yang merupakan pencerminan asas konsensualisme, dimana dengan adanya kata sepakat telah lahir kontrak, ternyata dalam lalu lintas hukum yang demikian kompleks juga menimbulkan problem pelik mengenai pertanyaan “kapan kontrak itu lahir? Penentuan saat lahirnya kontrak menjadi kendala, terutama apabila penawaran dan penerimaan dilakukan melalui korespondensi atau surat menyurat. Hal ini mempunyai implikasi penting dalam hal:
a.       penentuan risiko;
b.      kesempatan penarikan kembali penawaran;
c.       saat mulai dihitungnya jangka waktu kedaluwarsa; dan
d.      menentukan tempat terjadinya kontrak.
Untuk menjawab problematika tersebut di atas terdapat empat teori yang mencoba memberikan solusi penyelesaiannya, yaitu:
a.       Teori Pernyataan (Uitingstheorie), menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas suatu penawaran ditulis (dinyatakan) oleh pihak yang ditawari. Kelemahan teori ini adalah tidak dapat ditentukannya secara pasti kapan kontrak itu lahir.
b.      Teori Pengiriman (Verzendingstheorie), menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas penawaran itu dikirimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang menawarkan. Kelemahan teori ini adalah pihak yang menawarkan tidak tahu bahwa ia telah terikat dengan penawarannya sendiri.
c.       Teori Mengetahui (Vernemingstheorie), menyatakan bahwa kontrak lahir pada saat surat jawaban (penerimaan) itu diterima oleh pihak yang menawarkan. Kelemahan teori ini adalah jika surat penerimaan itu meskipun telah. sampai di tempatnya ternyata tidak segera dibaca.
d.      Teori Penerimaan (Ontvangstheorie), menyatakan bahwa kontrak itu lahir pada saat surat penerimaan telah sampai di tempat pihak yang menawarkan, tidak peduli apakah ia mengetahui atau membaca penerimaan tersebut atau tidak. H.R. mengikuti teori ini, terbukti dengan putusan H.R. 21 Desember 1933, NJ 1934, 368; Bosch v. Maren, dengan pertimbangan:
Bahwa tidak cukup bila pada pulang-pergi terdapat kehendak yang sesuai (cocok) untuk saling mengikatkan diri dan juga tidak cukup bila mereka menyatakan kehendak itu secara lisan atau tulisan, melainkan perlu (nodig) bahwa pernyataan kehendak itu saling mencapai pihak lain (de tegenpartij heft bereikt).
NBW memberikan jawaban mengenai pertanyaan kapan suatu penawaran akan melahirkan perjanjian (kontrak), mengambil pendirian yang dikaitkan pada dua hal, yaitu: (i) berapa lama penawaran dapat ditarik kembali, dan (ii) pada saat mana suatu kontrak itu terjadi. Niewenhuis  memberikan uraian terhadap kedua hal tersebut, sebagai berikut:
a.       Mengenai berapa lama penawaran dapat ditarik kembali, menurut:
-          Pasal 3:37 (5) NBW, penarikan kembali harus sebelumnya atau bersamaan dengan penerimaan pernyataan;
-          Pasal 6:219 (2) NBW terkait dengan penawaran terbuka, maka penawaran tersebut dapat ditarik kembali setelah penerimaan pihak lainnya, dengan syarat penarikan itu dilakukan dengan segera; dan
-          Pasal 6:219 (1) NBW, jika terkait dengan penawaran yang tidak dapat ditarik kembali, maka dalam jangka waktu tidak dapat ditarik kembali, penawaran term sebut tetap berlaku walaupun penawaran tersebut belum diterima.
b.      Mengenal pada saat mana suatu kontrak itu terjadi, menurut Pasal 3:37 (3) NBW adalah pada saat sampainya surat akseptasi ke alamat pihak yang menawarkan.
Dengan demikian, penyelesaian yang diberikan oleh NBW sama dengan doktrin maupun pendirian -pengadilan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang terkait dengan penentuan kapan terjadinya kontrak selama ini.
Kontrak yang lahir dan kesepakatan (karena bertemunya penawaran dan penerimaan) pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan pernyataan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak (wllsgebreke). Kontrak yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh adanya unsur cacat kehendak tersebut mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dalam BW terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya cacat kehendak yaitu:
a.       Kesesatan atau dwaling (vide Pasal 1322 BW)
Terdapat kesesatan apabila terkait dengan ‘hakikat benda atau orang’ dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa sifat atau keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan (terkait syarat dapat dikenali atau diketahui; kenbaarheidsvareiste). Dengan demikian, mengenai kesesatan terhadap hakikat benda yang dikaitkan dengan keadaan akan datang. karena kesalahan sendiri atau karena perjanjian atau menurut pendapat umum menjadi risiko sendiri, tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak.
b.      Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323-1327 BW)
Paksaan timbul apabila seseorang tergerak untuk menutup kontrak memberikan kesepakatan) di bawah ancaman yang bersifat melanggar hukum. Ancaman bersifat melanggar hukum ini meliputi dua hal, yaitu:
i.     Ancaman itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar hukum (pembunuhan. penganiayaan).
ii.   Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, tetapi ancaman itu dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.
c.       Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328 BW)
Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan. Untuk berhasilnya dalil penipuan disyaratkan gambaran yang keliru itu ditimbulkan oleh rangkaian tipu daya (kunstgrepen). Oleh karena itu, sekadar melebih-lebih produk, misal “Kecap ABC Paling Lezat”, “Yamaha Nomor 1 di Dunia”, dalam perspektif hukum belum dapat dikualifikasikan sebagai penipuan. Penekanannya terletak pada rangkaian tipu muslihat yang menggeraki orang lain untuk bersepakat, dan sebaliknya tidak akan bersepakat atau mengajukan penawaran lain seandainya tahu adanya penipuan tersebut.
a.       Hukum adalah penguasa negara, aturan-aturan hukum didefinisikan.
b.      Hukum untuk membela Rakyat protelar.

PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN)

Dalam khazanah ilmu hukum, menurut van Dunne dan van der Burght, cacat kehendak sebagaimana terdapat dalam pasal 1321-1328 BW disebut cacat kehendak klasik, karena selalu berhubungan dengan cacat dalam pembentukan kehendak yang didasarkan pada pernyataan kehendak. Dalam perkembangannya, di Belanda telah memasukkan satu unsur baru cacat kehendak yaitu misbruik van omstandigheden sebagai alasan pembatalan kontrak.
NBW mensyaratkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan hukum (rechtshandeling), maka terlebih dahulu ada kehendak yang tertuju pada suatu akibat hukum tertentu sebagaimana terwujud dalam suatu pernyataan (vide Pasal 3:33 NBW). Demikian halnya dengan kontrak sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum, eksistensinya ditentukan oleh
antara kehendak dan pernyataan (sehingga lahir kesepakatan). Namun demikian, adakalanya muncul ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan yang disebabkan oleh adanya cacat kehendak. Dalam hal ini, NBW menetapkan empat hal terkait dengan cacat kehendak (wils gebreke) sebagai atasan pembatalan kontrak, sebagaimana yang diatur dalam dua Pasal di Buku III dan Buku VI, yaitu Pasal 3:44 (1) dan Pasal 6:228 NBW. Keempat alasan pembatalan kontrak tersebut, adalah:
a.       Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3:44 (1) NBW, bahwa perbuatan hukum dapat dibatalkan. apabila terjadi adanya (i) ancaman (bedreiging), (ii) penipuan (bedrog), dan (iii) penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
b.      Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6:228 NBW. dinyatakan bahwa suatu kontrak yang lahir karena adanya pengaruh kesesatan (dwaling), dan apabila dia mendapat gambaran sebenarnya, kontrak itu tidak akan dibuat, maka kontrak itu dapat dibatalkan.
Dengan demikian. alasan pembatalan kontrak menurut NBW, meliputi:
a.       Kesesatan (dwaling);
b.      Ancaman (bedreiging);
c.       Penipuan (bedrog); dan
d.      Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omsiandigheden).
Tiga alasan pembatalan yang pertama (dwaling, bedreiging dan bedrog) pada prinsipnya sama dengan yang terdapat dalam BW (vide Pasal 1321-1328), hanya berbeda pada istilah ‘paksaan’ atau dwang yang digunakan dalam BW (dalam bahasa aslinya menggunakan istilah ‘geweld’ yang berarti. kekerasan), sementara NBW menggunakan istilah ‘ancaman’ (bedreiging). Sedang alasan keempat (misbruik van omstandigheden) merupakan perkembangan baru dalam pengaturan NBW.
Meijers salah satu tokoh yang terlibat aktif dalam penyusunan NBW menyatakan bahwa ketika merumuskan pasal tersebut ia mendapat inspirasi dan doktrin ‘undue influence’ dalam hukum Inggris. Jauh sebelum kasus BOVAG II yang menjadi tonggak diterimanya penyalahgunaan keadaan sebagai alasan pembatalan kontrak oleh pengadilan, Meijers memandang konstruksi sebab sebagai ‘penyelesaian darurat’ dan menganggap ‘penyalahgunaan keadaan’ pada hakikatnya sebagal cacat kehendak yang keempat.
Dimasukkannya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai alasan pembatalan kontrak dalam NBW, tentunya tidak dapat dilepaskan dan praktek pengadilan dalam menangani perkara yang terkait dengan syarat sahnya kontrak (vide Pasal 1320). Hal ini terutama terkait dengan keadaan yang bertentangan dengan kebiasaan (i.c. penyalahgunaan keadaan) sehingga memengaruhi penutupan kontrak. Apakah hal demikian merupakan cacat kehendak atau terkait dengan kausa yang tidak diperbolehkan (ongeoorfdorzaak).
Sebelum diatur dalam NBW, telah berkembang dua pendapat yang menyangkut penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden), yaitu:
Pertama menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan merupakan “kausa atau sebab yang tidak diperbolehkan” (ongeroorloofde oorzaak).
Pendapat pertama berangkat dan pemikiran bahwa apabila di dalam suatu kontrak seseorang karena tekanan keadaan secara tidak adil memikul beban yang sangat merugikan, maka kontrak itu dapat dinyatakan sebagai kontrak yang memiliki kausa tidak halal atau tidak diperbolehkan. Hal ini merujuk putusan Hoge Raad tanggal 11 Januari 1957, NJ 1959, 57 BOVAG II (Mozes v Uijting & Smits). Pada awalnya pengadilan memasukkan penyalahgunaan keadaan ini ke dalam kausa yang tidak diperbolehkan sebagaimana putusan di atas, namun pendirian ini banyak ditentang oleh para ahli hukum seperti Meijers, Pitlo, van Dunne, van den Burght, Lebens dan Cohen.
Kedua, menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu bentuk cacat kehendak (wilgebreke).
Pendapat kedua, berangkat dari pemikiran bahwa penyalahgunaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi kontrak, tetapi berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya kontrak, yaitu penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak menjadi cacat. Dengan kata lain penyalahgunaan keadaan merupakan faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua pihak. Hal ini merujuk putusan Hoge Raad tanggal 26 Februari 1960, NJ 1965, 373 - BOVAG III (Mozes v. Uijting & Smits). Apabila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme maka penyalahgunaan keadaan ini dianggap bertentangan dan karenanya akan mengganggu eksistensi kontrak yang bersangkutan.
Terkait dengan adanya penyalahgunaan keadaan ini, Nieuwenhuis mengemukakan empat syarat-syarat, sebagai berikut:
a.       keadaan-keadaan khusus (bijzondere omstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa kurang waras, dan tidak berpengalaman;
b.      suatu hal yang nyata (kenbaarheid), salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu kontrak;
c.       penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak tetap menutup kontrak itu meskipun dia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;
d.      hubungan kausal (causaal verband) artinya tanpa adanya penyalahgunaan keadaan itu maka kontrak itu tidak akan ditutup dengan syarat yang sama.
Di Indonesia, meskipun ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) belum masuk dalam sumber hukum positif, namun praktek yurisprudensi (secara implisit) telah menerimanya sebagaimana dalam putusan Mahkamah Agung RI No. I 904 K/Sip/1982 (Luhur Sundoro/Ny. Oei Kwie Lian c.s.) dan No. 3431 K/Sip/1985 (Sri Setyaningsih/Ny. Boesono c.s.). Putusan tersebut pada prinsipnya menyatakan bahwa pernyataan kehendak yang diberikan sehingga melahirkan kontrak, apabila dipengaruhi ‘penyalahgunaan keadaan’ oleh pihak lain merupakan unsur cacat kehendak dalam pembentukan kontrak.
Menurut Z. Asikin Kusumah Atmadja, penyalahgunaan keadaan dianggap sebagai faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentu kesepakatan antara para pihak. Hal ini dimungkinkan, karena adanya ketidakseimbangan dan ketidakserasian kedudukan para pihak adalah tidak tepat menggolongkan penyalahgunaan keadaan sebagai kausa tidak halal (ongeoorloofde oorzaak) karena kausa tidak halal memiliki ciri yang sangat berbeda dan karenanya tidak ada kaitannya dengan kehendak yang cacat. Apabila berkenaan dengan kausa tidak diperbolehkan meskipun pihak yang dirugikan tidak mendalilkannya sebagai alasan untuk menyatakan batalnya perjanjian, hakim ex officio wajib mempertimbangkannya. Sedangkan terkait dengan cacat kehendak, pernyataan batal atau batalnya kontrak hanya akan diperiksa oleh hakim jika didalilkan oleh yang bersangkutan. Oleh karenanya menurut Cohen, menggolongkan penyalahgunaan kehendak lebih sesuai dengan kebutuhan konstruksi hukum dalam hal seseorang yang dirugikan menuntut pembatalan kontrak.
UPICC dan RUU kontrak (ELIPS) mengenai adanya cacat kehendak yang menjadi alasan pembatalan kontrak juga telah mengatur dalam ketentuan Bab III tentang Keabsahan (Validity), meliputi:
a.       Kekhilafan (Mistake), sebagaimana diatur dalam pasal 3.4-pasal 3.7;
b.      Penipuan (Fraud), sebagaimana diatur dalam Pasal 3.8;
c.       Ancaman (Threat) sebagaimana diatur dalam Pasal 3.9;
d.      Perbedaan yang mencolok (Groos disparity), sebagaimana diatur dalam Pasal 3.10.
Dengan memerhatikan alasan-alasan pembatalan yang diatur dalam UPICC maupun RUU Kontrak (ELIPS), tiga alasan pertama (mistake, fraud, threat) pada prinsipnya sama dengan BW maupun NBW. Sedangkan untuk alasan keempat, yaitu perbedaan yang mencolok (gross disparity), apabila dibandingkan dengan Pasal 3:44 (1) NBW mengenai misbruik van omstandigheden, tampaknya lebih diperinci faktor-faktor sehingga lebih mudah dicermati hubungan kausalnya. Hal ini dapat dilihat dan ketentuan Pasal 3. menyatakan, bahwa:
(1)   Salah satu pihak dapat membatalkan kontrak atau suatu persyaratan kontrak tersebut apabila pada saat kontrak tersebut diadakan, kontrak atau persyaratan tersebut secara tidak dapat dibenarkan telah menyebabkan pihak lainnya memperoleh suatu keuntungan yang berkelebihan. Pertimbangan harus diberikan, antara lain kepada faktor-faktor, yaitu:
(a)      Kenyataan bahwa pihak lainnya tersebut telah cara tidak jujur mengambil keuntungan dan ketergantungan pihak pertama, tekanan ekonomi, atau kebutuhan mendesak atau dan ketidaktahuannya, kelalaiannya, ketidakpengalamannya, atau tidak adanya keterampilan tawar-menawar; dan
(b)      Sifat dan tujuan kontrak tersebut.
(2)   …, maka pengadilan dapat menyesuaikan kontrak atau persyaratannya untuk membuatnya sesuai dengan standar perdagangan yang wajar dari transaksi yang jujur.
Dan rumusan pasal tersebut, terdapat perbedaan yang mencolok (gross disparity) apabila pada saat kontrak tersebut diadakan, kontrak atau persyaratannya ternyata secara tidak dapat dibenarkan telah menyebabkan pihak lainnya memperoleh suatu keuntungan yang berkelebihan (unjustifiable advantage). Dengan kata lain, salah satu pihak telah secara tidak jujur mengambil keuntungan, karena:
a.       ketergantungan terhadap pihak lain;
b.      tekanan ekonomi;
c.       kebutuhan mendesak;
d.      ketidaktahuannya, kelalaiannya, ketidakpengalamannya;
e.       tidak adanya keterampilan tawar-menawar;
f.       dan sifat dan tujuan kontrak tersebut.
Sementara itu, Akta Kontrak 1950 memasukkan pembahasan cacat kehendak ke dalam kerelaan bebas (free consent). Menurut Pasal 10 Akta Kontrak 1950, dinyatakan, bahwa: “semua perjanjian adalah kontrak jika dibuat atas kerelaan bebas pihak-pihak yang layak membuat kontrak.” Pengaturan pasal ini menempatkan kerelaan bebas sejajar dengan elemen kerelaan bebas akan berpengaruh terhadap kontrak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Akta Kontrak 1950, yang menyatakan bahwa: “Kerelaan adalah dikatakan bebas bila tidak disebabkan oleh paksaan, pengaruh tidak berpatutan, frod, salahnyataan, dan khilaf.
Dengan demikian menurut Akta Kontrak 1950, cacat kehendak yang memengaruhi kebebasan para pihak untuk memberikan kata sepakat (free Consent), dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
a.       paksaan (duress), sebagaimana di atur dalam Pasal 15 jo. 73 Akta Kontrak 1950;
b.      pengaruh tidak berpatutan (undue influence), sebagaimana di atur dalam Pasal 1.6 jo. 20 Akta Kontrak 1950;
c.       frod/tipuan (fraud), sebagaimana diatur dalam Pasal 17 jo. 19 Akta Kontrak 1950;
d.      salahnyataan (misrepresentation), sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Akta Kontrak 1950; dan
e.       khilaf (mistake), sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (e) jis. 21, 22 dan 23 Akta Kontrak 1950.
Apabila dibandingkan dengan BW, NBW, UPICC maupun RUU kontrak (ELIPS), maka cacat kehendak dalam Akta Kontrak 1950 dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Mengenai substansi paksaan (duress) baik Akta kontrak 1950, BW, NBW, UPICC maupun RUU kontrak (ELIPS) mempunyai kesamaan yaitu adanya ‘ancaman yang bersifat melanggar hukum‘, sehingga menggerakkan pihak lain untuk bersepakat karena terpaksa;
b.      Mengenai pengaruh tidak berpatutan (Undue influence), BW belum mengatur, NBW mengelompokkannya ke dalam misbruik van omstandigheden, UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) mengelompokkannya ke dalam gross disparity (perbedaan yang mencolok), dengan substansi dasar yang hampir sama adanya ‘perbedaan kedudukan, posisi, kesempatan yang memengaruhi penentuan kehendak para pihak (kesepakatan)’;
c.       Mengenal frod/tipuan (fraud), Pasal 17 mengkualifikasi 5 perbuatan yang termasuk frod, apabila seseorang:
i.     menyatakan suatu fakta benar, sementara Ia tahu bahwa itu tidak benar;
ii.   menyembunyikan suatu fakta yang seharusnya diberitahukan kepada pihak lain;
iii. berjanji tetapi tidak ada fiat untuk memenuhi janjinya;
iv. melakukan perbuatan yang memperdaya dengan tujuan menipu;
v.   melakukan perbuatan yang oleh undang-undang di nyatakan sebagai penipuan.
Pasal tersebut dalam beberapa hal mengandung substansi dasar yang sama dengan BW, NBW, UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS), yaitu adanya ‘rangkaian tipu daya yang menggerakkan pihak lain untuk bersepakat menutup kontrak’.
d.      Mengenai salahnyataan (misrepresentation), menurut Pasal 18 terdapat salahnyataan, apabila:
i.     informasi yang disampaikan salah satu pihak dianggap benar, tetapi ternyata tidak benar dan merugikan pihak lain;
ii.   salah satu pihak tanpa fiat menipu, namun apa yang dilakukan merupakan pelanggaran kewajiban dan menguntungkan dirinya, sebaliknya merupakan pihak lain;
iii. salah satu pihak tanpa fiat menipu, melakukan kekhilafan mengenai benda yang menjadi objek kontrak secara tidak sesuai dengan keadaan sebelumnya.
Dalam BW, NBW, UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS), hal tersebut tercakup dalam substansi kesesatan atau kekhilafan.
e.       Mengenai khilaf atau kesesatan (mistake), dalam BW kesesatan harus mengenai ‘hakikat benda dan orangnya (vide pasal 1322), NBW terdapat kesesatan apabila pihak lawan ‘keliru dalam memberikan penjelasan, tidak memberi penjelasan, atau kesesatan kedua pihak.’ (vide Pasal 6:228), UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS), yaitu adanya ‘kekeliruan asumsi berkenaan dengan fakta atau hukum yang ada ketika kontrak tersebut diadakan’ (vide Pasal 3.4).
Dengan demikian, pada kontrak komersial yang lahir karena bertemunya dua unsur pokok, yaitu penawaran dan penerimaan, pada umumnya diasumsikan berlangsung secara fair. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian antara pernyataan kehendak para pihak yang diakibatkan oleh adanya cacat kehendak, maka kontrak tersebut dapat diajukan pembatalan oleh pihak yang dirugikan. Kekhawatiran mengenal pertukaran hak dan kewajiban yang tidak berlangsung secara fair, pada dasarnya dapat di atas melalui pengujian terhadap doktrin cacat kehendak dalam pembentukan kontrak.
2.5.         KECAKAPAN
Kecakapan (bekwaamheid - capacity) yang dimaksud dalam Pasal 1320 BW syarat 2 adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa dapat diganggugugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dan standar, berikut ini:
a.       Person (pribadi). diukur dan standar usia kedewasaan (meerderjarig); dan
b.      Rechispersoon (badan hukum), diukur dan aspek kewenangan (avegheid).
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person pada umumnya diukur dan standar usia dewasa atau cukup umur (bekwaamheid - meerderjarig). Namun demikian, masih terdapat polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum yang tampaknya mewarnai praktek lalu lintas hukum di masyarakat. Pada satu sisi sebagian masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan Pasal 1330 BW Jo. 330 BW. Sementara pada sisi lain mengacu pada standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 47 Jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Telaah kritis terkait standar usia dewasa dapat dilakukan melalui pengujian asas-asas hukum maupun interpretasi komprehensif terhadap muatan materi beberapa ketentuan terkait. Asas hukum lex specialis, lex posteriori digunakan untuk menyelesaikan konflik norma, sedang interpretasi komprehensif untuk memahami muatan materi serta maksud pembuat undang-undang. Melalui pengujian tersebut diharapkan muncul satu pemahaman utuh dan konsisten, khususnya bagi pihak-pihak yang sementara ini masih menganut paradigma lama.
Menurut Pasal 1329 BW, “Setiap orang adalah cakap membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.” Dalam Pasal 1330 BW dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:
a.       orang-orang belum dewasa;
b.      mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c.       orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (substansi ini dihapus dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 dan pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Pasal 330 BW menyatakan, bahwa:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara seperti yang diatur dalam Bagian 3, 4, 5, dan 6 dalam bab ini.
Beranjak dan penafsiran a-contrario terhadap substansi Pasal 1330 jo. 330 BW tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa usia dewasa adalah Pandangan yang menggunakan usia 21 tahun dianggap dewasa dilandasi pemikiran:
a.       Ketentuan S. 1935 nomor 54, menyatakan bahwa, …dalam hal suatu ketentuan undang-undang menggunakan istilah “belum dewasa/minderjarigen”, maka bagi orang-orang pribumi harus diartikan: mereka yang belum genap berusia 21 tahun dan tidak telah kawin sebelumnya…;
b.      Undang-Undang No. 1/1974, menimbulkan keragu-raguan mengenai batas usia dewasa, karena dalam Pasal 47 dan Pasal 50 dinyatakan, bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun. Ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan merupakan ketentuan pokok yang masih membutuhkan peraturan pelaksanaan. PP 9/1975 sebagai peraturan pelaksanaannya ternyata belum mengatur lebih lanjut tentang kekuasaan orang tua dan perwalian;
c.       Ketentuan Undang-Undang No. 1/1974 maupun ketentuan MA masih menimbulkan keragu-raguan, dengan argumentasi bahwa undang-undang ini hanya menyangkut tentang perkawinan, bukan perbuatan hukum pada umumnya, sebagaimana yang diatur dalam BW.
Sebaliknya pandangan yang berkembang pada saat ini telah banyak menggunakan usia 18 tahun sebagai dasar untuk menetapkan standar usia dewasa. Pandangan tersebut beranjak dari penafsiran a-contrario terhadap rumusan Pasal 47 jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 47 UU Perkawinan menegaskan bahwa:
(1)   Anak yang belum mencapai umur delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dan kekuasaannya.
(2)   Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Sementara itu Pasal 50  Perkawinan menegaskan bahwa:
·         Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
·         Perwalian itu mengenal pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pengertian “mewakili kepentingan anak” pada kedua pasal tersebut bukan pada keputusan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang dimaksudkan oleh mereka yang menentang usia 18 tahun sebagai tolok ukur kedewasaan, namun jelas ditujukan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya karena si anak dianggap belum cakap melakukan perbuatan hukum (onbekwaam).
Lebih lanjut Pasal 66 UU Perkawinan menegaskan bahwa:
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Mencermati Pasal 66 tersebut di atas, dengan menerapkan asas hukum “lex posteriori derogat legi priori”, maka seharusnya nalar penetapan usia dewasa yang mendasarkan ketentuan Pasal 330 jo. 1330 BW menjadi absurd dan melanggar asas hukum dimaksud. Artinya sejak diundang dan berlakunya secara efektif UU Perkawinan, maka ketentuan BW, khususnya mengenai kedewasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 330 jo. 1330 BW. tidak lagi dijadikan sumber hukum rujukan. Dengan demikian, usia dewasa yang berlaku secara umum terkait dengan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. Hal ini juga dipertegas oleh Mahkamah Agung RI melalui Petunjuk MA No. MA/Pemb/0807/75 dan Putusan MA No. 477K/Sip/1976, tanggal 13-10-1976.
Beberapa undang-undang yang menegaskan standar usia 18 tahun merupakan standar usia dewasa yang berkolerasi dengan kecakapan melakukan perbuatan hukum, antara lain:
a.       Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (vide Pasal 5 jo. 61),
b.      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris (vide Pasal 39 jo. 30),
c.       Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (vide Pasal 5 jis. 6, 9, 21, 22, 41).
Bahkan perkembangan di Belanda yang menjadi sumber rujukan standar kedewasaan untuk mengukur kecakapan seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 338 jo. 1366 BW Ned. (sama dengan 330 Jo. 1330 BW), melalui ketentuan Pasal 2:33 NBW telah meninggalkan standar usia 21 tahun. Dengan menggunakan interpretasi a-contrario terhadap substansi Pasal 2:33 NBW dapat disimpulkan telah menggunakan acuan usia 18 tahun sebagai standar usia dewasa (kecakapan melakukan perbuatan hukum).
NBW melalui Pasal 3:32 menentukan akibat hukum bagi perbuatan hukum oleh pihak yang dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum (handelingsonbekwaamheid) secara umum, artinya dalam hal demikian, maka pihak yang tidak cakap (minderjarig atau curandus) tersebut akan dilindungi. Dalam Pasal 3:32 lid 2 NBW dinyatakan bahwa, suatu per buatan hukum dan orang yang tidak mampu dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan suatu perbuatan hukum secara sepihak (eenzijdig) oleh seorang yang tidak cakap ditujukan kepada satu orang atau lebih tertentu adalah batal demi hukum (nietig).
Menurut Nieuwenhuis, sehubungan dengan asas kepercayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3:35 NBW, terdapat kesamaan perlindungan hukum bagi seseorang yang tidak cakap (onbekwaam Pasal 3:32 NBW) dan bagi seseorang yang mengalami gangguan jiwa (Pasal 3 :34 NBW). Demi kepastian lalu lintas hukum, jika terjadi suatu kesamaan dan ketentuan Pasal 3:34 NBW (gangguan kejiwaan) dan Pasal 3:35 NBW (kepercayaan sesuai hukum), NBW mendahulukan ketentuan terakhir (Pasal 3:35 NBW).
Dengan mencermati argumentasi di atas, sudah waktunya bagi mereka yang bersikukuh bahwa usia 21 tahun sebagai standar usia dewasa untuk mengakui dan menggunakan standar usia 18 tahun sebagai standar usia dewasa (kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum). Pergeseran standar usia dewasa dan 21 tahun ke-18 tahun sudah lazim di negara yang menganut sistem hukum civil law.
Patut dipahami bahwa pengaturan standar usia dewasa hubungan dengan kecakapan untuk melakukan didasari pertimbangan perlindungan hukum bagi pihak yang tidak cakap. Oleh karena itu, akibat kebatalan (dapat dibatalkannya) suatu kontrak karena adanya ketidakcakapan salah satu pihak, maka bobot keseimbangan bergeser ke arah pihak yang tidak cakap.

PEMBATALAN KONTRAK

Dalam khazanah hukum kontrak, yang dimaksud dengan pembatalan kontrak pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu hubungan kontraktual itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan kontrak, maka eksistensi kontrak dengan sendiri menjadi hapus. Akibat hukum kebatalan yang menghapus eksistensi kontrak selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya kontrak.
Pemahaman mengenai pembatalan kontrak seharusnya dihubungkan dengan tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak, yaitu:
(i)     Tidak dipenuhinya unsur subjektif, apabila kontrak tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan (onbekwaamheid) - (Pasal 1320 BW syarat 1 dan 2), sehingga berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).
(ii)   Tidak dipenuhinya unsur objektif, apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat objek tertentu atau tidak mempunyai kausa atau kausanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 BW angka 3 dan 4 jis. 1335, 1337, 1339 BW), sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum (nietig).
Dengan demikian, makna pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan kontrak (penutupan kontrak). Akibat hukum pada pembatalan kontrak adalah ‘pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan kontrak. Misal: dalam kontrak jual beli yang dibatalkan, maka barang dan harga harus dikembalikan kepada masing-masing pihak, dan apabila pengembalian barang tidak lagi dimungkinkan dapat diganti dengan objek yang sejenis atau senilai.
Konsekuensi lanjutan dan efek atau daya kerja pembatalan, apabila setelah pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (mengembalikan apa yang telah diperolehnya), maka pihak yang lain dapat mengajukan gugat revindikasi (vide Pasal 574 BW) untuk pengembalian barang miliknya, atau gugat perorangan atas dasar pembayaran yang tidak terutang (vide Pasal 1359 BW - onverschuldig betaling).
Untuk itu perlu dibedakan pemahaman antara hapusnya kontrak karena pembatalan dengan hapusnya perikatan sebagaimana dimaksud Pasal 1381 BW (misalnya: hapusnya perikatan karena pembayaran atau sebagai akibat pemenuhan perikatan). Pada pembedaan di sini, hapusnya kontrak karena pembatalan jelas menghapus eksistensi kontrak, sedangkan hapusnya perikatan karena pembayaran atau pemenuhan prestasi hanya menghapus perikatannya sendiri namun eksistensi kontraknya tidak hapus.
Dalam praktek, sering dijumpai adanya klausul yang mengatur kebatalan sebagian substansi kontrak yang lazim dituangkan dalam klausul “kebatalan sebagian” atau “severability clause”. Klausul ini pada umumnya menegaskan apabila satu atau beberapa ketentuan dinyatakan batal, maka terhadap klausul yang dinyatakan batal dianggap tidak pernah ada. Namun sepanjang tidak terkait dengan substansi klausul yang dibatalkan serta masih memungkinkan untuk dilaksanakan, maka sisa kontrak yang ada dinyatakan masih berlaku.
Dalam sistematika BW pengaturan tentang ‘kebatalan sebagian’ atau “severability clause” tidak diatur. Namun demikian, NBW telah memberikan peluang untuk menerima konsepsi tentang ‘kebatalan sebagian’ atau “severability clause melalui Pasal 6:265 NBW Menurut pasal tersebut dalam hal terjadi kegagalan pelaksanaan kontrak, kreditor dapat mengajukan gugatan pemutusan kontrak, baik seluruh maupun sebagian. Demikian halnya dengan UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS), pada Pasal 3.16 mengatur ‘kebatalan sebagian’ (partial avoidance) yang daya kerjanya terbatas hanya menjangkau persyaratan yang dibatasi tersebut, dengan memerhatikan kewajaran. Sementara itu, dengan muatan substansi yang sama Akta Kontrak 1950 mengatur ‘kebatalan sebagian’ pada Pasal 65. Dengan demikian prinsip ‘pembatalan sebagian’ diterima, apabila alasan pembatalan hanya memengaruhi persyaratan itu sendiri sehingga akibat dan pembatalan tersebut akan dibatasi hanya menjangkau persyaratan tersebut, kecuali dengan mempertimbangkan keadaan pada saat itu bahwa adalah tidak wajar untuk mempertahankan kontrak tersebut untuk sebagian lainnya.
Mengacu pada praktek, maupun substansi NBW, UPICC, RUU Kontrak (ELIPS) serta Akta Kontrak 1950, kiranya pencantuman klausul ‘kebatalan sebagian’ selama diterapkan dengan memerhatikan kewajaran tampaknya perlu diakomodasikan dan diterima keberlakuannya. Hal ini sesuai dengan esensi tujuan kontrak untuk menjamin kelangsungan hubungan para pihak yang membutuhkan fleksibilitas pemenuhan prestasi, serta penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang memengaruhi pelaksanaan kontrak.

 PEMUTUSAN KONTRAK

Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan kontrak dengan pemutusan kontrak, adalah terletak pada fase hubungan kontraktualnya. Pada pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase pembentukan kontrak), sedang pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan kontrak).
Pemutusan kontrak merupakan akibat hukum lanjutan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban kontraktual. Peristiwa tersebut pada umumnya dikaitkan dengan pelanggaran kewajiban kontraktual salah satu pihak yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan kontrak i.c. wanprestasi, sehingga mengakibatkan kontrak tersebut utus. Pemutusan kontrak sebagal akibat adanya pelanggaran kewajiban kontraktual merupakan salah satu upaya bagi kreditor untuk menegakkan hak kontraktualnya. Hal ini dapat dicermati dalam ketentuan Pasal 1267 BE, bahwa dalam hal terjadi wanprestasi oleh debitur maka kreditor dapat menuntut antara lain pemutusan kontrak ditambah dengan ganti rugi.
Perlu diperhatikan bahwa dalam hubungannya dengan pemutusan kontrak yang disebabkan pelanggaran kewajiban kontraktual (i.c. wanprestasi), harus berlandaskan pada alasan yang wajar (rasional) dan patut. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6:265 NBW, bahwa pemutusan kontrak harus didasarkan pada adanya pelanggaran yang bersifat fundamental (fundamental breach) memengaruhi keseluruhan atau sebagian kontrak. Untuk itu pelanggaran yang tidak begitu penting atau menurut sifatnya dapat diterima (special nature or minor importance), tidak lantas membuka peluang bagi kreditor untuk memutuskan kontrak. Misal: keterlambatan pemasangan instalasi listrik di salah satu ruang yang pada dasarnya dapat segera diselesaikan dalam waktu singkat, dijadikan alasan oleh kreditor menuntut pemutusan kontrak. Hal ini jelas tidak fair dan tidak proporsional, sehingga melalui pengujian berdasarkan asas proporsionalitas maka gugatan tersebut seyogianya ditolak atau tidak diterima.
Penerapan asas proporsionalitas dalam menilai ada atau tidaknya pelanggaran yang bersifat fundamental (fundamental breach) dapat diujikan pada kasus kepailitan antara PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (AJMI) melawan PT Dharmala Sakti Sejahtera (PT DSS), sebagaimana diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Putusan No. 10/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST, yang pada prinsipnya menyatakan pailit terhadap PT AJMI. Terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung RI dan muncul putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Putusan Mahkamah Agung RI No. 021 K/N/2002, tanggal 5 Juli 2002, yang pada prinsipnya menolak permohonan pailit yang diajukan PT DSS. Pokok sengketa kasus ini menurut dalil PT DSS
1999 berikut bunganya yang menjadi hak PT DSS, sehingga PT AJMI dianggap wanprestasi. Namun sebenarnya tidak dibayarkannya dividen tersebut adalah berdasarkan putusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). sehingga dalil PT DSS untuk memailitkan PT AMJI ditolak berdasarkan pertimbangan di atas. Dan kacamata asas proporsionalitas, terdapat hal yang tidak proporsional sebagai dasar pengajuan kepailitan dimaksud, yaitu tidak dibayarkannya dividen sebesar Rp 33 miliar oleh PT AJMI bukanlah suatu kondisi yang dapat diartikan sebagai kegagalan pelaksanaan kontrak yang bersifat fundamental. Hal ini berdasarkan pertimbangan aset PT AJMI bernilai triliunan, sehingga secara wajar akan dapat memenuhi kewajibannya yang nilainya hanya sekian persen dan total asetnya. Dalam perspektif kasus ini, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat jauh dan bentuk pertukaran beban kewajiban yang fair. Logika formal memberikan justifikasi bahwa: “Tanggung gugat seyogianya sebanding dengan beban kesalahannya “.
Selanjutnya, sehubungan dengan pembedaan pemahaman antara pembatalan kontrak dengan pemutusan kontrak, maka perlu diajukan analisis kritis terkait dengan penggunaan kedua istilah tersebut, khususnya terkait pengesampingan ‘syarat batal’ Pasal 1266 BW yang sering dimasukkan dalam salah satu klausul kontrak. Dalam hal ini diajukan dua pertanyaan mendasar, yaitu:
(i)     Apakah penggunaan istilah ‘syarat batal’ dalam redaksi terjemahan Pasal 1266 BW sudah tepat?; dan
(ii)   Apakah pengesampingan terhadap Pasal 1266 BW dimungkinkan?
Penggunaan istilah ‘syarat batal’ dalam Pasal 1266 BW sebagai terjemahan istilah ‘ontbindende voorwaarde’ menurut saya tidak tepat. Pasal 1265 dan 1266 BW menggunakan istilah ‘ontbindende voorwaarde’ yang artinya adalah ‘syarat putus’. Sedang substansi Pasal 1267 BW yang menyatakan: ..., of derzelver ontbinding te vorderen, …, adalah tidak tepat apabila diterjemahkan …, atau menuntut pembatalan perjanjian… istilah yang tepat dan konsisten adalah ..., atau menuntut pemutusan perjanjian…. Selain itu, apabila dilihat dari sistematikanya Pasal 1266 BW terletak Bagian V tentang Perikatan-perikatan Bersyarat (Pasal 1253-1267 BW). Istilah ‘batal’ dalam Bagian V justru lebih tepat untuk menerjemahkan kata ‘nietig’ (vide Pasal 1254 dan 1256 BW). Istilah  ‘ontbindende voorwaarde’ lebih tepat diterjemahkan ‘syarat putus’, dengan argumentasi:
a.       Apabila konsisten dengan makna ‘verbintenis’ atau perikatan, berarti dengan dipenuhinya syarat-syarat sahnya kontrak maka akan melahirkan perikatan yang mempunyai daya mengikat (binden-binding) bagi para pihak;
b.      ‘Ontbinding’ (berasal dan kata “binden” – mengikat) berarti ‘tidak mengikat’ atau lebih tepat diartikan “putus – pemutusan”, artinya memutuskan daya mengikatnya kontrak yang telah disepakati para pihak. Putusnya ikatan ini terkait dengan pelanggaran pelaksanaan kewajiban kontraktual yang telah disepakati. Bukankah apabila perikatan tersebut telah diputus, berarti kehilangan daya mengikatnya;
c.       Istilah ‘pembatalan’ lebih relevan digunakan dalam hubungannya dengan batal demi hukum (nietig van rechtswege) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar) yang terkait dengan proses lahirnya kontrak (fase pembentukan kontrak), yaitu dalam hal tidak dipenuhinya syarat-syarat sahnya kontrak;
d.      Istilah ‘pemutusan’ lebih tepat digunakan apabila terkait dengan pelaksanaan kontrak yang karena sesuatu hal harus diputuskan daya mengikatnya (fase pelaksanaan kontrak);
e.       Pengadilan telah beberapa kali memutuskan perkara dengan substansi pengesampingan Pasal 1266 BW (antara lain Putusan Hoge Raad tanggal 7 Februari 1902 W. 7720, Hoetink, No. 70);
f.       Oleh karena itu, istilah ‘syarat batal’ dalam terjemahan Pasal 1266 BW, seyogianya dibaca ‘syarat putus’.
Mengenai pengesampingan Pasal 1266 BW, berikut ini ada dua pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 BW merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwigend recht) sehingga tidak dapat disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 BW merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht) sehingga dapat disimpangi oleh para pihak.
a.       Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 BW merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht).
Pandangan ini beranjak dari rumusan Pasal 1266 BW yang menyatakan, bahwa:
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam kontrak-kontrak yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian kontrak tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban di dalam kontrak.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan Si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan.
Rumusan Pasal 1266 BW tersebut menentukan 3 syarat untuk berhasilnya pemutusan kontrak, yaitu:
·            Harus ada persetujuan timbal balik.
·            Harus ada wanprestasi, untuk itu pada umumnya sebelum kreditor menuntut pemutusan kontrak, debitur harus dinyatakan lalai (pernyataan lalai, in mora stelling, ingebrekestelling).
·            Putusan hakim.
Dengan menekankan pada rumusan … pemutusan harus dimintakan kepada Pengadilan..., kata ‘harus’ pada ketentuan Pasal 1266 BW ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht) dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak melalui (klausul) kontrak mereka.
Putusan hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya putusnya kontrak itu diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat deklaratif (kontrak putus karena adanya wanprestasi, sedang putusan hakim sekadar menyatakan saja bahwa kontrak telah putus). Pendapat yang menyatakan bahwa putusan hakim adalah konstitutif berdasarkan:
i.           Alasan historis (sejarah), bahwa menurut Pasal 1266 BW, putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim;
ii.         Pasal 1266 Ayat 2 BW, menyatakah dengan tegas bahwa wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak.
iii.       Hakim berwenang untuk memberikan terme de grace (tenggang waktu bagi debitur untuk memenuhi prestasi kepada kreditor), dan ini berarti bahwa kontrak belum putus.
iv.       Kreditor masih mungkin untuk menuntut pemenuhan.
b.      Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 BW merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht).
Pendapat ini didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut:
i.           Pasal 1266 BW, terletak pada sistematika Buku III dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur/melengkapi;
ii.         Para pihak dapat menentukan bahwa untuk pemutusan kontrak tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut harus dinyatakan secara positif dalam kontrak;
iii.       Praktek penyusunan kontrak komersial pada umumnya mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 BW (faktor heteronom), sehingga hal ini dianggap sebagai ‘syarat yang biasa diperjanjikan’ (bestandig geberuikelijk beding) dan merupakan faktor otonom yang disepakati para pihak. Dengan demikian, kedudukan klausul ini dianggap mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak, lebih kuat dibanding daya kerja Pasal 1266 BW yang bersifat mengatur.
Berdasarkan dua pendapat yang berkembang mengenai klausul pengesampingan Pasal 1266 BW, apabila dikaitkan dengan kepentingan para pelaku bisnis tampaknya pendapat kedua lebih mendekati nilai kepraktisannya (Pasal 1266 BW disimpulkan bersifat mengatur). Harus diakui bahwa para pelaku bisnis lebih memilih alternatif terbaik bagi kontrak mereka, termasuk ketika harus menghadapi kendala dalam pelaksanaan kontrak. Klausul pengesampingan Pasal 1266 BW dianggap jalan singkat yang sesuai dengan tuntutan efisien dan kepastian hukum pelaku bisnis.
Dan kacamata asas proporsionalitas, klausul pengesampingan Pasal 1266 BW ini seyogianya dapat diterima sebagai bagian dan kehendak serta komitmen para pihak dalam menetapkan beban kewajiban dalam pelaksanaan kontrak. Oleh karena itu, penegakan terhadap pelanggaran klausul tersebut harus diterima sebagai upaya penyelesaian sengketa yang proporsional.


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemaparan-pemaparan dan pembahasan-pembahasan dari uraian dalam pembahasan di atas, maka kami dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut bahwa terdapat banyak persamaan dari substansi hukum yang diterapkan di antara dua negara yang pada dasarnya menganut sistem hukum civil law di antaranya:
a)         Penerapan Asas itikad Baik di negara Indonesia tercantum dalam pasal 1338 (1) BW dan di negara Belanda tercantum dalam Pasal 6:2 dan 6:248 (3) NBW.
b)         Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak di negara Indonesia tercantum dalam pasal 1338 (2) dan di negara Belanda tercantum dalam pasal Pasal 3:1 NBW.
c)         Penerapan aturan penentuan saat lahirnya kontrak di Indonesia tercantum dalam pasal 1320 (1) dan di negara Belanda tercantum dalam pasal Pasal 6:217 NBW.
d)        Penyalahgunaan keadaan di Indonesia tercantum dalam pasal 1321-1328 BW dan di negara Belanda tercantum dalam  Pasal 3:33 NBW, Pasal 3:44 (1) dan Pasal 6:228 NBW.
e)         Tentang kecakapan di negara Indonesia di atur dalam Pasal 1320 BW syarat 2, Pasal 1329 BW , Pasal 1330 BW Jo. 330 BW dan Pasal 47 Jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan di negara Belanda di atur dalam Pasal 338 jo. 1366 NBW, Pasal 2:33 NBW, Pasal 3:32.
Hal inilah yang menjadi analisis kami mengenai berbagai persamaan aturan-aturan berdasarkan substansi-substansi yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Erawati, Elly dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010.
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana, 2010.
Hijma, Jaap dan Henk Snijders, The Netherlands New Civil Code, Jakarta: National Legal Reform Program, 2010.
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
Meliala, Djaja S, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung: Nuansa Aulia, 2007.
Subekti, R, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
Suherman, Ade Maman dan J. Satrion, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010.
Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Bandung: Pustaka Sutra, 2008.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Nieuw Burgerlijk Wetboek, Dutch Civil Code
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

SITUS INTERNET

wetboek-online.nl (diakses pada tanggal 14 Desember 2014)

0 komentar :

Post a Comment