LATAR BELAKANG
Dalam perkembangan
dan pengembangan suatu hukum di suatu negara, diperlukan adanya suatu kajian
tentang membandingkan hukum suatu negara dengan hukum di negara lain terkait
dengan masalah hukum perdata. Hal ini biasanya disebut dengan perbandingan
hukum perdata.
Perbandingan hukum perdata atau disebut juga dengan comparition of civil lay systems (Inggris), vergelijkend burgerlijk recht (Belanda), atau vergleichenden zivilrechts (Jerman) merupakan salah satu mata
kuliah yang sangat penting yang diajarkan pada Fakultas Hukum di seluruh
Indonesia, karena mata kuliah ini mengkaji dan menganalisis perbedaan dan
persamaan sistem hukum, terutama sistem hukum perdata yang berlaku di dunia.
Perbandingan hukum
perdata sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan hukum yang mempunyai
banyak kegunaan, manfaat serta fungsinya tidak kecil bagi berbagai bidang
antara lain, berfungsi bagi pengembangan ilmu hukum di suatu negara, berfungsi
bagi praktik pembinaan hukum, dan berfungsi dalam rangka perencanaan hukum.
Perbandingan hukum perdata
menjadi lebih diperlukan karena dengan perbandingan hukum, kita dapat
mengetahui jiwa serta pandangan hidup bangsa lain termasuk hukumnya. Saling mengetahui
sistem hukum suatu negara, sengketa dan kesalah pahaman dapat dihindari
sehingga tercapailah perdamaian dunia.
Perbandingan hukum perdata
mempunyai peranan penting di bidang hukum secara nasional maupun internasional.
Oleh karena itu, semakin perlu diketahui atau dipelajari karena mempunyai
berbagai manfaat antara lain, dapat membantu dalam rangka pembentukan hukum
nasional disamping mempunyai peranan penting dalam rangka hubungan antar bangsa
dan sebagainya. Pendeknya perbandingan hukum perdata mempunyai peranan penting
di segala bidang kajian hukum perdata.
Dalam makalah ini, akan membandingkan hukum antara
sistem hukum Belanda dengan sistem hukum Indonesia terkait dengan hukum
perikatan. Hukum perikatan sendiri adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara
dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan.
Dalam makalah ini juga, selain membandingkan hukum,
baik dari kelebihan dan kekurangan dari Belanda dengan hukum Indonesia terkait
dengan hukum perikatan, juga bertujuan untuk menemukan hukum baru, sehingga
penemuan hukum tersebut bisa lebih baik lagi dari hukum-hukum yang ada selama
ini.
ASAS ITIKAD BAIK
Pasal 1338 (3)
BW menyatakan bahwa, “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.” Apa yang dimaksud dengan itikad baik (te goeder
trouw; good faith) perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan ‘itikad’ adalah
kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan (yang baik). Dalam Kamus
Hukum Foekema Andrea dijelaskan bahwa “goede trouw” adalah maksud,
semangat yang menjiwai para peserta dalam suatu perbuatan hukum atau tersangkut
dalam suatu hubungan hukum. Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan itikad baik
dengan istilah “dengan jujur” atau “secara jujur”. Sementara itu Black’s Law
Dictionary memberi rumusan:
“Good faith is an intangible and
abstract quality with no technical meaning or statutory definition, and it
compasses, among other things, an honest belief, the absence of malice and the
absence of design to defraud or to seek an unconsionable advantage, and
individual’s personal good faith is concept of his own mind and inner spirit
and, therefore, may not conclusively be determinded by his protestations alone.
…
In common usage this term is ordinarily used to describe that state ofmind
denoting hon esty ofpurpose, freedom from intention to defraud, and, generally
speaking, means being faithful to one’s duty or obligation.”
Pengaturan Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik (contractus - kontrak berdasarkan itikad
baik). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan.
Pengertian itikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas dari pada
pengertian sehari-hari. Menurut Hoge Raad, dalam putusannya tanggal 9 Februari
1923 (Nederlandse Jurisprudentie, hlm.
676) memberikan rumusan bahwa:
perjanjian harus dilaksanakan “volgens de eisen van redelijkheid en
billijkheid”, artinya itikad balk harus dilaksanakan menurut kepantasan. P. L. Werry menerjemahkan
“redelijkheid en billijkheid” dengan istilah “budi dan kepatutan”
beberapa terjemahan lain menggunakan istilah “kewajaran dan keadilan” atau
“kepatutan dan keadilan”. Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima
oieh nalar dan akal sehat (reasonable; raisonnable), sedang billijkheid
artinya patut dan adil. Dengan dapat dirasakan dan dapat diterima nalar
dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang
bersifat tidak tertulis dan bukan berasal dan subjektivitas para pihak. Menurut
P. L. Werry norma ini pada hakikatnya sama dengan norma “kecermatan yang patut
dalam masyarakat” pada norma tidak tertulis yang tercantum dalam Pasal 1365 BW
(perbuatan melanggar hukum).
Menurut J. M. van Dunne daya berlaku itikad baik (goede
trouw; good faith) meliputi seluruh proses kontrak atau diibaratkan dengan “the
rise and fall of contract”. Dengan demikian itikad baik meliputi tiga fase
perjalanan kontrak, yaitu: (1) pre contractuele fase, (ii) contractuele
fase, dan (iii) postcontractuele fase. Pasal 1338 ayat (3) BW tersebut di
atas, pada umumnya selalu dihubungkan dengan Pasal 1339 BW, bahwa “Persetujuan
tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan
juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan
keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.” (keadilan yang dimaksud di sini adalah itikad baik).
Wirjono Prodjodikoro membagi itikad baik menjadi dua
macam, yaitu:
1.
Itikad baik pada waktu mulai berlakunya
suatu hubungan hukum. Itikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau
anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan
hukum terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak
yang beritikad baik, sedang bagi pihak yang beri itikad tidak baik (te
kwader trouw) harus bertanggung jawab dan menanggung risiko. Itikad baik
semacam ini dapat disimak dan ketentuan Pasal 1977 (1) BW dan Pasal 1963 BW,
dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang
melalui daluwarsa. Itikad baik ini bersifat subjektif dan statis.
2.
Itikad baik pada waktu pelaksanaan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaksud dalam hubungan hukum itu.
Pengertian itikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal I 338 (3) BW
adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan
hukumnya. Titik berat itikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan
dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu
hal.
Beranjak dan pendapat Wirjono Prodjodikoro, maka
pengertian itikad baik menurut Pasal dibedakan dengan pengertian itikad baik
menurut Pasal i 963 BW. Pengertian itikad baik menurut Pasal 1338 (3) BW
diberikan batasan dalam arti objektif-dinamis sedangkan pengertian itikad baik
menurut Pasal 1963 BW dan 1977 (1) BW diberikan batasan arti subjektif-statis.
Pengertian itikad baik menurut Pasal 1963 BW, adalah
kemampuan baik atau kejujuran orang itu pada saat ia mulai menguasai barang,
dimana ia mengira bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hak
milik atas barang itu telah dipenuhi. Itikad baik semacam ini juga dilindungi
oleh hukum dan itikad baik sebagai syarat untuk mendapatkan hak milik ini tidak
bersifat dinamis, melainkan bersifat statis. Demikian pula dengan pengertian
itikad baik dalam Pasal 1977 (1) BW, terkait dengan cara pihak ketiga
memperoleh suatu benda (kepemilikan) yang disebabkan ketidaktahuan mengenai
cacat kepemilikan tersebut dapat dimaafkan, namun dengan syarat-syarat
tertentu. Dalam kaitan dengan penerapan itikad baik menurut Pasal 1977 (1) BW
sering itikad baik tersebut diartikan “tidak tahu dan tidak harus tahu”, maksudnya ketidaktahuan pihak ketiga
mengenai cacat kepemilikan ini dapat dimaafkan menurut kepatutan dan
kelayakan. Misalnya, apabila seseorang membeli sayur di pasar sayur, atau
membeli buah-buahan, maka ketidaktahuan akan adanya cacat kepemilikan yang
dilakukan pembeli dapat dimaafkan dan sebagai konsekuensinya kepemilikan
terhadap benda yang dibeli tersebut dilindungi oleh hukum. Mengapa demikian,
karena seorang yang membeli sayur atau buah di tempat yang lazim di mana barang
tersebut diperjualbelikan, akan senantiasa beranggapan bahwa ia berhadapan
dengan orang yang berhak berbuat bebas untuk memperjualbelikan barang tersebut
(meskipun hal ini ternyata tidak selalu terbukti benar).
Sementara itu, pengertian itikad baik dalam Pasal
1338 (3) yang berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik., adalah
bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan. dalam hati sanubari seorang
manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat harus
jauh dan sifat merugikan pihak lain, atau menggunakan kata-kata secara membabi
buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak
harus selalu memerhatikan hal-hal ini, dan tidak boleh menggunakan kelalaian
pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi. Artinya itikad baik harus
melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual, dan
pelaksanaan kontraktual. Dengan demikian, fungsi itikad baik dalam Pasal 1338
(3) BW mempunyai sifat dinamis melingkupi keseluruhan proses kontrak tersebut.
Sehubungan dengan fungsi itikad baik dalam Pasal
1338 (3) BW, menurut beberapa sarjana antara lain P. L. Werry, Arthur S.
Hartkamp dan Marianne M. M. Tillem, terdapat tiga fungsi utama itikad baik,
yaitu:
a.
Fungsi yang mengajarkan bahwa kontrak
harus ditafsirkan menurut itikad baik (itikad baik sebagai asas hukum umum),
artinya kontrak harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair).
b.
Fungsi menambah atau melengkapi (aanvullende
werking van de geode trouw),
artinya itikad baik dapat menambah isi atau kata-kata perjanjian apabila
terdapat hak dan kewajiban yang timbul di antara para pihak tidak secara tegas
dinyatakan dalam kontrak. Menurut P. L. Werry hal ini terkait dengan
pelaksanaan kontrak sebagaimana putusan Hoge Raad tanggal 10 Februari
1921 dalam perkara persaingan antara pengurus firma yang bertentangan dengan
itikad baik. Demikian pula dalam putusan Hoge Raad tanggal 13 Maret
1964, NJ 1964 dalam perkara perlaksanaan kontrak penanggungan (borgtocht) yang
mewajibkan kreditor untuk memerhatikan itikad baik dalam pelaksanaan kontrak.
c.
Fungsi membatasi atau meniadakan (beperkende
en deroerende werking van de goede trouw), artinya fungsi ini hanya dapat
diterapkan apabila terdapat alasan-alasan
yang amat penting (alleen in spreekende gevallen). Putusan Hoge Raad yang
membatasi atau meniadakan daya kerja kontrak dapat dicermati dalam kasus Stork
v. N. V Harleemshe Katoen Maatschappij (Sarong Arrest), HR 8 Januari 1026, NJ 1926, 203, Mark is
Mark Arrest, HR 2 Januari 1931 serta Saladin v. Hollandsce Bank Unie (HBO)
Arrest, tanggal 16 Mei 1967, Hoge Raad dan NBW dalam menerapkan
fungsi ini hanya terhadap kasus-kasus yang pelaksanaan menurut kata-kata
kontrak tersebut sungguh-sungguh tidak dapat diterima karena tidak adil. Rasio
penerapan ini dapat dipahami karena merupakan penyimpangan (perkecualian)
terhadap asas pacta sunt servanda.
Dalam NBW pengaturan substansi itikad baik tercantum
pada ketentuan Pasal 6:2 dan 6:248 (1) NBW Ketentuan tersebut telah menghapus
dualisme penggunaan istilah “goede trouw”. Pengertian itikad baik sebagaimana dimaksud Pasal 1338
(3) BW diartikan “redelijkheid en billijkheid”, sedangkan untuk istilah “goede
trouw” sebagaimana dimaksud Pasal 1963 BW dan 1977 BW tetap menggunakan
istilah “goede trouw”. Menurut Arthur S. Hartkamp, pembentuk
undang-undang telah membedakan itikad baik dalam makna ketaatan akan “reasonable
commercial standard offair dealing” dan itikad baik dalam makna “honesty
in fact”. Untuk mencegah kemungkinan timbulnya kebingungan, dalam NBW
menggunakan istilah itikad baik dalam makna yang pertama saja di mana itikad
baik kemudian dikarakteristikkan sebagai reasonableness (redelijkheid) dan
equity (billijkheid).
Menurut Arthur S. terdapat dua model pengujian
tentang ada atau tidaknya itikad baik dalam kontrak, yaitu pengujian objektif (objective
test) dan pengujian subjektif (subjective test). Pengujian objektif (objective
test) pada umumnya dikaitkan dengan kepatutan, artinya salah satu pihak
tidak dapat membela diri dengan mengatakan bahwa ia telah bertindak jujur
manakala ternyata ia tidak bertindak secara patut. Sementara itu pengujian
subjektif (subjective test) terhadap kewajiban itikad baik dikaitkan
dengan keadaan karena ketidaktahuan (lack of notice).
Memang diakui bahwa untuk memahami itikad baik bukan
hal yang mudah. Pada kenyataannya itikad baik acap kali tumpang-tindih dengan
kewajaran dan kepatutan (redelijkh eid en billijkheid; reasonableness and
equity) Dalam itikad baik terkandung kepatutan, demikian pula dalam
pengertian kepatutan terkandung itikad baik. Oleh karena itu dalam praktek
pengadilan, itikad baik dan kepatutan dipahami sebagai asas atau prinsip yang
saling melengkapi (complementary).
Dalam UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS), substansi
itikad baik diatur dalam Pasal 1.7 dan 2.15, yang menekankan perlunya itikad
baik dan kejujuran (good faith andfair dealing) dan melarang adanya
proses perundingan kontrak yang didasari itikad buruk. Meskipun penekanan
perlunya itikad baik dan kejujuran (good faith andfair dealing) pada
ketentuan tersebut diletakkan pada proses perundingan kontrak, namun tidak
berarti pada proses berikutnya (i.c. pelaksanaan kontrak) itikad baik
dikesampingkan. Itikad baik hendaknya diartikan dan diformulasikan pada seluruh
proses kontrak.
Selanjutnya dengan memerhatikan substansi masing-masing
asas tersebut di atas, sesuai dengan fungsi “check and balance”, maka
asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas daya mengikat kontrak,
asas pacta sunt servanda, itikad baik serta asas proporsionalitas
mempunyai daya kerja menjangkau kontrak yang bersangkutan. Sebagai suatu
sistem, pada prinsipnya para pihak bebas membuat kontrak menentukan isi dan
bentuknya, serta melangsungkan proses pertukaran hak dan kewajiban sesuai
kesepakatan masing-masing secara proporsional. Dalam hubungan antar asas..asas
hukum kontrak, menurut pendapat saya, kedudukan asas proporsionalitas adalah
asas pokok yang mandiri dan berdiri setara dengan asas-asas pokok hukum kontrak
yang lain. Hal ini didasari pada karakteristik serta fungsi asas
proporsionalitas sebagaimana telah diuraikan dalam analisis pada subbab
sebelumnya.
Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan posisi asas
proporsionalitas disampingkan asas-asas pokok hukum kontrak lainnya. Dengan
mengandaikan sebuah kue yang lezat terhidangkan, dinikmati serta memberi rasa
puas bagi mereka yang mengonsumsinya. Kelezatan kue tersebut disebabkan karena
berpadunya komposisi unsur-unsur penyusun, antara lain: tepung, gula, telur,
mentega, susu, dan lain-lain. Komposisi tersebut tidak terdiri dan 1 kilogram
tepung, 1 kilogram gula, I kilogram telur, 1 kilogram mentega, I kilogram susu
dan lain-lain, namun komposisi yang menyebabkan kue tersebut lezat dan nikmat
justru karena sesuai takaran atau proporsinya masing-masing. Demikian halnya
dengan daya kerja serta fungsi masing-.masing asas dalam kontrak, membentuk
sistem “check and balance” sesuai
dengan proporsinya sehingga bangunan kontrak menjadi kukuh.
Proporsionalitas daya kerja masing-masing asas dalam
membingkai suatu kontrak hendaknya tidak diartikan sebagal pengertian atau
makna asas proporsionalitas. Bekerjanya masing-masing asas secara proporsional
dalam membentuk kontrak karena bekerjanya asas-asas tersebut dalam sistem “check and balance”. Idealnya agar kontrak
menjadi kukuh maka masing-masing asas seyogianya mempunyai daya kerja
proporsional. Sedangkan asas proporsionaiitas sendiri terkait dengan pertukaran
hak dan kewajiban secara proporsional yang meliputi seluruh tahapan kontrak.
Jadi pengertian asas proporsionalitas hendaknya dibedakan dengan bekerjanya
asas-asas dalam hukum kontrak secara proporsional.
KEABSAHAN KONTRAK
Aktivitas bisnis pada dasarnya senantiasa dilandasi
aspek hukum terkait, ibaratnya sebuah kereta api hanya akan dapat berjalan
menuju tujuannya apabila ditopang dengan rel yang berfungsi sebagai landasan
geraknya. Tidak berlebihan kiranya, apabila keberhasilan suatu proses bisnis
yang menjadi tujuan akhir para pihak hendaknya senantiasa memerhatikan aspek
kontraktual yang membingkai aktivitas bisnis mereka. Dengan demikian, bagaimana
agar bisnis mereka berjalan sesuai tujuan akan berkorelasi dengan struktur
kontrak yang dibangun bersama. Kontrak akan melindungi proses bisnis para
pihak, apabila pertama-tama dan terutama, kontrak tersebut dibuat secara sah
karena hal ini menjadi penentu proses hubungan hukum selanjutnya.
Menyikapi tuntutan dinamika tersebut di atas,
pembuat undang-undang telah menyiapkan seperangkat aturan hukum sebagai tolok
ukur bagi para pihak untuk menguji standar keabsahan kontrak yang mereka buat.
Perangkat aturan hukum tersebut sebagaimana yang diatur dalam sistematika Buku
III BW yaitu:
a.
Syarat sahnya kontrak yang diatur dalam
Pasal 1320 BW; dan
b.
Syarat sahnya kontrak yang diatur di
luar Pasal 1320 BW (vide Pasal 1335, Pasal 1337, pasal 1339 dan Pasal 1347).
Pasal 1320 BW merupakan instrumen pokok untuk
menguji keabsahan kontrak yang dibuat para pihak. Dalam Pasal 1320 BW tersebut
terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu:
a.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de
toestermming van degenen die zich verbinden);
b.
kecakapan untuk membuat perikatan (de
bekwaarmheid om eene verbintenis aan te gaan);
c.
suatu hal tertentu (een bepaald
onderwerp);
d.
suatu sebab yang halal atau
diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak).
M.
L. Barron menambahkan elemen pembentuk kontrak, selain ketiga elemen di atas,
meliputi juga:
a.
Capacity of parties, kecakapan
para pihak.
b.
Reality of consent, artinya
harus benar-benar kesepakatan yang sesuai dengan kehendaknya, bukan karena
adanya cacat kehendak (mis-representation,
duress or undue influence).
c.
Legality of object (terkait
dengan tujuan atau objek yang harus diperbolehkan menurut hukum).
NBW sendiri terkait dengan syarat sahnya kontrak
telah mengadakan pembaharuan, sebagaimana terdapat dalam Buku III tentang Hukum
Harta Kekayaan Pada Umumnya (Vermogensrecht in Het Algemeen) dan Buku VI
Tentang Bagian Umum Hukum Perikatan (Algemeen Gedeelte van Het Verbintenissenrecht). Syarat sahnya kontrak
menurut NBW tersebar dalam berbagai pasal dengan substansi pokok, yaitu:
a.
Kesepakatan;
b.
kemampuan bertindak;
c.
perjanjian yang dilarang (gabungan
syarat “hal tertentu” dan syarat “kausa yang
dilarang”).
Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 BW
tersebut di atas terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi
tidak dipenuhinya masing-masing syarat dimaksud. Pertama, syarat
kesepakatan dan kecakapan, merupakan unsur subjektif karena berkenaan dengan
diri orang atau subjek yang membuat kontrak. Kedua, syarat objek
tertentu dan kausa yang diperbolehkan merupakan unsur objektif.
Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat sah
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 BW, baik syarat subjektif maupun
syarat objektif akan mempunyai akibat-akibat, sebagai berikut:
a.
“noneksistensi”, apabila
tidak ada kesepakatan maka tidak timbul kontrak;
b.
vernietigbaar atau
dapat dibatalkan, apabila kontrak tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke)
atau karena ketidakcakapan (onbekwaamheid) - (Pasal 1320 BW syarat 1
dan 2), berarti hal ini terkait dengan unsur subjektif, sehingga berakibat
kontrak tersebut dapat dibatalkan; dan
c.
nietig atau
batal demi hukum, apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat objek
tertentu atau tidak kausa atau kausanya tidak diperbolehkan
(Pasal 1320 BW syarat 3 dan 4) berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum.
(Pasal 1320 BW syarat 3 dan 4) berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum.
Mengenai elemen atau unsur pembentukan kontrak,
yaitu: (i) kesepakatan; (ii) kecakapan; (iii) suatu hal tertentu; dan (iv)
kausa yang diperbolehkan akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikut,
dapat dicermati dan perbandingan antara BW dengan NBW serta dalam beberapa hal
dengan UPICC, RUU Kontrak (ELIPS) dan Contracts
Act 1950 (Akta Kontrak 1950).
DASAR KETERIKATAN KONTRAKTUAL & PENENTUAN SAAT LAHIRNYA KONTRAK
Pasal 1320 BW syarat 1 mensyaratkan adanya
kesepakatan sebagai salah satu syarat keabsahan kontrak. Kesepakatan mengandung
pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk
menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu dengan pernyataan
pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas
namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan
kehendak para pihak.
Mengenai substansi kesepakatan ini NBW juga mengatur
secara lebih terinci, sebagaimana diatur dalam Buku VI, Titel 5 tentang Kontrak
Pada Umumnya (Contracts in General; Overeenkornsten in Het Algemeen), Bagian
2 tentang Pembentukan Kontrak (Formation of Contracts; Het tot Stand Komen
Van Overeenkomst). Dalam ketentuan Pasal 6:217 NBW menyatakan, bahwa:
(1)
A contract is formed by an offer
and its acceptance;
(2)
Artlicles 21 9-225 apply unless the
offer, another juridical act or usage produce a different result.
Pasal ini menekankan pentingnya kesepakatan sebagai
dasar awal pembentukan kontrak. Kesepakatan dimaksud dibentuk oleh dua unsur
yang fundamental, penawaran (offer, aanbod) dan penerimaan (acceptance;
aanvaarding) Hal yang sama dipersyaratkan dalam BW (vide Pasal 1320 syarat
1) namun NBW lebih terperinci mengatur kapan terbentuknya suatu kontrak
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 6:219-225 NBW.
UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) dalam sistematika Bab
II tentang Pembentukan (Formation) juga mengatur pembentukan kontrak
berdasarkan penawaran dan penerimaan. Pasal 2.1 tentang Cara Pembentukan (Manner
of Formation), menyatakan bahwa, “Suatu kontrak dapat diadakan baik
dengan penerimaan suatu penawaran atau dengan tindakan dan para pihak yang
cukup untuk menunjukkan adanya suatu kesepakatan.” Selanjutnya mengenal
keabsahan kontrak yang dihubungkan dengan kesepakatan Pasal 3.2 menyatakan
bahwa, “Suatu kontrak telah diadakan, diubah atau diakhiri semata.. mata
oleh kesepakatan dan para pihak tanpa persyaratan lain apa pun lebih lanjut.”
Selanjutnya, terkait dengan substansi mengenai kapan
terjadinya kontrak yang didasarkan pada proses penawaran dan penerimaan diatur
dalam Pasal 6:2 1 7 serta 6:219-225 NBW Muatan materi pasal-pasal NBW tersebut
ternyata pada umumnya secara substansial sesuai dengan prinsip-prinsip UPICC
maupun RUU Kontrak (ELIPS) diatur dalam Pasal 2.3-2.11.
Sebagaimana diketahui, kesepakatan ini dibentuk oleh
dua unsur yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Dasar keterikatan kontraktual
berasal dan pernyataan kehendak, yang dibedakan dalam dua unsur yaitu kehendak
dan pernyataan. Dalam situasi normal antara kehendak dan pernyataan saling
bersesuaian, namun tidak menutup kemungkinan terjadi bahwa antara kehendak dan
pernyataan terdapat ketidaksesuaian. Untuk menganalisis adanya dasar
keterikatan kontraktual berlandaskan pada kehendak atau pernyataan, dapat
dikaji dan perkembangan tiga teori, yaitu:
a.
Teori kehendak (wilsleer;
wilstheorie) menyatakan bahwa keterikatan kontraktual baru ada hanya jika
dan sejauh pernyataan berlandaskan pada putusan kehendak yang sungguh-sungguh
sesuai dengan itu. Keberatan terhadap teori ini karena dalam lalu lintas hukum
sangat sulit untuk mengetahui apakah pernyataan yang dibuat seseorang itu
sesuai dengan kehendaknya. Sehingga selalu menimbulkan pertanyaan apakah ada
kepastian hukum mengenai lahirnya keterikatan kontraktual.
b.
Teori pernyataan (verklaringsleer,
verklaringstheorie), nyatakan bahwa seseorang itu terikat dengan
pernyataannya. Kelemahan dan teori ini apabila terdapat pernyataan yang
ternyata tidak sesuai dengan kehendak.
c.
Teori kepercayaan (vertrouwensleer;
vertrouwenstheorie), adalah teori baru sebagai ajaran yang diikuti (hersendeleer),
merupakan teori jalan tengah yang menjembatani kelemahan dan kekurangan dua
teori sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa pernyataan yang menjadi landasan
keterikatan kontraktual adalah pernyataan yang selayaknya menimbulkan
kepercayaan bahwa hal itu sesuai dengan putusan kehendak.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Nieuwenhuis
mengemukakan bahwa NBW mengambil jalan tengah (kompromi), dengan memilih ajaran
“de dubbele grondsiag” (asas ganda) Hal ini didasari pertimbangan
historis bahwa masalah penetapan dua persyaratan, yaitu kehendak dan pernyataan
telah menjadi perdebatan masa lalu. Pada masa itu telah salah merumuskan
problematikanya, karena persoalannya bukan antara kehendak dan pernyataan
tetapi antara kehendak yang dinyatakan secara terbuka di samping kepercayaan
yang di- timbulkan (het opgewekte vertrouwen). Ajaran “de dubbele
grondsiag” (asas ganda) sebagaimana diatur dalam ketentuan berikut:
a.
Pasal 3:33 menyatakan bahwa:
“Suatu
perbuatan hukum mensyarakat suatu akibat hukum yang menjadi tujuan kehendak,
yang diungkapkan melalui suatu pernyataan.”
Penempatan
pasal ini pada urutan terlebih dahulu didasarkan pada pertimbangan bahwa suatu
perbuatan hukum di mana kehendak dan pernyataan itu sama adalah hal yang biasa
(wajar terjadi dalam lalu lintas hukum di masyarakat) yaitu berkaitan dengan
kehendak yang di- nyatakan secara terbuka.
b.
Pasal 3:35 yang menyatakan bahwa:
“Seseorang
yang mengartikan suatu pernyataan atau kelakuan seorang lain dengan maksud yang
dalam keadaan-keadaan ini wajar dapat
diberikan kepadanya sebagai
pernyataan dengan kecenderungan tertentu yang diarahkan kepadanya oleh orang
itu, tidak dapat dipersalahkan dengan tidak adanya kehendak yang sesuai dengan
pernyataan itu.”
Sedangkan
penempatan pasal ini pada urutan berikutnya didasarkan pada pertimbangan untuk
melindungi kepentingan pihak yang dalam lalu lintas hukum telah bertindak
berdasarkan itikad baik (te goeder trouw)
terjebak dalam suatu kesalahan hukum. Oleh karena itu, pasal ini
menekankan pada kepercayaan yang dibangkitkan sebagai dasar suatu perbuatan
hukum.
Niewenhuis lebih lanjut menegaskan pentingnya untuk
menyadari bahwa kedua dasar itu (kehendak yang dinyatakan secara terbuka dan
kepercayaan yang dibangkitkan) saling berhubungan dalam suatu hubungan
subsidair. Dasar yang primair adalah kehendak (dalam hal kehendak sesuai satu
sama lain, hal yang normal) dan hanya dalam hal ada “perbedaan” antara kehendak
dan pernyataan, maka dasar kepercayaan yang dibangkitkan yang akan membantu
menyelesaikan perbedaan tersebut. Hal ini sebagaimana yang telah diterapkan oleh Hoge Raad dalam putusan
tanggal 15 April 1983, NJ 1983, 458; Hajjout v. Ijmah dan putusan tanggal 17
Desember 1977 NJ 1977 241; Bunde v. Erckens.
Syarat kesepakatan (toestemming) yang
merupakan pencerminan asas konsensualisme, dimana dengan adanya kata sepakat
telah lahir kontrak, ternyata dalam lalu lintas hukum yang demikian kompleks
juga menimbulkan problem pelik mengenai pertanyaan “kapan kontrak itu lahir?” Penentuan saat lahirnya
kontrak menjadi kendala, terutama apabila penawaran dan penerimaan dilakukan
melalui korespondensi atau surat menyurat. Hal ini mempunyai implikasi penting
dalam hal:
a.
penentuan risiko;
b.
kesempatan penarikan kembali penawaran;
c.
saat mulai dihitungnya jangka waktu
kedaluwarsa; dan
d.
menentukan tempat terjadinya kontrak.
Untuk menjawab problematika tersebut di atas
terdapat empat teori yang mencoba memberikan solusi penyelesaiannya, yaitu:
a.
Teori Pernyataan (Uitingstheorie), menyatakan
bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas suatu penawaran ditulis
(dinyatakan) oleh pihak yang ditawari. Kelemahan teori ini adalah tidak dapat
ditentukannya secara pasti kapan kontrak itu lahir.
b.
Teori Pengiriman (Verzendingstheorie),
menyatakan bahwa kontrak telah lahir pada saat penerimaan atas penawaran
itu dikirimkan oleh pihak yang ditawari kepada pihak yang menawarkan. Kelemahan
teori ini adalah pihak yang menawarkan tidak tahu bahwa ia telah terikat dengan
penawarannya sendiri.
c.
Teori Mengetahui (Vernemingstheorie),
menyatakan bahwa kontrak lahir pada saat surat jawaban (penerimaan) itu
diterima oleh pihak yang menawarkan. Kelemahan teori ini adalah jika surat
penerimaan itu meskipun telah. sampai di tempatnya ternyata tidak segera
dibaca.
d.
Teori Penerimaan (Ontvangstheorie),
menyatakan bahwa kontrak itu lahir pada saat surat penerimaan telah sampai di
tempat pihak yang menawarkan, tidak peduli apakah ia mengetahui atau membaca
penerimaan tersebut atau tidak. H.R. mengikuti teori ini, terbukti dengan
putusan H.R. 21 Desember 1933, NJ 1934, 368; Bosch v. Maren, dengan pertimbangan:
Bahwa
tidak cukup bila pada pulang-pergi terdapat kehendak yang sesuai (cocok) untuk
saling mengikatkan diri dan juga tidak cukup bila mereka menyatakan kehendak
itu secara lisan atau tulisan, melainkan perlu (nodig) bahwa pernyataan
kehendak itu saling mencapai pihak lain (de tegenpartij heft bereikt).
NBW memberikan jawaban mengenai pertanyaan kapan
suatu penawaran akan melahirkan perjanjian (kontrak), mengambil pendirian yang
dikaitkan pada dua hal, yaitu: (i) berapa lama penawaran dapat ditarik kembali,
dan (ii) pada saat mana suatu kontrak itu terjadi. Niewenhuis memberikan uraian terhadap kedua hal
tersebut, sebagai berikut:
a.
Mengenai berapa lama penawaran dapat
ditarik kembali, menurut:
-
Pasal 3:37 (5) NBW, penarikan kembali
harus sebelumnya atau bersamaan dengan penerimaan pernyataan;
-
Pasal 6:219 (2) NBW terkait dengan
penawaran terbuka, maka penawaran tersebut dapat ditarik kembali setelah
penerimaan pihak lainnya, dengan syarat penarikan itu dilakukan dengan segera;
dan
-
Pasal 6:219 (1) NBW, jika terkait dengan
penawaran yang tidak dapat ditarik kembali, maka dalam jangka waktu tidak dapat
ditarik kembali, penawaran term sebut tetap berlaku walaupun penawaran tersebut
belum diterima.
b.
Mengenal pada saat mana suatu kontrak
itu terjadi, menurut Pasal 3:37 (3) NBW adalah pada saat sampainya surat
akseptasi ke alamat pihak yang menawarkan.
Dengan demikian, penyelesaian yang diberikan oleh
NBW sama dengan doktrin maupun pendirian -pengadilan dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang terkait dengan penentuan kapan terjadinya kontrak selama
ini.
Kontrak yang lahir dan kesepakatan (karena
bertemunya penawaran dan penerimaan) pada kondisi normal adalah bersesuaian
antara kehendak dan pernyataan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa
kesepakatan dibentuk oleh adanya unsur cacat kehendak (wllsgebreke). Kontrak
yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh adanya unsur cacat kehendak
tersebut mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dalam BW terdapat tiga hal yang
dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya cacat kehendak yaitu:
a.
Kesesatan atau
dwaling (vide Pasal 1322 BW)
Terdapat
kesesatan apabila terkait dengan ‘hakikat benda atau orang’ dan pihak lawan harus mengetahui atau setidak-tidaknya mengetahui bahwa sifat atau
keadaan yang menimbulkan kesesatan bagi pihak lain sangat menentukan (terkait syarat dapat dikenali atau
diketahui; kenbaarheidsvareiste).
Dengan demikian, mengenai kesesatan terhadap hakikat benda yang dikaitkan dengan keadaan akan datang.
karena kesalahan sendiri atau
karena perjanjian atau menurut pendapat umum menjadi risiko sendiri,
tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak.
b.
Paksaan atau dwang (vide Pasal 1323-1327 BW)
Paksaan
timbul apabila seseorang tergerak untuk
menutup kontrak memberikan kesepakatan) di bawah ancaman yang bersifat
melanggar hukum. Ancaman bersifat melanggar hukum ini meliputi dua
hal, yaitu:
i. Ancaman
itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar
hukum (pembunuhan. penganiayaan).
ii. Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar
hukum, tetapi ancaman itu dimaksudkan untuk mencapai sesuatu
yang tidak dapat menjadi hak
pelakunya.
c.
Penipuan atau bedrog (vide Pasal 1328 BW)
Penipuan merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan
bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat
dan keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja
menyesatkan dari pihak lawan. Untuk berhasilnya dalil penipuan disyaratkan gambaran
yang keliru itu ditimbulkan oleh rangkaian tipu daya (kunstgrepen). Oleh
karena itu, sekadar melebih-lebih produk, misal “Kecap ABC Paling Lezat”,
“Yamaha Nomor 1 di Dunia”, dalam perspektif hukum belum dapat dikualifikasikan
sebagai penipuan. Penekanannya terletak pada rangkaian tipu muslihat yang
menggeraki orang lain untuk bersepakat, dan sebaliknya tidak akan bersepakat
atau mengajukan penawaran lain seandainya tahu adanya penipuan tersebut.
a.
Hukum adalah penguasa negara,
aturan-aturan hukum didefinisikan.
b.
Hukum untuk membela Rakyat protelar.
PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN)
Dalam khazanah ilmu hukum, menurut van Dunne dan van
der Burght, cacat kehendak sebagaimana terdapat dalam pasal 1321-1328 BW
disebut cacat kehendak klasik, karena selalu berhubungan dengan cacat dalam
pembentukan kehendak yang didasarkan pada pernyataan kehendak. Dalam
perkembangannya, di Belanda telah memasukkan satu unsur baru cacat kehendak
yaitu misbruik van omstandigheden sebagai alasan pembatalan kontrak.
NBW mensyaratkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan
hukum (rechtshandeling), maka terlebih dahulu ada kehendak yang tertuju pada suatu akibat hukum tertentu sebagaimana
terwujud dalam suatu pernyataan (vide
Pasal 3:33 NBW). Demikian halnya dengan
kontrak sebagai perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum, eksistensinya ditentukan oleh
antara kehendak dan pernyataan (sehingga lahir kesepakatan). Namun demikian, adakalanya muncul ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan yang disebabkan oleh adanya cacat kehendak. Dalam hal ini, NBW menetapkan empat hal terkait dengan cacat kehendak (wils gebreke) sebagai atasan pembatalan kontrak, sebagaimana yang diatur dalam dua Pasal di Buku III dan Buku VI, yaitu Pasal 3:44 (1) dan Pasal 6:228 NBW. Keempat alasan pembatalan kontrak tersebut, adalah:
antara kehendak dan pernyataan (sehingga lahir kesepakatan). Namun demikian, adakalanya muncul ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan yang disebabkan oleh adanya cacat kehendak. Dalam hal ini, NBW menetapkan empat hal terkait dengan cacat kehendak (wils gebreke) sebagai atasan pembatalan kontrak, sebagaimana yang diatur dalam dua Pasal di Buku III dan Buku VI, yaitu Pasal 3:44 (1) dan Pasal 6:228 NBW. Keempat alasan pembatalan kontrak tersebut, adalah:
a.
Sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 3:44 (1) NBW, bahwa perbuatan hukum dapat dibatalkan. apabila terjadi adanya (i) ancaman (bedreiging), (ii) penipuan (bedrog),
dan (iii) penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandigheden).
b.
Sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 6:228 NBW. dinyatakan bahwa suatu kontrak yang lahir
karena adanya pengaruh kesesatan (dwaling),
dan apabila dia mendapat gambaran sebenarnya, kontrak itu
tidak akan dibuat, maka kontrak
itu dapat dibatalkan.
Dengan demikian. alasan
pembatalan kontrak menurut NBW, meliputi:
a.
Kesesatan (dwaling);
b.
Ancaman (bedreiging);
c.
Penipuan (bedrog); dan
d.
Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omsiandigheden).
Tiga alasan pembatalan yang pertama (dwaling,
bedreiging dan bedrog) pada prinsipnya sama dengan yang terdapat
dalam BW (vide Pasal 1321-1328), hanya berbeda pada istilah ‘paksaan’ atau dwang
yang digunakan dalam BW (dalam bahasa aslinya menggunakan istilah ‘geweld’
yang berarti. kekerasan), sementara NBW menggunakan istilah ‘ancaman’ (bedreiging). Sedang
alasan keempat (misbruik van omstandigheden) merupakan perkembangan baru
dalam pengaturan NBW.
Meijers salah satu tokoh yang terlibat aktif dalam
penyusunan NBW menyatakan bahwa ketika merumuskan pasal tersebut ia mendapat inspirasi
dan doktrin ‘undue influence’ dalam hukum Inggris. Jauh sebelum kasus
BOVAG II yang menjadi tonggak diterimanya penyalahgunaan keadaan sebagai alasan
pembatalan kontrak oleh pengadilan, Meijers memandang konstruksi sebab sebagai
‘penyelesaian darurat’ dan menganggap ‘penyalahgunaan keadaan’ pada hakikatnya
sebagal cacat kehendak yang keempat.
Dimasukkannya penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandigheden) sebagai alasan pembatalan kontrak dalam NBW, tentunya
tidak dapat dilepaskan dan praktek pengadilan dalam menangani perkara yang
terkait dengan syarat sahnya kontrak (vide Pasal 1320). Hal ini terutama
terkait dengan keadaan yang bertentangan dengan kebiasaan (i.c. penyalahgunaan
keadaan) sehingga memengaruhi penutupan kontrak. Apakah hal demikian merupakan
cacat kehendak atau terkait dengan kausa yang tidak diperbolehkan (ongeoorfdorzaak).
Sebelum diatur dalam NBW, telah berkembang dua
pendapat yang menyangkut penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden), yaitu:
Pertama menyatakan
bahwa penyalahgunaan keadaan merupakan “kausa atau sebab yang tidak
diperbolehkan” (ongeroorloofde oorzaak).
Pendapat pertama berangkat dan pemikiran bahwa
apabila di dalam suatu kontrak seseorang karena tekanan keadaan secara tidak
adil memikul beban yang sangat merugikan, maka kontrak itu dapat dinyatakan
sebagai kontrak yang memiliki kausa tidak halal atau tidak diperbolehkan. Hal
ini merujuk putusan Hoge Raad tanggal 11 Januari 1957, NJ 1959, 57 BOVAG II
(Mozes v Uijting & Smits). Pada awalnya pengadilan memasukkan
penyalahgunaan keadaan ini ke dalam kausa yang tidak diperbolehkan sebagaimana
putusan di atas, namun pendirian ini banyak ditentang oleh para ahli hukum
seperti Meijers, Pitlo, van Dunne, van den Burght, Lebens dan Cohen.
Kedua, menyatakan
bahwa penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu bentuk cacat kehendak (wilgebreke).
Pendapat kedua, berangkat dari pemikiran bahwa
penyalahgunaan tidaklah semata-mata berhubungan dengan isi kontrak, tetapi
berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya kontrak, yaitu
penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan kehendak menjadi cacat.
Dengan kata lain penyalahgunaan keadaan merupakan faktor yang membatasi atau
mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua
pihak. Hal ini merujuk putusan Hoge Raad tanggal 26 Februari 1960, NJ 1965, 373
- BOVAG III (Mozes v. Uijting & Smits). Apabila dikaitkan dengan asas
kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme maka penyalahgunaan keadaan ini
dianggap bertentangan dan karenanya akan mengganggu eksistensi kontrak yang
bersangkutan.
Terkait dengan adanya penyalahgunaan keadaan ini,
Nieuwenhuis mengemukakan empat syarat-syarat, sebagai berikut:
a.
keadaan-keadaan khusus (bijzondere
omstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa
kurang waras, dan tidak berpengalaman;
b.
suatu hal yang nyata (kenbaarheid),
salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena
keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu kontrak;
c.
penyalahgunaan (misbruik), salah
satu pihak tetap menutup kontrak itu meskipun dia mengetahui atau seharusnya
mengetahui bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;
d.
hubungan
kausal (causaal verband) artinya tanpa adanya
penyalahgunaan keadaan itu maka kontrak itu tidak akan ditutup dengan syarat
yang sama.
Di Indonesia, meskipun ajaran penyalahgunaan keadaan
(misbruik van omstandigheden) belum masuk dalam sumber hukum positif,
namun praktek yurisprudensi (secara implisit) telah menerimanya sebagaimana
dalam putusan Mahkamah Agung RI No. I 904 K/Sip/1982 (Luhur Sundoro/Ny. Oei
Kwie Lian c.s.) dan No. 3431 K/Sip/1985 (Sri Setyaningsih/Ny. Boesono c.s.).
Putusan tersebut pada prinsipnya menyatakan bahwa pernyataan kehendak yang
diberikan sehingga melahirkan kontrak, apabila dipengaruhi ‘penyalahgunaan
keadaan’ oleh pihak lain merupakan unsur cacat kehendak dalam pembentukan
kontrak.
Menurut Z. Asikin Kusumah Atmadja, penyalahgunaan
keadaan dianggap sebagai faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak
yang bebas untuk menentu kesepakatan antara para pihak. Hal ini dimungkinkan,
karena adanya ketidakseimbangan dan ketidakserasian kedudukan para pihak adalah
tidak tepat menggolongkan penyalahgunaan keadaan sebagai kausa tidak halal (ongeoorloofde
oorzaak) karena kausa tidak halal memiliki ciri yang sangat berbeda dan
karenanya tidak ada kaitannya dengan kehendak yang cacat. Apabila berkenaan
dengan kausa tidak diperbolehkan meskipun pihak yang dirugikan tidak
mendalilkannya sebagai alasan untuk menyatakan batalnya perjanjian, hakim ex officio wajib mempertimbangkannya.
Sedangkan terkait dengan cacat kehendak, pernyataan batal atau batalnya kontrak
hanya akan diperiksa oleh hakim jika didalilkan oleh yang bersangkutan. Oleh
karenanya menurut Cohen, menggolongkan penyalahgunaan kehendak lebih sesuai
dengan kebutuhan konstruksi hukum dalam hal seseorang yang dirugikan menuntut
pembatalan kontrak.
UPICC dan RUU kontrak (ELIPS) mengenai adanya cacat
kehendak yang menjadi alasan pembatalan kontrak juga telah mengatur dalam
ketentuan Bab III tentang Keabsahan (Validity), meliputi:
a.
Kekhilafan (Mistake), sebagaimana diatur dalam pasal 3.4-pasal 3.7;
b.
Penipuan (Fraud), sebagaimana diatur dalam Pasal 3.8;
c.
Ancaman (Threat) sebagaimana
diatur dalam Pasal 3.9;
d.
Perbedaan yang mencolok (Groos disparity), sebagaimana diatur
dalam Pasal 3.10.
Dengan memerhatikan alasan-alasan pembatalan yang
diatur dalam UPICC maupun RUU Kontrak (ELIPS), tiga alasan pertama (mistake,
fraud, threat) pada prinsipnya sama dengan BW maupun NBW. Sedangkan untuk
alasan keempat, yaitu perbedaan yang mencolok (gross disparity), apabila dibandingkan dengan Pasal 3:44 (1)
NBW mengenai misbruik van omstandigheden, tampaknya lebih
diperinci faktor-faktor sehingga lebih mudah dicermati hubungan kausalnya. Hal
ini dapat dilihat dan ketentuan Pasal 3. menyatakan, bahwa:
(1) Salah
satu pihak dapat membatalkan kontrak atau suatu persyaratan kontrak tersebut
apabila pada saat kontrak tersebut diadakan, kontrak atau persyaratan tersebut
secara tidak dapat dibenarkan telah menyebabkan pihak lainnya memperoleh suatu
keuntungan yang berkelebihan. Pertimbangan harus diberikan, antara lain kepada
faktor-faktor, yaitu:
(a)
Kenyataan bahwa pihak lainnya
tersebut telah cara tidak jujur mengambil keuntungan dan ketergantungan pihak
pertama, tekanan ekonomi, atau kebutuhan mendesak atau dan ketidaktahuannya,
kelalaiannya, ketidakpengalamannya, atau tidak adanya keterampilan
tawar-menawar; dan
(b)
Sifat dan tujuan kontrak tersebut.
(2) …,
maka pengadilan dapat menyesuaikan kontrak atau persyaratannya untuk
membuatnya sesuai dengan standar
perdagangan yang wajar dari transaksi yang jujur.
Dan rumusan pasal tersebut, terdapat perbedaan yang
mencolok (gross disparity) apabila
pada saat kontrak tersebut diadakan, kontrak atau persyaratannya ternyata
secara tidak dapat dibenarkan telah menyebabkan pihak lainnya memperoleh suatu
keuntungan yang berkelebihan (unjustifiable advantage). Dengan kata lain,
salah satu pihak telah secara tidak jujur mengambil keuntungan, karena:
a.
ketergantungan terhadap pihak lain;
b.
tekanan ekonomi;
c.
kebutuhan mendesak;
d.
ketidaktahuannya, kelalaiannya,
ketidakpengalamannya;
e.
tidak adanya keterampilan tawar-menawar;
f.
dan sifat dan tujuan kontrak tersebut.
Sementara itu, Akta Kontrak 1950 memasukkan
pembahasan cacat kehendak ke dalam kerelaan bebas (free consent). Menurut Pasal 10 Akta Kontrak 1950, dinyatakan,
bahwa: “semua perjanjian adalah kontrak jika dibuat atas kerelaan bebas
pihak-pihak yang layak membuat kontrak.” Pengaturan pasal ini menempatkan
kerelaan bebas sejajar dengan elemen kerelaan bebas akan berpengaruh terhadap
kontrak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Akta Kontrak 1950, yang
menyatakan bahwa: “Kerelaan adalah
dikatakan bebas bila tidak disebabkan
oleh paksaan, pengaruh tidak berpatutan, frod, salahnyataan, dan khilaf.”
Dengan demikian menurut Akta Kontrak 1950, cacat
kehendak yang memengaruhi kebebasan para pihak untuk memberikan kata sepakat (free
Consent), dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:
a.
paksaan (duress), sebagaimana di
atur dalam Pasal 15 jo. 73 Akta Kontrak 1950;
b.
pengaruh tidak berpatutan (undue
influence), sebagaimana di atur dalam Pasal 1.6 jo. 20 Akta Kontrak 1950;
c.
frod/tipuan
(fraud), sebagaimana diatur dalam Pasal 17 jo. 19 Akta Kontrak 1950;
d.
salahnyataan (misrepresentation), sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 Akta Kontrak 1950; dan
e.
khilaf (mistake), sebagaimana
diatur dalam Pasal 14 (e) jis. 21, 22 dan 23 Akta Kontrak 1950.
Apabila dibandingkan dengan BW, NBW, UPICC maupun
RUU kontrak (ELIPS), maka cacat kehendak dalam Akta Kontrak 1950 dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Mengenai substansi paksaan (duress) baik
Akta kontrak 1950, BW, NBW, UPICC maupun RUU kontrak (ELIPS) mempunyai kesamaan
yaitu adanya ‘ancaman yang bersifat melanggar hukum‘, sehingga
menggerakkan pihak lain untuk bersepakat karena terpaksa;
b.
Mengenai pengaruh tidak berpatutan (Undue
influence), BW belum mengatur, NBW mengelompokkannya ke dalam misbruik
van omstandigheden, UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS) mengelompokkannya ke
dalam gross disparity (perbedaan yang mencolok), dengan substansi dasar
yang hampir sama adanya ‘perbedaan kedudukan, posisi, kesempatan yang
memengaruhi penentuan kehendak para pihak (kesepakatan)’;
c.
Mengenal frod/tipuan (fraud), Pasal 17 mengkualifikasi 5 perbuatan
yang termasuk frod, apabila seseorang:
i. menyatakan
suatu fakta benar, sementara Ia tahu bahwa itu tidak benar;
ii. menyembunyikan
suatu fakta yang seharusnya diberitahukan kepada pihak lain;
iii. berjanji
tetapi tidak ada fiat untuk memenuhi janjinya;
iv. melakukan
perbuatan yang memperdaya dengan tujuan menipu;
v. melakukan
perbuatan yang oleh undang-undang di nyatakan sebagai penipuan.
Pasal tersebut dalam beberapa hal
mengandung substansi dasar yang sama dengan BW, NBW, UPICC dan RUU Kontrak
(ELIPS), yaitu adanya ‘rangkaian tipu daya yang menggerakkan pihak lain
untuk bersepakat menutup kontrak’.
d.
Mengenai salahnyataan (misrepresentation),
menurut Pasal 18 terdapat salahnyataan, apabila:
i. informasi
yang disampaikan salah satu pihak dianggap benar, tetapi ternyata tidak benar
dan merugikan pihak lain;
ii. salah
satu pihak tanpa fiat menipu, namun apa yang dilakukan merupakan pelanggaran
kewajiban dan menguntungkan dirinya, sebaliknya merupakan pihak lain;
iii. salah
satu pihak tanpa fiat menipu, melakukan kekhilafan mengenai benda yang menjadi
objek kontrak secara tidak sesuai dengan keadaan sebelumnya.
Dalam
BW, NBW, UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS), hal tersebut tercakup dalam substansi
kesesatan atau kekhilafan.
e.
Mengenai khilaf atau kesesatan (mistake),
dalam BW kesesatan harus mengenai ‘hakikat benda dan orangnya” (vide pasal 1322), NBW
terdapat kesesatan apabila pihak lawan ‘keliru dalam memberikan penjelasan,
tidak memberi penjelasan, atau kesesatan kedua pihak.’ (vide Pasal 6:228), UPICC dan RUU Kontrak
(ELIPS), yaitu adanya ‘kekeliruan asumsi berkenaan dengan
fakta atau hukum yang ada ketika kontrak tersebut diadakan’ (vide Pasal
3.4).
Dengan demikian, pada kontrak komersial yang lahir
karena bertemunya dua unsur pokok, yaitu penawaran dan penerimaan, pada umumnya
diasumsikan berlangsung secara fair.
Dalam hal terdapat ketidaksesuaian antara pernyataan kehendak para pihak yang
diakibatkan oleh adanya cacat kehendak, maka kontrak tersebut dapat diajukan
pembatalan oleh pihak yang dirugikan. Kekhawatiran mengenal pertukaran hak dan
kewajiban yang tidak berlangsung secara fair, pada dasarnya dapat di
atas melalui pengujian terhadap doktrin cacat kehendak dalam pembentukan
kontrak.
2.5.
KECAKAPAN
Kecakapan (bekwaamheid - capacity) yang
dimaksud dalam Pasal 1320 BW syarat 2 adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diartikan sebagai kemungkinan
untuk melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat diri sendiri tanpa
dapat diganggugugat. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya
diukur dan standar, berikut ini:
a.
Person (pribadi).
diukur dan standar usia kedewasaan (meerderjarig); dan
b.
Rechispersoon (badan
hukum), diukur dan aspek kewenangan (avegheid).
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi
person pada umumnya diukur dan standar usia dewasa atau cukup umur (bekwaamheid
- meerderjarig). Namun demikian, masih terdapat polemik mengenai
kecakapan melakukan perbuatan hukum yang tampaknya mewarnai praktek lalu lintas
hukum di masyarakat. Pada satu sisi sebagian masyarakat masih menggunakan
standar usia 21 tahun sebagai titik tolak kedewasaan seseorang dengan landasan
Pasal 1330 BW Jo. 330 BW. Sementara pada sisi
lain mengacu pada standar usia 18 tahun, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 47 Jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Telaah kritis terkait standar usia dewasa dapat
dilakukan melalui pengujian asas-asas hukum maupun interpretasi komprehensif
terhadap muatan materi beberapa ketentuan terkait. Asas hukum lex specialis,
lex posteriori digunakan untuk menyelesaikan konflik norma, sedang
interpretasi komprehensif untuk memahami muatan materi serta maksud pembuat
undang-undang. Melalui pengujian tersebut diharapkan muncul satu pemahaman utuh
dan konsisten, khususnya bagi pihak-pihak yang sementara ini masih menganut
paradigma lama.
Menurut Pasal 1329 BW, “Setiap orang adalah cakap
membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan
tidak cakap.” Dalam Pasal
1330 BW dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat
perjanjian-perjanjian adalah:
a.
orang-orang belum dewasa;
b.
mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c.
orang-orang perempuan, dalam hal-hal
yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (substansi
ini dihapus dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 dan pasal 31 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Pasal
330 BW menyatakan, bahwa:
Belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
tidak kawin sebelumnya.
Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.
Mereka
yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
perwalian atas dasar dan dengan cara seperti yang diatur dalam Bagian 3, 4, 5,
dan 6 dalam bab ini.
Beranjak dan penafsiran a-contrario terhadap
substansi Pasal 1330 jo. 330 BW tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa usia
dewasa adalah Pandangan yang menggunakan usia 21 tahun dianggap dewasa
dilandasi pemikiran:
a.
Ketentuan S. 1935 nomor 54, menyatakan
bahwa, …dalam hal suatu ketentuan undang-undang menggunakan istilah “belum
dewasa/minderjarigen”, maka bagi orang-orang pribumi harus diartikan:
mereka yang belum genap berusia 21
tahun dan tidak telah kawin sebelumnya…;
b.
Undang-Undang No. 1/1974, menimbulkan
keragu-raguan mengenai batas usia dewasa, karena dalam Pasal 47 dan Pasal 50
dinyatakan, bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai
umur 18 tahun. Ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan merupakan ketentuan
pokok yang masih membutuhkan peraturan pelaksanaan. PP 9/1975 sebagai peraturan
pelaksanaannya ternyata belum mengatur lebih lanjut tentang kekuasaan orang tua
dan perwalian;
c.
Ketentuan Undang-Undang No. 1/1974
maupun ketentuan MA masih menimbulkan keragu-raguan, dengan argumentasi bahwa
undang-undang ini hanya menyangkut tentang perkawinan, bukan perbuatan hukum
pada umumnya, sebagaimana yang diatur dalam BW.
Sebaliknya pandangan yang berkembang pada saat ini
telah banyak menggunakan usia 18 tahun sebagai dasar untuk menetapkan standar
usia dewasa. Pandangan tersebut beranjak dari penafsiran a-contrario terhadap
rumusan Pasal 47 jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 47 UU Perkawinan menegaskan bahwa:
(1)
Anak yang belum mencapai umur
delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dan kekuasaannya.
(2)
Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Sementara itu Pasal 50 Perkawinan
menegaskan bahwa:
·
Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
·
Perwalian itu mengenal pribadi anak yang
bersangkutan maupun harta bendanya.
Pengertian “mewakili kepentingan anak” pada kedua
pasal tersebut bukan pada keputusan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana
yang dimaksudkan oleh mereka yang menentang usia 18 tahun sebagai tolok ukur
kedewasaan, namun jelas ditujukan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya
karena si anak dianggap belum cakap melakukan perbuatan hukum (onbekwaam).
Lebih lanjut Pasal 66 UU Perkawinan menegaskan
bahwa:
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan
berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S.
1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken
S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Mencermati Pasal 66 tersebut di atas, dengan
menerapkan asas hukum “lex posteriori derogat legi priori”, maka seharusnya nalar penetapan usia
dewasa yang mendasarkan ketentuan Pasal 330 jo. 1330 BW menjadi absurd dan
melanggar asas hukum dimaksud. Artinya sejak diundang dan berlakunya secara
efektif UU Perkawinan, maka ketentuan BW, khususnya mengenai kedewasaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 330 jo. 1330 BW. tidak lagi dijadikan sumber
hukum rujukan. Dengan demikian, usia dewasa yang berlaku secara umum terkait
dengan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum adalah 18 tahun. Hal ini juga
dipertegas oleh Mahkamah Agung RI melalui Petunjuk MA No. MA/Pemb/0807/75 dan
Putusan MA No. 477K/Sip/1976, tanggal 13-10-1976.
Beberapa undang-undang yang menegaskan standar usia
18 tahun merupakan standar usia dewasa yang berkolerasi dengan kecakapan
melakukan perbuatan hukum, antara lain:
a.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (vide
Pasal 5 jo. 61),
b.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Peraturan Jabatan Notaris (vide Pasal 39 jo. 30),
c.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (vide Pasal 5 jis. 6, 9, 21, 22,
41).
Bahkan perkembangan di Belanda yang menjadi sumber
rujukan standar kedewasaan untuk mengukur kecakapan seseorang sebagaimana
diatur dalam Pasal 338 jo. 1366 BW Ned. (sama dengan 330 Jo. 1330 BW), melalui
ketentuan Pasal 2:33 NBW telah meninggalkan standar usia 21 tahun. Dengan
menggunakan interpretasi a-contrario
terhadap substansi Pasal 2:33 NBW dapat disimpulkan telah menggunakan acuan
usia 18 tahun sebagai standar usia dewasa (kecakapan melakukan perbuatan
hukum).
NBW melalui Pasal 3:32 menentukan akibat hukum bagi
perbuatan hukum oleh pihak yang dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum (handelingsonbekwaamheid)
secara umum, artinya dalam hal demikian, maka pihak yang tidak cakap (minderjarig
atau curandus) tersebut akan dilindungi. Dalam Pasal 3:32 lid 2 NBW
dinyatakan bahwa, suatu per buatan hukum dan orang yang tidak mampu dapat
dibatalkan (vernietigbaar), dan suatu perbuatan hukum secara sepihak (eenzijdig)
oleh seorang yang tidak cakap ditujukan kepada satu orang atau lebih
tertentu adalah batal demi hukum (nietig).
Menurut Nieuwenhuis, sehubungan dengan asas
kepercayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3:35 NBW, terdapat kesamaan
perlindungan hukum bagi seseorang yang tidak cakap (onbekwaam Pasal 3:32
NBW) dan bagi seseorang yang mengalami gangguan jiwa (Pasal 3 :34 NBW). Demi
kepastian lalu lintas hukum, jika terjadi suatu kesamaan dan ketentuan Pasal
3:34 NBW (gangguan kejiwaan) dan Pasal 3:35 NBW (kepercayaan sesuai hukum), NBW
mendahulukan ketentuan terakhir (Pasal 3:35 NBW).
Dengan mencermati argumentasi di atas, sudah
waktunya bagi mereka yang bersikukuh bahwa usia 21 tahun sebagai standar usia
dewasa untuk mengakui dan menggunakan standar usia 18 tahun sebagai standar
usia dewasa (kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum). Pergeseran standar
usia dewasa dan 21 tahun ke-18 tahun sudah lazim di negara yang menganut sistem
hukum civil law.
Patut dipahami bahwa pengaturan standar usia dewasa
hubungan dengan kecakapan untuk melakukan didasari pertimbangan perlindungan
hukum bagi pihak yang tidak cakap. Oleh karena itu, akibat kebatalan (dapat
dibatalkannya) suatu kontrak karena adanya ketidakcakapan salah satu pihak,
maka bobot keseimbangan bergeser ke arah pihak yang tidak cakap.
PEMBATALAN KONTRAK
Dalam khazanah hukum kontrak, yang dimaksud dengan
pembatalan kontrak pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu
hubungan kontraktual itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan kontrak,
maka eksistensi kontrak dengan sendiri menjadi hapus. Akibat hukum kebatalan
yang menghapus eksistensi kontrak selalu dianggap berlaku surut sejak dibuatnya
kontrak.
Pemahaman mengenai pembatalan kontrak seharusnya
dihubungkan dengan tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak, yaitu:
(i)
Tidak dipenuhinya unsur subjektif,
apabila kontrak tersebut lahir karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau
karena ketidakcakapan (onbekwaamheid) - (Pasal 1320 BW syarat 1 dan 2),
sehingga berakibat kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).
(ii)
Tidak dipenuhinya unsur objektif,
apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat objek tertentu atau tidak
mempunyai kausa atau kausanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 BW angka 3 dan 4
jis. 1335, 1337, 1339 BW), sehingga berakibat kontrak tersebut batal demi hukum
(nietig).
Dengan demikian, makna pembatalan lebih mengarah
pada proses pembentukan kontrak (penutupan kontrak). Akibat hukum pada
pembatalan kontrak adalah ‘pengembalian pada posisi semula, sebagaimana
halnya sebelum penutupan kontrak.’ Misal: dalam kontrak jual beli yang dibatalkan, maka
barang dan harga harus dikembalikan kepada masing-masing pihak, dan apabila
pengembalian barang tidak lagi dimungkinkan dapat diganti dengan objek yang
sejenis atau senilai.
Konsekuensi lanjutan dan efek atau daya kerja
pembatalan, apabila setelah pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan
kewajibannya (mengembalikan apa yang telah diperolehnya), maka pihak yang lain
dapat mengajukan gugat revindikasi (vide Pasal 574 BW) untuk pengembalian
barang miliknya, atau gugat perorangan atas dasar pembayaran yang tidak
terutang (vide Pasal 1359 BW - onverschuldig betaling).
Untuk itu perlu dibedakan pemahaman antara hapusnya
kontrak karena pembatalan dengan hapusnya perikatan sebagaimana dimaksud Pasal
1381 BW (misalnya: hapusnya perikatan karena pembayaran atau sebagai akibat
pemenuhan perikatan). Pada pembedaan di sini, hapusnya kontrak karena
pembatalan jelas menghapus eksistensi kontrak, sedangkan hapusnya perikatan
karena pembayaran atau pemenuhan prestasi hanya menghapus perikatannya sendiri
namun eksistensi kontraknya tidak hapus.
Dalam praktek, sering dijumpai adanya klausul yang
mengatur kebatalan sebagian substansi kontrak yang lazim dituangkan dalam
klausul “kebatalan sebagian” atau “severability clause”. Klausul ini pada umumnya
menegaskan apabila satu atau beberapa ketentuan dinyatakan batal, maka terhadap
klausul yang dinyatakan batal dianggap tidak pernah ada. Namun sepanjang tidak
terkait dengan substansi klausul yang dibatalkan serta masih memungkinkan untuk
dilaksanakan, maka sisa kontrak
yang ada dinyatakan masih berlaku.
Dalam sistematika BW pengaturan tentang ‘kebatalan
sebagian’ atau “severability clause” tidak diatur. Namun demikian, NBW
telah memberikan peluang untuk menerima konsepsi tentang ‘kebatalan sebagian’
atau “severability clause” melalui Pasal 6:265 NBW Menurut pasal
tersebut dalam hal terjadi kegagalan pelaksanaan kontrak, kreditor dapat
mengajukan gugatan pemutusan kontrak, baik seluruh maupun sebagian. Demikian
halnya dengan UPICC dan RUU Kontrak (ELIPS), pada Pasal 3.16 mengatur
‘kebatalan sebagian’ (partial avoidance) yang daya kerjanya terbatas hanya
menjangkau persyaratan yang dibatasi tersebut, dengan memerhatikan kewajaran.
Sementara itu, dengan muatan substansi yang sama Akta Kontrak 1950 mengatur
‘kebatalan sebagian’ pada Pasal 65. Dengan demikian prinsip ‘pembatalan
sebagian’ diterima, apabila alasan pembatalan hanya memengaruhi persyaratan itu
sendiri sehingga akibat dan pembatalan tersebut akan dibatasi hanya menjangkau
persyaratan tersebut, kecuali dengan mempertimbangkan keadaan pada saat itu
bahwa adalah tidak wajar untuk mempertahankan kontrak tersebut untuk sebagian
lainnya.
Mengacu pada praktek, maupun substansi NBW, UPICC,
RUU Kontrak (ELIPS) serta Akta Kontrak 1950, kiranya pencantuman klausul
‘kebatalan sebagian’ selama diterapkan dengan memerhatikan kewajaran tampaknya
perlu diakomodasikan dan diterima keberlakuannya. Hal ini sesuai dengan esensi
tujuan kontrak untuk menjamin kelangsungan hubungan para pihak yang membutuhkan
fleksibilitas pemenuhan prestasi, serta penyesuaian terhadap kondisi-kondisi
yang memengaruhi pelaksanaan kontrak.
PEMUTUSAN KONTRAK
Perbedaan penting terhadap pemahaman antara
pembatalan kontrak dengan pemutusan kontrak, adalah terletak pada fase hubungan
kontraktualnya. Pada pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak
dipenuhinya syarat pembentukannya (fase pembentukan kontrak), sedang pemutusan
kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak yang bersangkutan serta
mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya
bermasalah sehingga mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan
kontrak).
Pemutusan kontrak merupakan akibat hukum lanjutan
dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban
kontraktual. Peristiwa tersebut pada umumnya dikaitkan dengan pelanggaran
kewajiban kontraktual salah satu pihak yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan
kontrak i.c. wanprestasi, sehingga
mengakibatkan kontrak tersebut utus. Pemutusan kontrak sebagal akibat adanya
pelanggaran kewajiban kontraktual merupakan salah satu upaya bagi kreditor
untuk menegakkan hak kontraktualnya. Hal ini dapat dicermati dalam ketentuan
Pasal 1267 BE, bahwa dalam hal terjadi wanprestasi oleh debitur maka kreditor
dapat menuntut antara lain pemutusan kontrak ditambah dengan ganti rugi.
Perlu diperhatikan bahwa dalam hubungannya dengan
pemutusan kontrak yang disebabkan pelanggaran kewajiban kontraktual (i.c. wanprestasi),
harus berlandaskan pada alasan yang wajar (rasional) dan patut. Sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 6:265 NBW, bahwa pemutusan kontrak harus didasarkan pada
adanya pelanggaran yang bersifat fundamental (fundamental breach) memengaruhi
keseluruhan atau sebagian kontrak. Untuk itu pelanggaran yang tidak begitu
penting atau menurut sifatnya dapat diterima (special nature or minor
importance), tidak
lantas membuka peluang bagi kreditor untuk memutuskan kontrak. Misal:
keterlambatan pemasangan instalasi listrik di salah satu ruang yang pada
dasarnya dapat segera diselesaikan dalam waktu singkat, dijadikan alasan oleh
kreditor menuntut pemutusan kontrak. Hal ini jelas tidak fair dan tidak
proporsional, sehingga melalui pengujian berdasarkan asas proporsionalitas maka
gugatan tersebut seyogianya ditolak atau tidak diterima.
Penerapan asas proporsionalitas dalam menilai ada
atau tidaknya pelanggaran yang bersifat fundamental (fundamental breach) dapat
diujikan pada kasus kepailitan antara PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia
(AJMI) melawan PT Dharmala Sakti Sejahtera (PT DSS), sebagaimana diputus oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Putusan No.
10/PAILIT/2002/PN.NIAGA.JKT.PST, yang pada prinsipnya menyatakan pailit
terhadap PT AJMI. Terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung
RI dan muncul putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Putusan Mahkamah Agung RI No. 021 K/N/2002, tanggal 5 Juli 2002, yang pada
prinsipnya menolak permohonan pailit yang diajukan PT DSS. Pokok sengketa kasus
ini menurut dalil PT DSS
1999 berikut bunganya yang menjadi hak PT DSS, sehingga PT AJMI dianggap wanprestasi. Namun sebenarnya tidak dibayarkannya dividen tersebut adalah berdasarkan putusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). sehingga dalil PT DSS untuk memailitkan PT AMJI ditolak berdasarkan pertimbangan di atas. Dan kacamata asas proporsionalitas, terdapat hal yang tidak proporsional sebagai dasar pengajuan kepailitan dimaksud, yaitu tidak dibayarkannya dividen sebesar Rp 33 miliar oleh PT AJMI bukanlah suatu kondisi yang dapat diartikan sebagai kegagalan pelaksanaan kontrak yang bersifat fundamental. Hal ini berdasarkan pertimbangan aset PT AJMI bernilai triliunan, sehingga secara wajar akan dapat memenuhi kewajibannya yang nilainya hanya sekian persen dan total asetnya. Dalam perspektif kasus ini, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat jauh dan bentuk pertukaran beban kewajiban yang fair. Logika formal memberikan justifikasi bahwa: “Tanggung gugat seyogianya sebanding dengan beban kesalahannya “.
1999 berikut bunganya yang menjadi hak PT DSS, sehingga PT AJMI dianggap wanprestasi. Namun sebenarnya tidak dibayarkannya dividen tersebut adalah berdasarkan putusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). sehingga dalil PT DSS untuk memailitkan PT AMJI ditolak berdasarkan pertimbangan di atas. Dan kacamata asas proporsionalitas, terdapat hal yang tidak proporsional sebagai dasar pengajuan kepailitan dimaksud, yaitu tidak dibayarkannya dividen sebesar Rp 33 miliar oleh PT AJMI bukanlah suatu kondisi yang dapat diartikan sebagai kegagalan pelaksanaan kontrak yang bersifat fundamental. Hal ini berdasarkan pertimbangan aset PT AJMI bernilai triliunan, sehingga secara wajar akan dapat memenuhi kewajibannya yang nilainya hanya sekian persen dan total asetnya. Dalam perspektif kasus ini, putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat jauh dan bentuk pertukaran beban kewajiban yang fair. Logika formal memberikan justifikasi bahwa: “Tanggung gugat seyogianya sebanding dengan beban kesalahannya “.
Selanjutnya, sehubungan dengan pembedaan pemahaman
antara pembatalan kontrak dengan pemutusan kontrak, maka perlu diajukan
analisis kritis terkait dengan penggunaan kedua istilah tersebut, khususnya
terkait pengesampingan ‘syarat batal’ Pasal 1266 BW yang sering dimasukkan
dalam salah satu klausul kontrak. Dalam hal ini diajukan dua pertanyaan
mendasar, yaitu:
(i)
Apakah penggunaan istilah ‘syarat batal’
dalam redaksi terjemahan Pasal 1266 BW sudah tepat?; dan
(ii)
Apakah pengesampingan terhadap Pasal
1266 BW dimungkinkan?
Penggunaan istilah ‘syarat batal’ dalam Pasal 1266
BW sebagai terjemahan istilah ‘ontbindende voorwaarde’ menurut saya tidak tepat. Pasal 1265 dan 1266 BW menggunakan
istilah ‘ontbindende voorwaarde’ yang artinya adalah ‘syarat putus’.
Sedang substansi Pasal 1267 BW yang menyatakan: ..., of derzelver ontbinding te vorderen, …, adalah tidak tepat apabila
diterjemahkan …, atau menuntut pembatalan perjanjian… istilah yang tepat
dan konsisten adalah ..., atau menuntut pemutusan perjanjian…. Selain itu, apabila dilihat dari
sistematikanya Pasal 1266 BW terletak Bagian V tentang Perikatan-perikatan
Bersyarat (Pasal 1253-1267 BW). Istilah ‘batal’ dalam Bagian V justru lebih
tepat untuk menerjemahkan kata ‘nietig’ (vide Pasal 1254 dan 1256 BW).
Istilah ‘ontbindende voorwaarde’ lebih tepat diterjemahkan ‘syarat
putus’, dengan argumentasi:
a.
Apabila konsisten dengan makna ‘verbintenis’
atau perikatan, berarti dengan dipenuhinya syarat-syarat sahnya kontrak
maka akan melahirkan perikatan yang mempunyai daya mengikat (binden-binding)
bagi para pihak;
b.
‘Ontbinding’ (berasal
dan kata “binden” – mengikat)
berarti ‘tidak mengikat’ atau lebih tepat diartikan “putus – pemutusan”,
artinya memutuskan daya mengikatnya kontrak yang telah disepakati para pihak.
Putusnya ikatan ini terkait dengan pelanggaran pelaksanaan kewajiban
kontraktual yang telah disepakati. Bukankah apabila perikatan tersebut telah
diputus, berarti kehilangan daya mengikatnya;
c.
Istilah ‘pembatalan’ lebih relevan
digunakan dalam hubungannya dengan batal demi hukum (nietig van rechtswege) dan
dapat dibatalkan (vernietigbaar) yang terkait dengan proses lahirnya
kontrak (fase pembentukan kontrak), yaitu dalam hal tidak dipenuhinya
syarat-syarat sahnya kontrak;
d.
Istilah ‘pemutusan’ lebih tepat
digunakan apabila terkait dengan pelaksanaan kontrak yang karena sesuatu hal
harus diputuskan daya mengikatnya (fase pelaksanaan kontrak);
e.
Pengadilan telah beberapa kali
memutuskan perkara dengan substansi pengesampingan Pasal 1266 BW (antara lain
Putusan Hoge Raad tanggal 7 Februari 1902 W. 7720, Hoetink, No. 70);
f.
Oleh karena itu, istilah ‘syarat batal’
dalam terjemahan Pasal 1266 BW, seyogianya dibaca ‘syarat putus’.
Mengenai pengesampingan Pasal 1266 BW, berikut ini
ada dua pendapat yang saling bertolak belakang, yaitu: pertama, pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 BW merupakan
aturan yang bersifat memaksa (dwigend
recht) sehingga tidak dapat
disimpangi oleh para pihak, dan kedua, pendapat yang menyatakan bahwa
Pasal 1266 BW merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht) sehingga dapat disimpangi oleh para pihak.
a.
Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal
1266 BW merupakan aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht).
Pandangan
ini beranjak dari rumusan Pasal 1266 BW yang menyatakan, bahwa:
Syarat
batal dianggap selalu dicantumkan dalam kontrak-kontrak yang bertimbal balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam
hal yang demikian kontrak tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan
ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban di dalam kontrak.
Jika
syarat batal tidak dinyatakan dalam kontrak, Hakim adalah leluasa untuk,
menurut keadaan, atas permintaan Si tergugat, memberikan suatu jangka waktu
untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih
dari satu bulan.
Rumusan
Pasal 1266 BW tersebut menentukan 3 syarat untuk berhasilnya pemutusan kontrak,
yaitu:
·
Harus ada persetujuan timbal balik.
·
Harus ada wanprestasi, untuk itu pada
umumnya sebelum kreditor menuntut pemutusan kontrak, debitur harus dinyatakan
lalai (pernyataan lalai, in mora stelling, ingebrekestelling).
·
Putusan hakim.
Dengan
menekankan pada rumusan … pemutusan harus dimintakan kepada Pengadilan..., kata
‘harus’ pada ketentuan Pasal 1266 BW ditafsirkan sebagai aturan yang bersifat
memaksa (dwingend recht) dan karenanya tidak boleh disimpangi para pihak
melalui (klausul) kontrak mereka.
Putusan
hakim dalam hal ini bersifat konstitutif, artinya putusnya kontrak itu
diakibatkan oleh putusan hakim, bukan bersifat deklaratif (kontrak putus karena
adanya wanprestasi, sedang putusan hakim sekadar menyatakan saja bahwa kontrak
telah putus). Pendapat yang menyatakan bahwa putusan hakim adalah konstitutif
berdasarkan:
i.
Alasan historis (sejarah), bahwa menurut
Pasal 1266 BW, putusnya kontrak terjadi karena putusan hakim;
ii.
Pasal 1266 Ayat 2 BW, menyatakah dengan
tegas bahwa wanprestasi tidak demi hukum membatalkan kontrak.
iii.
Hakim berwenang untuk memberikan terme
de grace (tenggang waktu bagi debitur untuk memenuhi prestasi kepada
kreditor), dan ini berarti bahwa kontrak belum putus.
iv.
Kreditor masih mungkin untuk menuntut
pemenuhan.
b.
Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal
1266 BW merupakan aturan yang bersifat melengkapi (aanvullend recht).
Pendapat
ini didasarkan pada argumentasi, sebagai berikut:
i.
Pasal 1266 BW, terletak pada sistematika
Buku III dengan karakteristiknya yang bersifat mengatur/melengkapi;
ii.
Para pihak dapat menentukan bahwa untuk
pemutusan kontrak tidak diperlukan bantuan hakim, dengan syarat hal tersebut
harus dinyatakan secara positif dalam kontrak;
iii.
Praktek penyusunan kontrak komersial
pada umumnya mencantumkan klausul pengesampingan Pasal 1266 BW (faktor
heteronom), sehingga hal ini dianggap sebagai ‘syarat yang biasa diperjanjikan’
(bestandig geberuikelijk beding) dan merupakan faktor otonom yang
disepakati para pihak. Dengan demikian, kedudukan klausul ini dianggap
mempunyai daya kerja yang mengikat para pihak, lebih kuat dibanding daya kerja
Pasal 1266 BW yang bersifat mengatur.
Berdasarkan dua pendapat yang berkembang mengenai
klausul pengesampingan Pasal 1266 BW, apabila dikaitkan dengan kepentingan para
pelaku bisnis tampaknya pendapat kedua lebih mendekati nilai kepraktisannya
(Pasal 1266 BW disimpulkan bersifat mengatur). Harus diakui bahwa para pelaku
bisnis lebih memilih alternatif terbaik bagi kontrak mereka, termasuk ketika
harus menghadapi kendala dalam pelaksanaan kontrak. Klausul pengesampingan
Pasal 1266 BW dianggap jalan singkat yang sesuai dengan tuntutan efisien dan
kepastian hukum pelaku bisnis.
Dan kacamata asas proporsionalitas, klausul
pengesampingan Pasal 1266 BW ini seyogianya dapat diterima sebagai bagian dan
kehendak serta komitmen para pihak dalam menetapkan beban kewajiban dalam
pelaksanaan kontrak. Oleh karena itu, penegakan terhadap pelanggaran klausul
tersebut harus diterima sebagai upaya penyelesaian sengketa yang proporsional.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan-pemaparan
dan pembahasan-pembahasan dari uraian dalam pembahasan di atas, maka kami dapat
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut bahwa terdapat banyak persamaan dari
substansi hukum yang diterapkan di antara dua negara yang pada dasarnya
menganut sistem hukum civil law di
antaranya:
a)
Penerapan
Asas itikad Baik di negara Indonesia tercantum dalam pasal 1338 (1) BW dan di
negara Belanda tercantum dalam Pasal 6:2 dan 6:248 (3) NBW.
b)
Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak di negara
Indonesia tercantum dalam pasal 1338 (2) dan di negara Belanda tercantum dalam
pasal Pasal
3:1 NBW.
c)
Penerapan aturan penentuan saat lahirnya
kontrak di Indonesia tercantum dalam pasal 1320 (1) dan di negara Belanda
tercantum dalam pasal Pasal 6:217 NBW.
d)
Penyalahgunaan keadaan di Indonesia
tercantum dalam pasal 1321-1328 BW dan di negara Belanda tercantum dalam Pasal 3:33
NBW, Pasal 3:44 (1) dan Pasal
6:228 NBW.
e)
Tentang kecakapan di negara Indonesia di
atur dalam Pasal 1320 BW syarat 2, Pasal 1329 BW , Pasal 1330 BW Jo. 330 BW dan
Pasal 47 Jo. 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan di
negara Belanda di atur dalam Pasal 338 jo. 1366 NBW, Pasal 2:33 NBW, Pasal
3:32.
Hal inilah yang menjadi analisis kami mengenai
berbagai persamaan aturan-aturan berdasarkan substansi-substansi yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Erawati,
Elly dan Herlien Budiono, Penjelasan
Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, Jakarta: Nasional Legal Reform Program,
2010.
Hernoko,
Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana, 2010.
Hijma,
Jaap dan Henk Snijders, The Netherlands
New Civil Code, Jakarta: National Legal Reform Program, 2010.
HS,
Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan
Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
Meliala,
Djaja S, Perkembangan Hukum Perdata
tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung: Nuansa Aulia, 2007.
Subekti,
R, Perbandingan Hukum Perdata,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
Suherman,
Ade Maman dan J. Satrion, Penjelasan
Hukum tentang Batasan Umur, Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010.
Sukarmi,
Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam
Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Bandung: Pustaka Sutra, 2008.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Nieuw Burgerlijk Wetboek, Dutch
Civil Code
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Peraturan Jabatan Notaris
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
SITUS
INTERNET
ditkumham.bappenas.go.id/ebook/Netherlands%20Civil%20Code%20Bilingual.pdf
(diakses pada tanggal 14 Desember 2014)
herlindahpetir.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/Perbandingan-Hukum-Perdata-PENGANTAR.pdf
(diakses pada tanggal 14 Desember 2014)
hukumonline.com/berita/baca/hol6735/90-persen-klausula-baku-rugikan-konsumen
(diakses pada tanggal 25 Desember 2014)
wetboek-online.nl
(diakses pada tanggal 14 Desember 2014)
0 komentar :
Post a Comment