Artikel: Perbandingan Hukum Belanda dengan Hukum Indonesia Terkait dengan Hukum Waris ~ a Riswan Hanafyah's Blog project

Saturday, March 21, 2015

Artikel: Perbandingan Hukum Belanda dengan Hukum Indonesia Terkait dengan Hukum Waris

LATAR BELAKANG

Dalam perkembangan dan pengembangan suatu hukum di suatu negara, diperlukan adanya suatu kajian tentang membandingkan hukum suatu negara dengan hukum di negara lain terkait dengan masalah hukum perdata. Hal ini biasanya disebut dengan perbandingan hukum perdata.
Perbandingan hukum perdata atau disebut juga dengan comparition of civil lay systems (Inggris), vergelijkend burgerlijk recht (Belanda), atau vergleichenden zivilrechts (Jerman) merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting yang diajarkan pada Fakultas Hukum di seluruh Indonesia, karena mata kuliah ini mengkaji dan menganalisis perbedaan dan persamaan sistem hukum, terutama sistem hukum perdata yang berlaku di dunia.
Perbandingan hukum perdata sebagai metode penelitian dan sebagai ilmu pengetahuan hukum yang mempunyai banyak kegunaan, manfaat serta fungsinya tidak kecil bagi berbagai bidang antara lain, berfungsi bagi pengembangan ilmu hukum di suatu negara, berfungsi bagi praktik pembinaan hukum, dan berfungsi dalam rangka perencanaan hukum.
Perbandingan hukum perdata menjadi lebih diperlukan karena dengan perbandingan hukum, kita dapat mengetahui jiwa serta pandangan hidup bangsa lain termasuk hukumnya. Saling mengetahui sistem hukum suatu negara, sengketa dan kesalah pahaman dapat dihindari sehingga tercapailah perdamaian dunia.
Perbandingan hukum perdata mempunyai peranan penting di bidang hukum secara nasional maupun internasional. Oleh karena itu, semakin perlu diketahui atau dipelajari karena mempunyai berbagai manfaat antara lain, dapat membantu dalam rangka pembentukan hukum nasional disamping mempunyai peranan penting dalam rangka hubungan antar bangsa dan sebagainya. Pendeknya perbandingan hukum perdata mempunyai peranan penting di segala bidang kajian hukum perdata.
Dalam makalah ini, akan membandingkan hukum antara sistem hukum Belanda dengan sistem hukum Indonesia terkait dengan hukum waris. Hukum waris sendiri adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.
Dalam makalah ini juga, selain membandingkan hukum, baik dari kelebihan dan kekurangan dari Belanda dengan hukum Indonesia terkait dengan hukum waris, juga bertujuan untuk menemukan hukum baru, sehingga penemuan hukum tersebut bisa lebih baik lagi dari hukum-hukum yang ada selama ini.

PENGERTIAN HUKUM WARIS

Di Indonesia dan Belanda, pengertian hukum waris tidak dijelaskan dalam KUHPer dan NBW. Namun para ahli hukum Indonesia memberikan pengertian atau definisi mengenai hukum waris. Menurut Supomo, Hukum Waris adalah  peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada turunannya. Wirjono Prodjodikoro juga memberikan definisi, yakni hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Sehinggal hukum waris dapat didefinisikan, yakni hukum yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, mengenai pemindahan kekayaan yang di tinggalkan oleh si mati. Terdapat tiga unsur di dalam warisan yaitu, adanya pewaris, harta warisan, dan adanya ahli waris. Harta warisan berupa hak dan kewajiban yang dapat di nilai dengan uang.
Di Indonesia mengenal tiga jenis hukum waris, yakni hukum waris perdata yang berdasarkan pada KUHPer, hukum waris Islam yang berdasarkan pada hukum Islam, dan hukum waris adat yang berdasarkan pada hukum adat. Namun, khusus di makalah ini, kami menggunakan hukum waris Belanda.

SUMBER HUKUM WARIS

Sumber hukum waris Belanda berdasarkan pada KUHPerdata Belanda.  terdiri dari delapan Buku. Mereka berbeda dalam usia; sebagian besar dari mereka saat ini berasal dari tahun 1992. Buku keempat adalah yang paling akhir dari KUH Perdata Belanda. Titelnya adalah Hukum waris dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2003. Pada tanggal tersebut hukum waris baru menggantikan Buku 4 yang sudah sangat tua yang berasal dari tahun 1838. Undang-undang yang baru mencabut hukum yang lama, hukum waris yang sudah sangat tua di gantikan dengan aturan yang baru  dan peraturan tetang waris di atur dalam buku 4 dalam Netherland Burgerlijk Wetboek (NBW).
1)      Titel 1, Ketentuan Umum, terdiri dari delapan Pasal yang pengaruhnya dapat dirasakan di seluruh bidang hukum waris. Secara khusus, Pasal yang krusial 4:7 NBW memainkan peran dalam banyak situasi yang melibatkan hukum waris. Pasal ini berisi ringkasan utang dari suatu harta peninggalan dan juga ketentuan tentang urutan prioritas dari utang-utang tersebut.
2)      Titel 2, hak mewarisi tanpa wasiat, menunjukkan siapa yang mewarisi dari seseorang yang telah meninggal tanpa membuat surat wasiat.
3)      Titel 3, hak mewarisi dari pasangan yang secara hukum tidak dipisahkan dan dari anak-anak, dan hak-hak statutoris lainnya. Bagian pertama Titel ini mencakup “pembagian berdasarkan hukum” (Pasal 4:13 NBW). Hak diskresioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:19-4:22 NBW mungkin memainkan peran dalam pembagian berdasarkan hukum. Bagian kedua dari Titel 3 “hakhak statutoris lainnya”, yang menyediakan jaring pengaman bagi individu-individu tertentu menurut hukum waris; dalam banyak kasus jaring pengaman ini hanya beroperasi ketika individu yang bersangkutan perlu disediakan hal tersebut. Ketentuan-ketentuan tentang “hak-hak statutoris lainnya” semuanya bersifat wajib.
4)      Titel 4, Wasiat, terutama berisi aturan tentang formalitas yang terkait dengan wasiat. Titel ini memberikan informasi mengenai interpretasi, bentuk dan pencabutan surat wasiat, dan juga tentang siapa yang bisa membuat surat wasiat dan siapa yang bisa mendapatkan keuntungan dari wasiat tersebut. Titel 4 juga mencakup ketentuan-ketentuan yang lengkap mengenai forced share (yang dimaksud dengan forced share adalah bagian dari harta peninggalan seorang yang sudah mati (almarhum) yang mana terhadapnya pasangan yang masih hidup memiliki hak untuk Bab-bab hukum Belanda mengklaimnya berdasarkan hukum yang berlaku; di kebanyakan negara, forced share sering juga disebut statutory share, dan karena itu di sini terjemahan singkat yang ditawarkan untuk kata itu “bagian warisan yang statutoris”, penrj.] atau legitime(s) [lazim juga disebut legal right(s) share, bagian warisan berdasarkan hak-hak legal; legitime secara harfiah sama dengan forced share tetapi lebih memberi penekanan pada pewarisan harta kepada anak-anak).
5)      Titel 5, Berbagai jenis surat wasiat, berisi deskripsi dari berbagai macam pengaturan yang dapat dibuat oleh pembuat wasiat (pewaris) dalam surat wasiat: pengangkatan ahli waris, warisan, kewajiban, penunjukan eksekutor, dan pengaturan.
6)      Titel 6, Konsekuensi dari hak mewarisi yang turun-temurun, berisi ketentuan mengenai pelimpahan harta peninggalan, sertifikat pewarisan dan tiga pilihan yang dimiliki ahli waris (penerimaan tanpa syarat, penerimaan yang tunduk pada persediaan, atau penolakan).
Akhirnya, Titel ini mencakup prosedur untuk penanganan harta peninggalan dan untuk pembagian. Sedangkan, sumber hukum waris di Indonesia, terdapat pada Buku II KUHPer tentang Kebendaan. Pasal yang mengatur tentang waris sebanyak 300 pasal, yang dimulai dari pasal 830 KUHPer sampai dengan pasal 1130 KUHPer. Dalam KUHPer tersebut mengatur tentang hal-hal yakni pewarisan karena kematian, surat wasiat, pelaksana wasiat dan pengurusan harta peninggalan, hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan, menerima dan menolak suatu warisan, pemisahan harta peninggalan, dan harta peninggalan yang tak terurus. Di samping itu waris juga diatur di dalam Inpres No 1 Tahun 1991.

UNSUR-UNSUR DALAM HUKUM WARIS

Jika di bandingkan mengenai unsur-unsur dalam hukum waris, terdapat persamaan dalam hal mengenai unsur- unsur dalam hukum waris baik itu negara Belanda (NBW) maupun Indonesia (KUHPerdata). Dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 hal yang perlu mendapat perhatian, di mana ketiga hal ini merupakan unsur-unsur pewarisan:
a)      Orang yang meninggal dunia/Pewaria/Erflate
Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut pasal 830 KUHPer, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan pasal 874 KUHPer, segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang- undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Sama halnya di negara Belanda di dalam pereaturan NBW pasal 4-80 (2) berdasarkan hukum yang berlaku para ahli ahli waris berhak atas harta waris dan memegang tanggung jawab atas utang-utang dari pewaris dengan istilah hukum yang dikenal dengan “le mort saisit le vif”, atau “orang mati mencengkram orang hidup”. Dengan demikian, menurut pengaturan NBW ada dua macam waris:
Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat). Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau testamentair erfrecht.
b)      Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu/Erfgenaam
Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Lalu, bagaiman dengan bayi yang ada dalam kandungan? Menurut pasal 2 KUHPer, anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana keperluan si anak menghendaki. Sama halnya dalam aturan NBW dalam pasal 1:2 NBW bahwa bayi yang masih dalam rahim di anggap telah lahir bila mana ada kepentingan yang menghendakinya  Jadi, dengan demikian seorang anak yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi karena dalam pasal ini hukum membuat fiksi seakan-akan anak sudah dilahirkan.
c)      Harta Waris
Hal-hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang dapat diwarisi hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa, Aktiva (sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak ketiga, selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti, hak cipta); Passiva (sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban lainnya). Dengan demikian, hak dan kewajiban yang timbul dari hukum keluarga tidak dapat diwariskan.

SUBJEK HUKUM WARIS

Penjelasan mengenai subjek hukum terhadap kedua negara dalam perbandingannya antara Belanda dan Indonesia terkait sistem hukum waris dalam beberapa subtansi hukunya terdapat persamaan dalam pengaturannya. Berbicara  tentang  hukum  waris,  maka  akan  terpikir  oleh  manusia,  siapa-  siapa saja yang dapat menjadi subyek dari hukum waris tersebut. Adapun subyek  hukum waris tersebut, yaitu sebagai berikut: 
1)      Pewaris,  setiap  orang  yang  meninggal  dunia  dengan  meninggalkan  harta  kekayaan  atau  harta  warisan  yang  akan  berpindah  pada  orang  lain.  Seperti  yang dijelaskan dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu  pewarisan tersebut timbul apabila ada kematian.  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata,  yang  menerima  harta  peninggalan. 
2)      Ahli  waris, adalah orang-orang  yang tertentu, secara limitative  diatur dalam  Ahli waris yang telah diatur tersebut, antara lain , Ahli waris yang mewaris berdasarkan kedudukannya seperti atau mewaris  secara  langsung,  misalnya  jika  ayah  meninggal  dunia,  maka  sekalian  anak-anaknya tampil sebagai ahli waris. Hal ini sama halnya dalam pasal 4:80 NBW yang disebut pasal universal dalam sistem hukum waris di negara Belanda bahwa harta yang di tinggalkan oleh pewaris akan ikut kepada ahli warisnya dan pembagiannya mengikuti aturan-aturan yang berlaku.
1.                     Pergantian waris
Dalam pasal-pasal sebelumnya telah dijelaskan bahwa masalah pewarisan anak, saudara, saudari, kakek-nenek atau kakek-nenek buyut dapat mewarisi dengan perwakilan.  (lihat Pasal 4:10 (2) NBW, yang menjelaskan keturunan yang dapat mewarisi dengan perwakilan.). Pasal 4:12 (1) NBW menetapkan dalam kasus mana keturunan dapat mewarisi dengan perwakilan, yaitu dalam kasus kematian yang lebih dahulu, kehilangan hak untuk mewarisi, pencabutan hak waris, penolakan dan pembatalan pewarisan. Contoh. Almarhum A memiliki enam anak, B, C, D, E, F dan G. B melepaskan haknya atas warisan dari A. B memiliki dua anak, H dan Bab-bab hukum Belanda I. C telah meninggal mendahului A. C memiliki tiga anak, J, K dan L. D telah kehilangan haknya untuk mewarisi dari A lihat Pasal 4:3 NBW. D memiliki satu anak, M. Siapa ahli waris dari A, dan apa sajakah bagian yang mereka berhak mendapatkannya? Solusi: E 1/6, M 1/6, G 1/6, H 1/12, I 1/12, J 1/18, K 1/18, L 1/18 dan M 1/6. Hanya E, F dan G yang mewarisi atas nama mereka sendiri, para ahli waris lain mewarisi dengan perwakilan. Di bawah hukum waris yang berlaku sampai 1 Januari 2003, perwakilan itu hanya mungkin dilakukan dalam hal kematian telah terjadi lebih dahulu. Undang-undang yang baru memungkinkan perwakilan untuk diterapkan dalam jauh lebih banyak situasi.
Menurut Pasal 4:63 (2) NBW, ahli waris khusus berdasarkan hukum adalah keturunan dari almarhum yang berhak berdasarkan ketentuan hukum atas suatu bagian dalam harta peninggalan almarhum, baik atas nama mereka sendiri ataupun dengan perwakilan dari individu yang tidak lagi ada pada saat pelimpahan warisan [misalnya seorang anak yang mewakili ayahnya yang sudah lebih dahulu meninggal mendahului kakeknya, anak ini disebut sebagai forced heir yang berhak atas forced share atau legitime, penrj.] atau yang telah kehilangan haknya untuk mewarisi. Secara kasar: anak-anak adalah ahli waris khusus berdasarkan hukum; jika seorang anak telah mendahului orang-tuanya atau telah kehilangan haknya untuk mewarisi, maka anaknya (atau cucu dari orangtuanya itu) adalah ahli waris khusus berdasarkan hukum. Pasangan yang masih hidup tidak pernah merupakan ahli waris khusus berdasarkan hukum.    
Menurut ketentuan pasal 841 KUHPdt penggantian adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk menggantikan seorang Ahli Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya. Penggantian ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt manyatakan dalam garis lurus ke atas tidak terdapat penggatian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPdt pembagian dilakukan pancang demi pancang .Dalam hal mewaris menurut KUHPerdata dibedakan:
a.       Mewaris langsung
Mewaris langsung ialah orang itu mewaris dalam kedudukan sebagai ahli waris langsung karena diri sendiri (uit eigen hoofde).
b.      Mewaris tidak langsung/mewaris karena penggantian (bijplaatsvervulling)
ialah mewaris yang sebenarnya warisan itu bukan untuk dia tetapi untuk orang yang sudah meninggal terlebih dahulu daripada si pewaris. Ia menggantikan ahli waris yang telah meninggal lebih dulu dari si yang meninggal.
Mewaris dengan cara mengganti disebut dalam bahasa Belanda menjadi ahli waris “bij plaatsvervulliang”. Pasal 841 (pergantian tempat waris): “pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti”. Ada 3 macam penggantian tempat dalam hukum waris, yaitu:
1.      Pasal  842: “penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tiada akhirnya. Dalam segala hal, pergantian seperti itu selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal lebih dulu, maupun sekalian keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya”. Pasal 843: “tiada pergantian terhadap keluarga sedarah dalam garis menyimpang ke atas. Keluarga yang terdekat dalam garis, mengenyampingkan segala keluarga dalam perderajatan lam yang lebih jauh”.
2.      Pasal 844: “dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan itu setelah meninggalnya semua saudara si meninggal lebih dahulu harus dibagi antara sekalian keturunan mereka, yang mana satu sama lain bertalian keluarga dalam perderajatan yang tak sama”.
3.      Pasal 845: “ pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juaga bagi pewarisan bagi para keponakan, ialah dalam hal bilamana disamping keponakan yang bertalian keluarga sedarah terdekat dengan si meninggal, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki atau perempuan darinya saudara-saudara mana telah meninggal lebih dahulu”.
2.                     Hilangnya pewarisan
Dalam sistem hukum belanda yang di atur dalam Title 4 (buku 4) dan Artikel 3 (pasal 3) menjelaskan mengenai syarat atau ketentun-ketentuan mengenai siapa objek hukum yang tidak berhak untuk menerima warisan karena sebab tertentu. Hal ini telah di atur dalam ketentuan pasal 4:3 NBW, yaitu:
Artikel 3
1)      Van rechtswege zijn onwaardig om uit een nalatenschap voordeel te trekken:
a.        hij die onherroepelijk veroordeeld is ter zake dat hij de overledene heeft omgebracht, heeft getracht hem om te brengen, dat feit heeft voorbereid of daaraan heeft deelgenomen;
b.        hij die onherroepelijk veroordeeld is wegens een opzettelijk tegen de erflater gepleegd misdrijf waarop naar de Nederlandse wettelijke omschrijving een vrijheidsstraf is gesteld met een maximum van ten minste vier jaren, dan wel wegens poging tot, voorbereiding van, of deelneming aan een dergelijk misdrijf;
c.        hij van wie bij onherroepelijke rechterlijke uitspraak is vastgesteld dat hij tegen de erflater lasterlijk een beschuldiging van een misdrijf heeft ingebracht, waarop naar de Nederlandse wettelijke omschrijving een vrijheidsstraf met een maximum van ten minste vier jaren is gesteld;
d.       hij die de overledene door een feitelijkheid of door bedreiging met een feitelijkheid heeft gedwongen of belet een uiterste wilsbeschikking te maken;
e.        hij die de uiterste wil van de overledene heeft verduisterd, vernietigd of vervalst.
TERJEMAHAN BEBAS:
Pasal 3
1)      Secara hukum tidak diperbolehkan untuk mendapatkan warisan karena sebab:
a.        Terbukti bersalah telah membunuh pewaris berdasarkan fakta-fakta di dalam maupun dililuar pengadilan.
b.        Adanya tindakan yang dilakukan dalam percobaan mencelakaan bahkan melukai pewaris.
c.        Terbukti telah menfitnah atau mencemarkan nama baik  pewaris kerena suatu sebab tertentu yang menguntungkan dirinya ;
d.       Adanya paksaan atau ancaman untuk mengubah surat wasiat yang telah di buat oleh pewaris
e.        Dengan sengaja memalsukan surat wasiat.
Sama halnya aturan yang di terapkan di indonesia mengenai subjek waris yang tidak dapat menerim wasisan di atur karena sebeb tertentu sesuai ketentuan pasal 838 kuhperdata menyebutkan juga siapa-siapa saja yang dianggap tidak berhak menjadi ahli waris dan menerima pewarisan, yaitu:
a.       Seseorang ahli waris yang diputus oleh pengadilan secara final dan putusan tersebut telah memiliki kekuatan mengikat yang sah bersalah hendak membunuh (percobaan) atau telah membunuh pewaris;
b.      Seseorang ahli waris yang diputus oleh pengadilan secara final dan putusan tersebut telah memiliki kekuatan mengikat yang sah;
c.       bersalah mencemari nama baik pewaris dan dihukum penjara lima tahun atau lebih;
d.      seseorang yang menyerang atau melakukan kekerasan terhadap pewaris dalam rangka memaksanya membuat atau mengubah surat wasiat;
e.       seseorang yang memalsukan, merusak/menghancurkan surat wasiat dari pewaris.   

OBJEK HUKUM WARIS

Pada  dasarnya  obyek  hukum  waris,  adalah  harta  kekayaan  yang  pindah  tangan dari pewaris kepada ahli warisnya.
Adapun harta kekayaan yang ditinggalkan tersebut berupa:
1.      Yang bersifat  aktiva,  yaitu sejumlah benda  yang nyata  ada dan  atau  berupa  tagihan/piutang  kepada  pihak  ketiga.  Selain  itu  benda  yang  bersifat  aktiva  dapat pula berupa hak immaterial, contohnya hak cipta.
2.      Yang bersifat pasiva, yaitu sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga, maupun kewajiban lainnya, contohnya menyimpan benda pada orang lain.
Dengan demikian, bahwa obyek hukum waris, adalah harta kekayaan, baik  berwujud maupun abstrak. Oleh karena itu, berarti bahwa hak-hak dan kewajiban-  kewajiban  pewaris  yang  lahir  dari  hubungan  keluarga  tidak  dapat  diwariskan,  kecuali hak suami atau ayah untuk menyangkal anaknya.

PERHITUNGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN

1.                     Aturan-aturan utama dari hak mewarisi secara turun temurun
Daftar orang-orang yang mendapat bagian (atas nama mereka sendiri) dimasukkan dalam Pasal 4:10 (1) NBW. Pasal ini menetapkan empat parentela [dari bahasa Italia yang berarti: kelompok kekerabatan] ahli waris.
1.      Parentela pertama: pasangan almarhum (asalkan dia tidak secara Bab-bab hukum Belanda hukum terpisah) dan anak-anaknya;
2.      Parentela kedua: orang tua dan saudara almarhum;
3.      Parentela ketiga: kakek-nenek almarhum;
4.      Parentela keempat: kakek-nenek buyut almarhum.
Cara kerja sistem parentelic [pengelompokan kerabat] adalah bahwa parentela sebelumnya menyisihkan parentela yang berikutnya. Hal ini diperjelas oleh kata “secara berturut-turut” dalam Pasal 4:10 (1) NBW. Jika seorang ahli waris ditemukan dalam parentela pertama, maka pencarian tidak dilakukan di parentela kedua, ketiga dan keempat. Jika tidak ada ahli waris yang ditemukan dalam parentela pertama, tetapi ahli waris ditemukan di parentela kedua, maka tidak perlu ada pemberitahuan untuk individu-individu dalam parentela ketiga dan keempat, begitu seterusnya.
Contoh. A, seorang duda tanpa anak, meninggal dunia, meninggalkan kerabat berikut: saudara B, saudari C, kakek D dan nenek E. Siapakah di antara mereka yang punya hak mewarisi? Menurut hukum waris tanpa wasiat, ahli waris harta peninggalan dari A adalah B dan C (parentela kedua); mereka masing-masing berhak setengah dari warisan. Seorang kakek dan nenek berada di parentela ketiga dan karena itu kehilangan hak mewarisi.
Ada perbedaan sangat penting antara mewarisi atas nama sendiri dan mewarisi dengan perwakilan. Para ahli waris yang tercantum dalam Pasal 4:10 (1) NBW mewarisi atas nama mereka sendiri. Ahli waris lainnya tidak dapat mewarisi atas nama mereka sendiri; mereka hanya dapat mewarisi dengan perwakilan (Lihat Pasal 4:10 (2) NBW). Hanya keturunan dari seorang anak, kakak, adik, kakek-nenek atau kakek-nenek buyut dari almarhum yang dapat mewarisi dengan perwakilan. Istilah “saudara” dan “saudari” juga termasuk saudara-dan-saudari-setengah [sama ayah beda ibu, atau sama ibu beda ayah]. Untuk lebih lanjut tentang perwakilan, lihat di bawah dalam Bagian 2.2.4. Perbedaan antara mewarisi atas nama sendiri dan mewarisi dengan perwakilan adalah terutama dalam cara bagaimana bagian-bagian warisan dihitung.
2.                     Penghitungan bagian-bagian dalam warisan: Aturan dasar
Menurut Pasal 4:11 (1) NBW, mereka yang merupakan ahli waris dari sebuah warisan atas nama mereka sendiri mewarisi bagian yang sama. Contoh. Ahli waris dari A adalah kelima saudaranya B, C, D, E dan F. Sebagai ahli waris atas nama mereka sendiri dalam parentela kedua, kelima saudaranya itu masing-masing mewarisi seperlima dari harta peninggalan A. Hukum Waris Menurut Pasal 4:12 (2) NBW, ahli waris dengan perwakilan mewarisi bagian dari orang yang mereka wakili secara per stirpes - per “bagian” atau cabang. Dalam hal warisan dengan perwakilan, bagian dalam harta warisan yang terhadapnya orang yang akan diwakili telah dinyatakan berhak jika dia telah dinyatakan sebagai ahli waris, didistribusikan di antara semua perwakilannya (pemberian).
Contoh. Ahli waris dari A adalah keenam cucunya yaitu D, E, F, G, H dan I. Kedua putri A, yaitu B dan C, meninggal sebelum A. Putrinya B memiliki anak D. Sedangkan putrinya C mempunyai anak yaitu E, F, G, H dan I. Siapakah ahli waris dari A dalam hal ini? Gambarlah diagram. Seandainya B dan C masih hidup, mereka masing-masing, atas nama mereka sendiri, tentu sudah mengantongi setengah dari harta warisan A. Namun, masalahnya sekarang adalah soal perwakilan. D menggantikan posisi B, sedangkan E, F, G, H dan I menggantikan posisi C. Karena itu, bagian yang didapatkan D dalam warisan tersebut adalah setengah, sedangkan E, F, G, H dan I masing-masing mewarisi sepersepuluh dari setengah dibagi lima orang).
Ada kemungkinan bahwa para ahli waris atas nama mereka sendiri maupun ahli waris dengan perwakilan sama-sama terlibat. Untuk mengetahui bagian dalam warisan dengan benar, seseorang harus menambahkan jumlah “kepala” (ahli waris yang mewarisi atas nama mereka sendiri) dengan jumlah “cabang” (ahli waris yang telah mendahului almarhum, yaitu sang pewaris). Kita akan menyebut hasil ini dengan jumlah y. “Kepala” dan “cabang” masing-masing menerima bagian yang sama (yaitu, 1/y). Dalam satu cabang setiap orang menerima bagian yang sama, kecuali kalau ada satu atau lebih subcabang dalam cabang ini.
Contoh. Setelah kematiannya, A meninggalkan putrinya C dan D. Putri ketiga dari A, yaitu B, yang meninggal sebelum A, meninggalkan putranya E dan F (jadi, E dan F adalah cucu dari A). Putra dari B, yaitu G, juga meninggal sebelum A. G meninggalkan dua anak bernama H dan I (cicit dari A). Siapakah ahli waris dari A dan berapa bagian warisan yang berhak mereka dapatkan? Gambarlah diagram! Jika B, C dan D semuanya masih hidup, mereka akan masing-masing berhak atas 1/3 dari harta warisan atas nama mereka sendiri. Namun, B telah mendahului A meninggalkan dunia ini: keturunannya akan mewakilinya. Siapa yang termasuk dalam cabang B? E dan F [keduanya cucu A sang pewaris] akan mewakili B. Hal yang sama berlaku untuk H dan I (keduanya cicit A), dengan G – yang juga seperti ibunya B meninggal lebih dahulu dari A – sebagai langkah perantara. Mereka semua mewarisi secara per stirpes.
Dari bagian sebesar 1/3 dari harta warisan yang berhak didapatkan cabang B, E dan F akan menerima masing-masing 1/3 dan H Bab-bab hukum Belanda dan I masing-masing 1/6. Kesimpulan: C menerima 1/3 atas nama sendiri, D 1/3 atas nama sendiri, E 1/9 dengan perwakilan, F 1/9 dengan perwakilan, H 1/18 dengan perwakilan dan I 1/18 dengan perwakilan. [Bagaimana menghitung jumlah yang didapatkan E, F, H, dan I itu? Sebagai salah satu putri A, B mendapatkan 1/3 sama seperti saudaranya C dan D. Tetapi karena B sudah meninggal sebelum A, maka posisinya diwakilkan oleh anaknya yaitu E dan F serta G; jadi bagian 1/3 untuk almarhumah B dibagi kepada ketiga (3) anaknya dengan perwakilan yang masing-masing mendapatkan 1/9. Tetapi karena ternyata G juga meninggal sebelum A, tetapi meninggalkan anak H dan I, maka bagian 1/9 yang seharusnya ia dapatkan seandainya ia masih hidup kini didapatkan dengan perwakilan oleh kedua anaknya itu yang masing-masing mendapat separuh dari 1/9 yaitu 1/18. Tambahan penjelasan penghitungan oleh penerjemah.] Aturan-aturan dasar berlaku untuk semua empat parentela yang telah diuraikan di atas. Namun, dua aturan khusus tambahan berlaku untuk parentela kedua.
3.                     Penghitungan bagian warisan: Parentela kedua
Parentela kedua terdiri dari orang tua dan saudara kandung almarhum. Dua aturan khusus berlaku untuk perhitungan bagian dari kelompok ini dalam warisan. Keduanya ditetapkan dalam Pasal 4:11 NBW. Pertama: bagian yang didapatkan oleh seorang saudara-setengah atau saudari-setengah adalah setengah dari yang didapatkan oleh seorang saudara-penuh (seayah dan seibu), saudari-penuh atau orang tua (Pasal 4:11(2) NBW). Dengan kata lain: ahli waris yang berbagi hanya satu orang tua [hanya seayah atau hanya seibu] dengan almarhum mendapatkan setengah dari bagian yang didapatkan para ahli waris yang berbagi kedua orang tua. [Dalam bahasa Indonesia, istilah “saudara kandung” meliputi saudara-setengah dan saudara-penuh. Karena itu, istilah full brother diterjemahkan “saudara-penuh” alih-alih “saudara kandung” agar tidak menyesatkan apa yang dimaksudkan penulis. Penjelasan dari penerjemah.]
Contoh. Ahli waris tanpa wasiat dari A adalah saudaranya B dan saudari-setengahnya C. Ini berarti bahwa B berhak atas 2/3 dan C atas 1/3 dari warisannya. Kemudian jika perlu, aturan khusus kedua harus diterapkan. Jika melalui penerapan Pasal 4:11 (1 dan 2) NBW bagian orang tua dalam warisan itu kurang dari seperempat, maka bagiannya akan dinaikkan menjadi seperempat (lihat Pasal 4:11 (3) NBW). Apa yang menjadi inti persoalannya adalah bahwa orang tua memiliki posisi sedikit lebih penting sebagai ahli Hukum Waris waris tanpa wasiat daripada saudara. Karena itu, orang tua menerima setidaknya seperempat dari warisan. Metode terbaik yang digunakan untuk menghitung bagian dari warisan dalam parentela kedua adalah sebagai berikut. Alokasikan dua porsi per kepala (per capita) atau per stirpes kepada orang tua dan saudara penuh (dua kali x). Alokasikan satu porsi per kepala atau per stirpes ke saudara-setengah (satu kali x). Ini adalah cara praktis menerapkan implikasi dari Pasal 4:11 (2) NBW.
Contoh. Ahli waris almarhum A adalah salah satu orang tua, tiga saudara penuh dan tiga saudara-setengah. Gambarlah diagram dari keluarga tersebut. Orang tua dan ketiga saudara penuh masing-masing menerima 2x, saudara-setengah masing-masing menerima 1x, sehingga total 11x adalah jumlah keseluruhan yang akan dibagikan. Melalui penerapan Pasal 4:11 (1 dan 2) NBW orang tua menerima hanya 2/11 dari warisan, yang berarti kurang dari seperempat. Berdasarkan Pasal 4:11 (3) NBW bagian orang tua dinaikkan. Para ahli waris lainnya sekarang akan menerima kurang dibandingkan dengan bagian mereka. Jika orang tua dialokasikan seperempat, maka yang tersisa adalah tiga perempat dari warisan tersebut. Bagian ini harus didistribusikan di antara saudara penuh dan saudara-setengah sesuai dengan metode perhitungan yang diuraikan di atas. Dengan kata lain, saudara-saudara penuh masing-masing mendapatkan 2x, saudara-setengah masingmasing 1x. Total jumlah x yang sekarang didistribusikan adalah sembilan (9). Dengan demikian, seorang saudara penuh mendapat 2/9 dari ¾ dari warisan dan saudara-setengah mendapat 1/9 dari 3/4. Kesimpulan: orang tua mendapatkan 1/4, saudara-saudara penuh masing-masing mendapatkan 1/6 dan saudara-setengah masing-masing mendapatkan 1/12.
Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
1.      Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
2.      Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.
Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
1.      Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).
2.      Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris.
3.      Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris.
4.      Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Adapun golongan ahli waris yang berhak menerima warisan tersebut adalah:
1.      Suami/isteri pewaris yang hidup lebih lama. Anak dan keturunan anak terus ke bawah.
2.      Bapak/ibu. Saudara dan keturunan saudara terus ke bawah.
3.      Nenek/kakek baik dari garis bapak atau garis ibu. Orang tua kakek/nenek seterusnya ke atas.
4.      Paman/bibi baik dari garis bapak atau garis ibu. Keturunan paman/bibi sampai dengan derajat ke-6.Saudara kakek/nenek serta keturunannya sampai dengan derajat ke-6.
Seandainya saja ke-4 golongan tersebut tidak ada (jangka waktu untuk mengakui sebagai ahli waris adalah 3 tahun), maka harta warisan jatuh pada Negara, dan dalam hal ini dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan. Yang dimaksud keturunannya disini adalah dapat merupakan anak-anak yang sah yang lahir dalam perkawianan maupun anak-anak yang tidak sah tetapi diakui yaitu anak-anak yang lahir diluar perkawinan tetapi diakui (erkend natuurlijk). Tentang bagian legitieme portie bagi anak-anak yang sah ditetapkan dalam pasal 914 KUHPer, sebagai berikut:
1.      Jika hanya ada 1 orang anak yang sah, maka jumlah legitieme portie separuh dari bagian yang sebenarnya, akan diperoleh sebagai ahli waris menurut undang-undang.
2.      Jika ada 2 orang anak yang sah, maka jumlah legitieme portie untuk masing-masing 2/3 dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh sebagai ahli waris menurut undang-undang.
3.      Jika ada 3 orang anak atau lebih, maka jumlah legitieme portie itu menjadi ¾ dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh masing-masing ahli waris menurut undang-undang.    
Untuk bagian anak yang tidak sah tetapi diakui yaitu sebesar 1/3 bagian dari haknya sebagai anak yang sah. Sisa warisan dari anak tidak sah tetapi diakui tersebut dibagikan rata kepada anak-anak yang sah. Misalnya: Jika ada 2 orang anak yang lahir diluar perkawinan dan ada 3 orang anak  yang sah, maka pembagiannya adalah untuk 2 orang anak yang tidak sah tetapi diakui itu masing-masing akan menerima 1/3 x 1/5 = 1/15, atau secara bersama-sama mendapat 2/15. Bagian ini harus dikeluarkan dulu, lalu sisanya sebanyak 13/15 dibagi rata untuk 3 orang anak yang sah. Hak mewarisi oleh suami/isteri dari si pewaris, baru sejak tahun 1935 dimasukkan dalam undang-undang, yaitu mereka dipersamakan dengan seorang anak yang sah. Dalam hal si pewaris mempunyai anak dari perkawinan yang pertama dan seorang istri yang kedua, maka bagian istri kedua dengan cara apapun tidak boleh melebihi bagian seorang anak dan paling banyak hanya ¼ dari seluruh harta warisan.
Bagi ahli waris dalam garis lurus ke atas, misalnya orang tua atau nenek/kakek, maka menurut pasal 915 KUHPer, jumlah legitieme portie selalu separuh dari bagiannya sebagai ahli waris menurut undang-undang. Dalam pembagian warisan untuk golongan 1 dan golongan 2 dimungkinkan adanya ahli waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan tempat ahli waris yang sebenarnya karena telah meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris. Menurut undang-undang ada tiga macam penggantian  (representatie) yaitu:  
1.      Penggantian dalam garis lurus ke bawah. Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh semua anak-anaknya.
2.      Penggantian dalam garis samping (zijlinie). Bahwa tiap saudara yang meninggal lebih dahulu maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya. Ini juga dapat terjadi tiada batas.
3.      Penggatian dalam garis samping, dalam hal yang tampil ke muka sebagai ahli waris anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya daripada seorang saudara, misalnya seorang paman atau keponakan. Disini ditetapkan bahwa saudara dari seorang yang tampil ke muka sebagai ahli waris itu meninggal lebih dahulu, dapat digantikan anak-anaknya.
Jika tidak terdapat sama sekali anggota keluarga dari golongan 1 dan golongan 2, maka harta warisan dibagi menjadi 2 bagian yang sama. Satu bagian untuk anggota keluarga dari pihak ayah dan satu bagian lagi untuk anggota keluarga 'dari pihak ibu si pewaris.  Pembagian seperti ini dikenal dengan sebutan “kloving”. Jika dari salah satu pihak orang tua tidak ada ahli waris lagi, maka seluruh harta warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang masih ada. Dalam pembagian warisan golongan 3 ini tidak penggantian tempat. Prinsip dari ke-4 golongan ahli waris ini adalah jika masih ada golongan 1 maka golongan 2, golongan 3 dan golongan 4 tidak berhak. Begitu juga bila golongan 1 tidak ada, maka golongan 2 yang berhak, sedang golongan 3 dan golongan 4 tidak berhak. Begitu seterusnya. Dan bila semua golongan tersebut memang benar-benar tidak ada maka harta warisan jatuh pada Negara, dalam hal ini Balai Harta Peninggalan. Selain itu, oleh undang-undang telah ditetapkan bahwa ada orang-orang yang berhubung dengan jabatan atau pekerjaannya maupun hubungannya dengan si pewaris, tidak diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat. Mereka adalah:
1.      Dokter yang merawat selama pewaris sakit.
2.      Notaris yang membuat akta wasiat.
3.      Saksi-saksi pada waktu pembuatan surat wasiat.
4.      Pendeta yang memberikan sakramen terakhir.

PENOLAKAN WARISAN

Seorang ahli waris yang tidak ingin menjadi ahli waris harus melepaskan warisan. Respon ahli waris ini terhadap pewarisan adalah tidak ingin menerima warisan atau menolak warisan yang di wariskan kepadanya. Dengan kata lain,  Seseorang kepada siapa warisan dilimpahkan memiliki tiga pilihan: penerimaan tanpa syarat, penerimaan dengan tunduk pada persediaan, atau penolakan/ pelepasan. Penolakan/pelepasan menyebabkan ahli waris dianggap tidak pernah menjadi ahli waris.
Setelah membuat pilihan ini, ia dianggap tidak pernah menjadi ahli waris. Pilihan ini memiliki efek retroaktif, sebagaimana diperjelas oleh Pasal 4:190 (4) NBW. Hal ini mengakibatkan bahwa sebuah penolakan atau pelepasan warisan dapat menghasilkan adanya warisan dengan perwakilan. Yang akan kami bahas di pembahasan selanjutnya Contoh. Herman meninggal tanpa membuat surat wasiat. Ruben memutuskan untuk melepaskan warisan ayahnya. Dia memiliki tiga anak. Penjelasan dalam sistem hukum waris belanda Belanda kandung. Karena Ruben telah melepaskan warisan, maka anak-anaknya akan mewarisi dengan perwakilan. Misalkan baik Ruben maupun Janneke sama-sama menolak warisan dan bahwa semua anak-anak mereka juga melepaskannya. Dalam hal itu, Robin akan menjadi ahli waris tunggal. Jika Ruben juga menolak warisan atas nama Robin dan tidak ada keturunan lebih lanjut dari Robin, maka warisan akan jatuh ke tangan orang tua Herman dan saudara-saudari mereka. Lihat Pasal 4:10 NBW.
Dalam pasal yang lain juga di jelaskan mengenai ahli waris yang menolak warisan yaitu di atur dalam Pasal 4:12 (1) NBW menetapkan dalam kasus mana keturunan dapat mewarisi dengan perwakilan, yaitu dalam kasus kematian yang lebih dahulu, kehilangan hak untuk mewarisi, pencabutan hak waris, penolakandan pembatalan pewarisan.
Sama halnya di negara indonesia berdasarkan Pasal 833 KUH Perdata, para ahli waris memperoleh alas hak terhadap boedel dianggap terjadi demi hukum bukan terjadi karena kesepakatan. Kendati begitu, KUHPerdata membuka pilihan bagi ahli waris untuk menolak menerima alas hak atas boedel. Berdasarkan ketentuan Pasal 1044 dan 1057 KUHPerdata, terbuka tiga pilihan bagi  para ahli waris berkenaan dengan harta kekayaan pewaris. Pertama berdasarkan ketentuan Pasal 1084 KUHPerdata, para ahli waris menerima penuh (alas hak terhadap) boedel yang diwariskan dengan membuat pernyataan tegas yang dimaktubkan dalam suatu akta penerimaan waris atau menerimanya secara implisit sebagaimana muncul dari perilaku nyata.
Misalnya ahli waris menjual, menggunakan sendiri atau membayar hutang yang diwariskan (non-testamenter). Kedua, ahli waris menerima untuk sebahagian harta kekayaan pewaris dengan mengaitkan pada itu syarat bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang (nontestamen) pewaris lebih dari bagian yang diterimanya. Ketiga, para ahli waris menolak boedel. Penolakan harus dinyatakan di kantor kepaniteraan pengadilan negeri tempat pembagian/ pemberesan waris (akan) dilakukan. Menurut ketentuan Pasal 1047 dan Pasal 1059 dari KUHPerdata, baik penerimaan ataupun penolakan, akan memiliki daya berlaku retroaktif (surut) terhitung sejak pemilik harta kekayaan meninggal dunia. Dalam hal pewaris meninggalkan hutang, penolakan penerimaan boedel oleh para ahli waris akan menimbulkan kerugian terhadap para kreditor. Sebab itu pula, ketentuan Pasal 1061 KUHPerdata menetapkan bahwa para kreditor dapat mengajukan permohonan kehadapan hakim untuk diberi mandat menerima boedel atas nama para ahli waris dan mewakili mereka dalam pemberesan boedel tersebut.
Klaim seperti ini sama seperti tindakan atau upaya hukum auctio pauliana yang diatur dalam ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata. Sekalipun demikian, KUHPerdata tidak memuat ketentuan yang mengatur bagaimana dan kapan para ahli waris harus memutuskan apakah menerima atau menolak boedel. Hal ini tentunya menimbulkan Dampak pewarisan dan likuidasi dari harta kekayaan ketidakpastian yang merugikan para kreditur. Sebab itu para pihak yang berkepentingan berwenang untuk meminta agar para ahli waris segera memutuskan apakah akan menerima atau menolak boedel. Menanggapi permohonan kreditur demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1024 KUHPerdata, para ahli waris berwenang untuk menimbang-nimbang apakah akan menerima atau menolak boedel dalam jangka waktu 4 bulan sebelum membuat putusan demikian. Konsekuensi hukum dari itu ialah bahwa selama jangka waktu tersebut, para ahli waris tidak dapat dituntut di muka hukum untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris. Bahkan, berdasarkan ketentuan Pasal 1025 KUHPerdata, putusan pengadilan berkenaan dengan boedel, eksekusinya akan ditangguhkan selama jangka waktu tersebut masih berlangsung.
Sebagaimana juga telah disinggung sebelumnya, berdasarkan ketentuan Pasal 1029 dan 1023 KUHPerdata, para ahli waris dapat menyatakan menerima boedel dengan sejumlah persyaratan, dan dengan hak istimewa melakukan inventarisasi. Untuk itu para ahli waris harus mengajukan permohonan pendaftaran pernyataan kehadapan kepaniteraan pengadilan negeri dalam yurisdiksi di mana pemberesan harta benda pewaris akan dilakukan. Hal terpenting dari pernyataan di atas ialah keterangan bahwa kewajiban para ahli waris untuk membayar hutang-hutang pewaris akan dibatasi nilai total harta kekayaan pewaris dan karena itu untuk selebihnya boedel pewaris akan bebas dari tagihan hutang.
Harta kekayaan pewaris (boedel) akan diperlakukan sebagai asset yang terpisah dan dikelola demi kepentingan para kreditur. Kondisi demikian sama dengan yang terjadi dalam pernyataan kepailitan. Satu perbedaan, namun demikian, berkenaan dengan hak para ahli waris terhadap boedel berbeda dengan kedudukan penerima. Setelah semua hutang pewaris dilunasi, maka sisa harta kekayaan menjadi hak para ahli waris. Dalam hal nilai harta kekayaan pewaris ternyata lebih kecil dari total hutang yang ada, maka para ahli waris atau kreditor dapat mengajukan permohonan kehadapan pengadilan agar boedel demikian dinyatakan pailit.
Setelah rezim komunis di Eropa Timur runtuh, timbul godaan untuk menyerahkan sistem hukum sosialis pada buku-buku teks sejarah hukum. Namun, tidak dapat disingkirkan dengan begitu mudah, keluarga hukum sosialis masih berlaku pada hampir separuh populasi dunia. Ada negara di luar Eropa yang masih menganut sistem hukum sosialis, misalnya Kuba. Harus dipertimbangkan pula semua negara bekas negara sosialis yang terpaksa hidup dengan sisa-sisa hukum sosialis yang mulai menanggalkan sistem ekonomi terencana, misalnya Vietnam dan Laos dan tidak dapat diabaikan bahwa sosialisme yang dibarengi hukum sosialis pasti akan berkuasa kembali di negara-negara tertentu, walau hanya untuk sementara dan dalam kondisi yang sangat khusus, misalnya di beberapa negara yang dahulu pernah menjadi bagian dari Uni Soviet dan kini telah menjadi negara merdeka.

WASIAT

1.                     Karakteristik surat wasiat
Sebuah wasiat adalah suatu tindakan hukum yang terkait dengan segelintir aturan khusus. Untuk memeriksa rincian dari tindakan hukum ini kita harus mengacu ke Pasal 4:42 NBW, yang memuat beberapa unsur inti tentang pengaturan wasiat.
Pertama, Pasal 4:42 NBW menjelaskan bahwa wasiat adalah suatu tindakan hukum sepihak. Selain itu, ia juga harus dianggap sebagai suatu tindakan hukum sepihak yang tidak terarah.
Contoh tindakan hukum sepihak yang terarah adalah pengunduran diri dan pernyataan pemberhentian dari pemilik rumah atau apartemen yang disewa (landlord).
Kenyataan bahwa sebuah wasiat tidak ditujukan atau diarahkan ke orang tertentu memiliki konsekuensi terutama ketika hal itu melibatkan ketidakmampuan hukum atau gangguan mental. Seperti yang Anda tahu, tindakan hukum yang dilakukan oleh orang yang secara hukum tidak kompeten dapat dibatalkan, tetapi suatu tindakan hukum sepihak yang telah dilakukan oleh orang yang secara hukum tidak kompeten dan yang tidak diarahkan pada satu atau lebih individu tertentu dinyatakan tidak sah. Lihat Pasal 3:32 (2) dan 3:34 (2) NBW.
Kedua, wasiat selalu dapat dicabut oleh si pembuat wasiat (pewaris). Penting untuk dipahami bahwa pencabutan itu sendiri juga merupakan sebuah wasiat, hal ini terdapat di pasal 4:111 NBW.
Unsur khas ketiga dari wasiat ditetapkan dalam Pasal 4:42(3) NBW. Sebuah wasiat hanya dapat dibuat dan dicabut secara pribadi. Hal ini memiliki dua konsekuensi. Konsekuensi yang pertama adalah bahwa surat wasiat tidak dapat dibuat oleh seorang wakil. Baik pengacara maupun kuasa hukum sama-sama berada di luar dari pelaksanaan tindakan hukum ini.
Konsekuensi kedua dari kata “harus dibuat secara pribadi” adalah bahwa pewaris atau pembuat wasiat harus menetapkan isi dari wasiat tersebut secara pribadi. Dia tidak boleh meninggalkan penetapan isi wasiat itu pada orang lain.
Sedangkan karakteristik wasiat di Indonesia, yang pertama adalah surat wasiat adalah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya Hal ini terdapat di pasal 875 KUHPer, yakni:
“Surat wasiat atau testamen ialah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah dia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.”
Karakteristik yang kedua adalah, surat wasiat tersebut dapat dicabut kembali sesuai dengan kehendaknya. Hal ini terdapat di pasal di atas.
Karakteristik yang ketiga adalah bahwa dalam membuat maupun menarik kembali atau mencabut suatu suatu wasiat, harus mempunyai akal sehat, hal ini sesuai dengan pasal 895 KUHPer, yakni:
“Untuk dapat membuat atau mencabut suatu surat wasiat, seorang harus mempunyai budi akalnya.”
Dari pasal di atas, dilanjutkan lagi terkait dengan usia di bawah umur pada pasal 897 KUHPer, yakni:
“Para belum dewasa yang belum mencapai umur genap 18 tahun, tak diperbolehkan membuat surat wasiat.”
2.                     Jenis-jenis surat wasiat
Di Belanda, Jenis yang paling umum dari pengaturan wasiat adalah surat wasiat, dan ketika surat wasiat dibuat, keterlibatan notaris hukum perdata merupakan suatu hal yang wajib. Lihat Pasal 4:94 NBW.
Pembuat undang-undang memandang perlu untuk menciptakan pengamanan sehubungan dengan pembuatan surat wasiat. Bagaimanapun, pembuatan surat wasiat merupakan suatu tindakan hukum yang tidak biasa, jika dalam perjalanan waktu tindakan hukum ini benar-benar berlaku: setelah kematian pewaris itu. Pada saat itu, sang pewaris tidak bisa lagi dimintai penjelasan tentang tindakan-hukumnya itu. Inilah sebabnya mengapa penyusunan kata-kata dalam surat wasiat harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Surat wasiat harus benar-benar bebas dari ambiguitas. Ini adalah bagian penting dari profesi notaris: notaris harus dapat menuangkan hal-hal yang diinginkan pewaris ke atas kertas dengan cara yang tidak mendua arti, benar secara hukum dan kreatif; dengan kata lain, untuk menghasilkan formulasi hukum yang tak terbantahkan tentang keinginan klien.
Intervensi dari notaris hukum perdata bukan merupakan hal yang wajib untuk pengaturan yang dimaksud dalam Pasal 4:97 NBW. Pengaturan yang terdaftar di sana dapat dibuat tanpa formalitas lebih lanjut, mengingat bahwa pewaris telah mencatat semuanya itu dalam sebuah dokumen dengan tulisan tangan, yang sudah diberi tanggal dan tanda tangan. Dokumen ini disebut sebuah codicil [lampiran yang berupa ketentuan tambahan atau perubahan terhadap wasiat, selanjutnya disebut “ketentuan tambahan”]. Lihat Pasal 4:97 NBW, yang berisi daftar tentang apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam sebuah ketentuan tambahan.
Jenis lain dari wasiat yang khusus: wasiat yang didepositkan. Pasal 4:94 NBW memberikan kemungkinan bagi sebuah wasiat untuk dibuat dalam sebuah dokumen pribadi yang diberikan kepada notaris hukum perdata untuk diamankan. Ini memberikan solusi bagi mereka yang tidak ingin siapa pun, termasuk notaris, untuk mengetahui apa yang ada dalam surat wasiat mereka. Dokumen yang mereka deposit pada notaris dapat disegel. Notaris menyusun suatu akta tentang prosedur ini, yang ditandatangani oleh pewaris dan notaris. Untuk formalitas terkait dengan wasiat yang dideposit, lihat Pasal 4:95 NBW.

Sedangkan di Indonesia, pada dasarnya dikenal dua jenis surat wasiat. Pertama yang berisikan penunjukkan satu atau lebih orang sebagai ahli waris yang akan menerima pengalihan sebahagian atau seluruh harta kekayaan pewaris. Ahli waris yang ditunjuk akan menggantikan kedudukan pewaris (yang meninggal dunia) dan konsekuensi hukum dari itu ialah seluruh hak dan kewajiban pewaris berpindah kepada para ahli waris. Untuk jenis yang kedua, isi surat wasiat adalah pemberian kepada seseorang tertentu. Orang yang mendapat pemberian ini bukanlah ahli waris dan karena itu pula ia tidak menggantikan kedudukan hukum pewaris serta mengambil alih hak dan kewajibannya pewaris. Orang demikian berhak menuntut penyerahan barang yang disebut di dalam testamen dan tidak punya kewajiban menanggung hutang-hutang pewaris.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemaparan-pemaparan dan pembahasan-pembahasan dari uraian dalam pembahasan di atas, maka kami dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut, pada dasarnya, antara hukum Belanda dengan hukum Indonesia terkait dengan hukum waris adalah sama, apalagi bahwa hukum waris Indonesia berdasarkan pada hukum waris Belanda, seperti dari subjek dan objeknya. Namun, ada beberapa hal yang menjadi perbedaan adalah dari sumber hukum, bahwa di Indonesia masih menggunakan KUHPer yang berdasarkan pada BW Belanda yang lama, yang dalam waris terdapat pada buku II tentang Benda, sedangkan di Belanda, sudah mempunyai BW yang baru yang disebut dengan NBW, yang dalam waris mempunyai buku sendiri, yakni di buku IV. Selain itu juga bahwa dalam hal terjadinya penggantian atau menggantikan ahli waris, di Belanda dikenal dengan perwakilan, yang mana ahli waris dapat diwakilkan, sedangkan di Indonesia dikenal dengan pengganti, yakni ahli waris dapat digantikan dengan ahli waris lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Hijma, Jaap dan Henk Snijders, The Netherlands New Civil Code, Jakarta: National Legal Reform Program, 2010.
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
Kolkman, W.D. dkk, Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia, Bali: Pustaka Lasaran, 2012.
Meliala, Djaja S, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Bandung: Nuansa Aulia, 2007.
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Purnamasari, Irma Devita, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Bandung: Kaifa, 2014.
Subekti, R, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Nieuw Burgerlijk Wetboek, Dutch Civil Code

SITUS INTERNET
cfe-eutax.org/taxation/inheritance-tax/Netherlands (diakses pada tanggal 26 Desember 2014)
erfwijzer.nl/erfbelasting-2014.html (diakses pada tanggal 26 Desember 2014)
erfwijzer.nl/erven-zonder-testament.html (diakses pada tanggal 14 Desember 2014)
nl.wikipedia.org/wiki/Erfrecht (diakses pada tanggal 14 Desember 2014)
ortax.org/ortax/?mod=forum&page=show&idtopik=31032 (diakses pada tanggal 65 Desember 2014)
pajaktaxes.blogspot.com/2007/09/pajak-waris.html (diakses pada tanggal 26 Desember 2014)
wetboek-online.nl (diakses pada tanggal 14 Desember 2014)

0 komentar :

Post a Comment