Artikel: Perbedaan antara Hakim di bawah Mahkamah Agung dengan Hakim di bawah Mahkamah Konstitusi dari Segi Tugas dan Wewenang, Pengaturan Kode Etik, Dewan/Majelis Kehormatan Hakim, dan Sanksi dan Persidangannya ~ a Riswan Hanafyah's Blog project

Friday, May 15, 2015

Artikel: Perbedaan antara Hakim di bawah Mahkamah Agung dengan Hakim di bawah Mahkamah Konstitusi dari Segi Tugas dan Wewenang, Pengaturan Kode Etik, Dewan/Majelis Kehormatan Hakim, dan Sanksi dan Persidangannya

LATAR BELAKANG

Hakim adalah salah satu pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas hakim adalah mengkonstatir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikualifisir, Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.
Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapa pun juga walaupun itu keluarganya, kalau sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama, juga hakim harus mengetahui apa saja tugas dan kewenangannya yang sesuai dengan kewenangannya, apakah hakim itu di bawah Mahkamah Agung atau hakim itu di bawah Mahkamah Konstitusi.
Untuk membedakan itu, hakim di bawah Mahkamah Agung dan hakim di bawah Mahkamah Konstitusi mempunyai kode etik sendiri bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap. Sampai saat sudah ada beberapa hakim yang telah melakukan pelanggaran kode etik dan telah menjalani sidang kode etik yang dilakukan oleh Dewan atau Majelis Kehormatan Hakim, baik dari Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya dijatuhi sanksinya.
Sesuai uraian di atas menjadi latar belakang penulisan makalah ini. Supaya hakim-hakim agar lebih memperhatikan lagi tugasnya sebagai penegak keadilan di dalam masyarakat

 TUGAS DAN WEWENANG

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi yang pengaturannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan juga masalah kekuasaan kehakiman yang mana sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MA dan MK memegang kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan sejajar pula dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya meliputi Presiden, MPR, DPR, DPD dan BPK. Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan konstitusi.
Baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi memiliki tugas dan wewenang yang diberikan kepada hakim di bawah Mahkamah Agung dan hakim di bawah Mahkamah Konstitusi. Tugas-tugas dan wewenang-wewenang yang telah diberikan tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan akan disebutkan di bawah ini.

1.            Mahkamah Agung
Tugas dan wewenang hakim di bawah Mahkamah Agung terdapat di  Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni:
a.             mengadili pada tingkat kasasi;
b.            menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c.             mempunyai kewenangan lain yang diberikan undang-undang.
Selain itu, tugas dan wewenang dari hakim di bawah Mahkamah Agung diatur pada beberapa undang-undang. MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus (Pasal 28 ayat (1) UU MA):
a.             permohonan kasasi
Henry P. Panggabean dalam bukunya yang berjudul Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari menjelaskan bahwa peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan karena dianggap mengandung kesalahan dalam penerapan hukum. Fungsi dari kasasi itu sendiri adalah membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum dan UU di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil (hal. 82).
b.            sengketa tentang kewenangan mengadili
MA memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa kewenangan mengadili:
1)            Antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan peradilan yang lain;
2)            Antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dalam lingkungan peradilan yang sama;
3)            Antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antar lingkungan peradilan yang berlainan (Pasal 33 UU MA).
c.             permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Permohonan peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini MA mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan hakim (ibid, hal. 110).
d.            pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (Pasal 31 UU 5/2004).
2.            Mahkamah Konstitusi
Tugas dan wewenang hakim di bawah Mahkamah Agung terdapat di  Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni:
a.             mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b.            memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
c.             memutus pembubaran partai politik; dan
d.            memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Di Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.             menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.            memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.             memutus pembubaran partai politik; dan
d.            memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Perbedaan yang mendasar mengenai tugas dan wewenang antara hakim yang ada di bawah Mahkamah Agung dengan hakim yang ada di bawah Mahkamah Konstitusi adalah Mahkamah Agung menjadi tempat untuk mengajukan permohonan kasasi dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan pada Mahkamah Konstitusi tidak mengenal yang disebut dengan kasasi dan putusan pengadilannya tidak ditinjau kembali karena putusannya yang bersifat final dan mengikat, yang di sini adalah dibutuhkan kepastian hukum yang pastinya hasilnya berpengaruh besar kepada masyarakat Indonesia.
Selain itu, pada Mahkamah Agung, yang menjadi objek pengadilannya adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, yang menjadi objek pengadilannya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi telah didaulat untuk mengadili adanya ketidaksesuaian dari undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sehingga masalah adanya permasalahan peraturan perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Daerah terhadap undang-undang, maka Mahkamah Agung telah didaulat untuk mengadili masalah tersebut.
Selain di atas, masing-masing baik Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kekhususan terhadap peradilannya, dan telah diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penyelewengan kewenangan dan tidak melakukan peradilan yang bukan kewenangannya.

PENGATURAN KODE ETIK

Masing-masing lembaga peradilan, baik Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kode etik yang mengatur setiap hakim, baik hakim di bawah Mahkamah Agung maupun hakim di bawah Mahkamah Konstitusi. Berikut adalah kode etik yang diberlakukan dan digunakan:
1.            Mahkamah Agung
Kode Etik Mahkamah Agung dimuat dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Yang dimaksud dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Untuk mendukung berfungsinya kode etiknya, kemudian diatur Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 03/PB/MA/IX/2012 dan 03/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama tentang pemeriksaan terhadap hakim yang melanggar dan Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim sebagai forum untuk pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dari Tim Pemeriksa dinyatakan terbukti melanggar dan pemberian sanksi bagi hakim yang melanggar.
2.            Mahkamah Konstitusi
Kode Etik Mahkamah Agung dimuat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakm Konstitusi. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, selanjutnya disebut Kode Etik Hakim Konstitusi, adalah panduan moral dan etik bagi setiap Hakim Konstitusi, baik dalam menjalankan tugas konstitusionalnya maupun dalam pergaulan di masyarakat.
Untuk mendukung dilaksanakannya kode etik tersebut, diberlakukannya Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang berisi sanksi dan persidangan terhadap hakim yang diduga melanggar.

DEWAN/MAJELIS KEHORMATAN HAKIM

Masing-masing lembaga peradilan, baik Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki Dewan atau Majelis Kehormatan Hakim yang menangani masalah pelanggaran kode etik yang dilanggari oleh hakim. Berikut adalah penjelasannya:
1.            Mahkamah Agung
Pada Mahkamah Agung, dalam mengadili masalah pelanggaran kode etik hakim, telah dibentuk Majelis Kehormatan Hakim yang diatur pada Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
Majelis Kehormatan Hakim adalah forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dari Tim Pemeriksa dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana di atur dalam peraturan perundang-undangan, serta diusulkan untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian. Menurut Pasal 2, Majelis tersebut juga dibentuk bersifat tidak tetap dan akan dibentuk dengan penetapan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian dari Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial.
Pada Pasal 3 Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim, keanggotaan dari Majelis Kehormatan Hakim terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Agung dan 4 (empat) orang Anggota Komisi Yudisial.
Majelis Kehormatan Hakim dibentuk bukan sebagai anggota Tim Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan langsung terhadap dugaan pelanggaran, dan diatur pada Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 03/PB/MA/IX/2012 dan 03/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama. Tim Pemeriksa adalah tim gabungan yang dibentuk bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pemeriksaan bersama guna mendapatkan keyakinan terbukti atau tidaknya suatu pelanggaran. Susunannya terdiri dari 4 orang anggota, masing-masing 2 orang dari Mahkamah Agung dan 2 orang dari Komisi Yudisial, dan mereka dibantu oleh 2 orang sekretaris, masing-masing 1 orang dari Mahkamah Agung dan 1 orang dari Komisi Yudisial.
Majelis Kehormatan Hakim dibantu oleh seorang Sekretaris yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung atau Ketua Komisi Yudisial. Sekretaris Majelis Kehormatan Hakim bertugas mencatat jalannya persidangan dan membuat berita acara persidangan.
Dalam hal usulan penjatuhan sanksi berasal dari Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Agung menunjuk salah seorang Hakim Agung sebagai Ketua Majelis Kehormatan Hakim dan satu orang pegawai Badan Pengawasan Mahkamah Agung sebagai Sekretaris Majelis Kehormatan Hakim. Dalam hal usulan penjatuhan sanksi berasal dan Komisi Yudisial, Ketua Komisi Yudisial menunjuk salah seorang Anggota Komisi Yudisial sebagai Ketua Majelis Kehormatan Hakim dan satu orang pegawai Komisi Yudisial sebagai Sekretaris Majelis Kehormatan Hakim. Majelis Kehormatan Hakim ditetapkan dalam penetapan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial.
Dalam hal terdapat Anggota Majelis Kehormatan Hakim yang mengundurkan diri, berhalangan sementara atau berhalangan tetap, maka Pimpinan Mahkamah Agung RI atau Ketua Komisi Yudisial RI segera menunjuk penggantinya sesuai dengan asal lembaga anggota majelis tersebut.
2.            Mahkamah Konstitusi
Pada Mahkamah Konstitusi, dalam penyelesaian dalam masalah pelanggaran kode etik, ada dua perangkat yang dibentuk, yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Etik Hakim Konstitusi yang keduanya berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan memiliki tugas dan wewenangnya.
a.             Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut Majelis Kehormatan, adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik.
Keanggotaan Majelis Kehormatan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur:
1)            1 (satu) orang Hakim Konstitusi, yang dipilih dalam Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup;
2)            1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial, yang ditugaskan oleh Komisi Yudisial sesuai dengan permintaan Mahkamah Konstitusi;
3)            1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi, yang ditentukan oleh Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup;
4)            1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum, yang ditentukan oleh Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup; dan
5)            1 (satu) orang tokoh masyarakat yang ditentukan oleh Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup.
Syarat-syarat yang dibutuhkan agar dapat menjadi Keanggotaan Majelis Kehormatan adalah sebagai berikut:
1)            jujur, adil, dan tidak memihak;
2)            berusia paling rendah 60 (enam puluh) tahun untuk anggota Majelis Kehormatan;
3)            berwawasan luas dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim; dan
4)            memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
Keanggotaan Majelis Kehormatan tersebut kemudian disusun menjadi Susunan Majelis Kehormatan yang terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota, dan 3 (tiga) orang anggota, yang mana Ketua dan Sekretaris Majelis Kehormatan dipilih dari dan oleh anggota, dan susunannya ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi. Majelis Kehormatan dibantu oleh sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Majelis Kehormatan mempunyai tugas:
1)            melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali;
2)            menyampaikan Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Majelis Kehormatan mempunyai wewenang:
1)            memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diajukan oleh Dewan Etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain;
2)            memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang terkait dengan dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain; dan
3)            menjatuhkan keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.
b.            Dewan Etik Hakim Konstitusi
Dewan Etik Hakim Konstitusi, selanjutnya disebut Dewan Etik, adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan dan informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang disampaikan oleh masyarakat dan bersifat tetap.
Keanggotaan Dewan Etik ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi dan berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri atas unsur:
1)            1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi;
2)            1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum; dan
3)            1 (satu) orang tokoh masyarakat.
Syarat-syarat yang dibutuhkan agar dapat menjadi Keanggotaan Majelis Kehormatan adalah sebagai berikut:
1)            jujur, adil, dan tidak memihak;
2)            berusia paling rendah 60 (enam puluh) tahun;
3)            berwawasan luas dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim; dan
4)            memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
Dewan Etik dipimpin oleh Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Dewan Etik, dan Dewan Etik dibantu oleh sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi. Masa jabatan anggota Dewan Etik selama 3 (tiga) tahun dan tidak dapat dipilih kembali.
Dewan Etik mempunyai tugas:
1)            melakukan pengumpulan, pengolahan dan penelaahan laporan dan/ atau informasi tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi, yakni:
a)            melakukan perbuatan tercela;
b)            tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c)            melanggar sumpah atau janji jabatan;
d)           dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e)            melanggar Kode Etik Hakim Konstitusi sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, yakni:
-                prinsip independensi
-                prinsip ketakberpihakan
-                prinsip integritas
-                prinsip kepantasan dan kesopanan
-                prinsip kesetaraan
-                prinsip kecakapan dan keseksamaan
-                prinsip kearifan dan kebijaksanaan
f)             melanggar larangan sebagai Hakim Konstitusi:
-                merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha, advokat, atau pegawai negeri;
-                menerima suatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak langsung;
-                mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan; dan/atau
g)            tidak melaksanakan kewajiban sebagai Hakim Konstitusi:
-                menjalankan hukum acara sebagaimana mestinya;
-                memperlakukan para pihak yang berperkara dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidak memihak; dan
-                menjatuhkan putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
2)            menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap tahun kepada Mahkamah Konstitusi.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Dewan Etik mempunyai wewenang:
1)            memberikan pendapat secara tertulis atas pertanyaan Hakim Konstitusi mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan di atas;
2)            memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di atas untuk memberikan penjelasan dan pembelaan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain;
3)            memanggil dan meminta keterangan pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terhadap ketentuan di atas, termasuk meminta dokumen atau alat bukti lain;
4)            menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di atas;
5)            mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan di atas dan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan dan/ atau tertulis sebanyak 3 (tiga) kali; dan
6)            mengusulkan pembebastugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan di atas dan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali.
Perbedaan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi terkait dengan dewan atau majelis kehormatan hakim, yakni perangkat yang dibentuk dalam menangani masalah pelanggaran kode etik yang dilanggari oleh hakim di bawah Mahkamah Agung adalah Majelis Kehormatan Hakim, yang bertugas sebagai forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dari Tim Pemeriksa dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana di atur dalam peraturan perundang-undangan, serta diusulkan untuk dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian. yang keanggotaan terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Agung dan 4 (empat) orang Anggota Komisi Yudisial, dan mereka dibentuk bukan sebagai anggota Tim Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan langsung terhadap dugaan pelanggaran, serta bersifat tidak tetap. Tim Pemeriksa sendiri adalah tim gabungan yang dibentuk bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pemeriksaan bersama guna mendapatkan keyakinan terbukti atau tidaknya suatu pelanggaran dengan susunan anggota terdiri dari 4 orang anggota, masing-masing 2 orang dari Mahkamah Agung dan 2 orang dari Komisi Yudisial, dan mereka dibantu oleh 2 orang sekretaris, masing-masing 1 orang dari Mahkamah Agung dan 1 orang dari Komisi Yudisial.
Sedangkan pada Mahkamah Yudisial, terdapat dua perangkat yang dibentuk, yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Etik Hakim Konstitusi. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini memiliki tugas melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali; dan menyampaikan Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi. Majelis memiliki Susunan Majelis Kehormatan yang terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota, dan 3 (tiga) orang anggota dengan komposisi 1 (satu) orang Hakim Konstitusi, 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial, 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi, 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum, yang ditentukan oleh Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup; dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi hanya dibentuk jika ada usulan dari Dewan Etik Hakim Konstitusi sehingga Majelis ini tidak tetap. Sedangkan Dewan Etik Hakim Konstitusi adalah Dewan yang bertugas melakukan pengumpulan, pengolahan dan penelaahan laporan dan/ atau informasi tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi; dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap tahun kepada Mahkamah Konstitusi. Dewan ini memiliki Keanggotaan Dewan Etik ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi dan berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri atas unsur 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang hukum; dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat, dan bersifat tetap dengan masa jabatan anggota Dewan Etik selama 3 (tiga) tahun dan tidak dapat dipilih kembali.

SANKSI DAN PERSIDANGAN KODE ETIK

Setiap hakim yang melanggar, baik itu hakim di bawah Mahkamah Agung dan hakim di bawah Mahkamah Konstitusi diberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang telah dilanggarnya. Selain itu juga, hakim yang diduga melanggar kode etik harus melakukan persidangan agar membuktikan apakah hakim yang diduga tersebut terbukti melanggar atau tidak. Berikut adalah penjelasannya:
1.            Mahkamah Agung
Sanksi yang dijatuhkan kepada hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung terdapat pada Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Di Pasal 19, sanksinya terbagi atas tiga jenis, yakni sanksi ringan, sanksi sedang dan sanksi berat. Sanksi-sanksi tersebut diberikan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan sesuai dengan Pasal 18. Berikut adalah pelanggaran dan sanksinya:
a.             Sanksi ringan
Sanksi ringan diberikan kepada para pelanggar yang melakukan pelanggaran ringan, yakni pada  Pasal 6 ayat (2) huruf b dan c; Pasal 7 ayat (2) huruf a, b dan c; Pasal 7 ayat (3) huruf c, g, h dan k; Pasal 8 ayat (2) huruf b dan c; Pasal 9 ayat (4) huruf c, d dan e; Pasal 9 ayat (5) huruf g, h, k, l dan m; Pasal 11 ayat (4) huruf d, e dan f; dan Pasal 13 ayat (1), (2), (3) dan (4). Sanksi yang diberikan adalah berupa teguran lisan; teguran tertulis; pernyataan tidak puas secara tertulis.
b.            Sanksi sedang
Sanksi sedang diberikan kepada para pelanggar yang melakukan pelanggaran sedang, yakni pada Pasal 5 ayat (3) huruf a dan e; Pasal 6 ayat (2) huruf d dan e; Pasal 6 ayat (3) huruf a dan b; Pasal 7 ayat (3) huruf b, e, f dan j; Pasal 9 ayat (4) huruf b dan g; Pasal 9 ayat (5) huruf a, d dan j; Pasal 11 ayat (3) huruf b; dan Pasal 11 ayat (4) huruf c. Sanksi yang diberikan adalah berupa penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun; Hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan; mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah; dan pembatalan atau penangguhan promosi.
c.             Sanksi berat
Sanksi berat diberikan kepada para pelanggar yang melakukan pelanggaran berat, yakni pada Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, c, d, e dan f; Pasal 5 ayat (3) huruf b, c dan d; Pasal 6 ayat (2) huruf a; Pasal 7 ayat (3) huruf a, d dan i; Pasal 8 ayat (2) huruf b; Pasal 9 ayat (4) huruf a dan f; Pasal 9 ayat (5) huruf b, c, e, f dan i; Pasal 10 ayat (2) huruf a dan b; Pasal 11 ayat (3) huruf a; dan Pasal 11 ayat (4) huruf b, d dan g. Sanksi yang diberikan adalah berupa pembebasan dari jabatan; Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun; penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3 (tiga) tahun; pemberhentian tetap dengan hak pensiun; dan pemberhentian tidak dengan hormat.
d.            Pelanggaran terhadap Pasal 12 dan Pasal 14 dapat diklasifikasikan pelanggaran ringan, sedang atau berat, tergantung dari dampak yang ditimbulkannya.
Selain sanksi-sanksi di atas, terhadap hakim yang diusulkan untuk dijatuhi pemberhentian tetap dan pembelaan dirinya telah ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim, dikenakan pemberhentian sementara berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Tingkat dan jenis sanksi yang dijatuhkan terhadap hakim yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan tingkat dan jenis pelanggaran di atas dapat disimpangi dengan mempertimbangkan latar belakang, tingkat keseriusan, dan/atau akibat dari pelanggaran tersebut.
Sanksi-sanksi di atas berlaku untuk hakim karier pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Sedangkan terhadap hakim di lingkungan peradilan militer, proses penjatuhan sanksi diberikan dengan memperhatikan peraturan disiplin yang berlaku bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Khusus untuk tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi hakim ad hoc, terdiri atas sanksi ringan berupa teguran tertulis; sanksi sedang berupa nonpalu paling lama 6 (enam) bulan; dan sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim. Sedangkan tingkat dan jenis sanksi yang berlaku bagi Hakim Agung, terdiri atas sanksi ringan berupa teguran tertulis; sanksi sedang berupa nonpalu paling lama 6 (enam) bulan; dan sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim.
Untuk menindaklanjuti terkait dengan itu, dilakukanlah persidangan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim sesuai dengan Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim. di gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. Majelis Kehormatan Hakim melakukan pemeriksaan usul pemberhentian paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pembentukan Majelis Kehormatan Hakim. Setelah Majelis Kehormatan Hakim ditetapkan, Ketua Majelis Kehormatan Hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan Sekretariat Majelis Kehormatan Hakim untuk memanggil Terlapor.
Panggilan kepada Terlapor disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari sidang melalui Pimpinan Pengadilan tempat Terlapor bertugas dengan menggunakan faksimile atau alat komunikasi lain yang tercatat dan wajib menyampaikan panggilan kepada Terlapor pada hari diterimanya panggilan tersebut dan mengirim kembali risalah panggilan yang telah ditandatangani oleh Terlapor pada hari itu juga kepada Sekretariat Majelis Kehormatan Hakim menggunakan faksimile atau alat komunikasi lain yang tercatat.
Dalam hal Pimpinan Pengadilan tidak dapat menyampaikan panggilan kepada Terlapor oleh karena Terlapor tidak berada di tempat, Ketua Pengadilan melaporkan kepada Sekretariat Majelis Kehormatan Hakim mengenai hal tersebut dengan memberikan keterangan mengenai ketidakberadaan Terlapor. Dalam hal ketidakberadaan Terlapor karena alasan yang sah, maka waktu ketidakberadaan Terlapor atas alasan yang sah tersebut tidak diperhitungkan sebagai tenggang waktu pemeriksaan.
Sidang majelis kehormatan hakim bersifat terbuka untuk umum kecuali dinyatakan tertutup oleh majelis. Jika dalam sidang pertama Terlapor tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka sidang ditunda paling lama 5 (lima) hari kerja untuk memanggil kembali Terlapor. Dan pada sidang kedua Terlapor kembali tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka Terlapor dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri, dan Majelis Kehormatan Hakim menjatuhkan keputusan tanpa kehadiran Terlapor. Jika dalam hal ketidakhadiran Terlapor di sidang Majelis Kehormatan Hakim tersebut disebabkan alasan yang sah, maka Majelis Kehormatan Hakim menunda sidang dan masa penundaan tersebut tidak diperhitungkan dalam jangka waktu pemeriksaan.
Ketua Majelis Kehormatan Hakim menanyakan identitas Terlapor, menjelaskan pokok-pokok hasil pemeriksaan dari Tim Pemeriksa, dan mempersilakan Terlapor untuk mengajukan pembelaan diri. Terlapor sendiri dapat didampingi oleh Tim pembela dari organisasi profesi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Majelis Kehormatan Hakim harus memberikan kesempatan yang cukup pada Terlapor untuk membela diri, baik secara lisan maupun tertulis. Selain itu, Terlapor dapat mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti lain untuk mendukung pembelaan diri.
Dalam hal pemeriksaan dipandang cukup, maka Ketua Majelis Kehormatan Hakim menyatakan pemeriksaan selesai dan selanjutnya sidang diskors untuk memberi kesempatan kepada Majelis Kehormatan Hakim bermusyawarah. Dalam hal Majelis Kehormatan Hakim harus menunda persidangan karena pemeriksaan dinilai belum cukup, atau karena alasan lainnya yang sah, maka penundaan sidang tersebut harus mempertimbangkan jangka waktu pemeriksaan.  Dalam hal musyawarah telah selesai, Ketua Majelis Kehormatan Hakim menyatakan skorsing dicabut dan sidang dibuka kembali.
Terlapor dipanggil untuk masuk dan menghadap Majelis Kehormatan Hakim di dalam ruangan persidangan. Ketua Majelis Kehormatan Hakim membacakan keputusan Majelis Kehormatan Hakim. Berita Acara Pemeriksaan dan keputusan Majelis Kehormatan Hakim ditandatangani oleh Majelis Kehormatan Hakim dan Sekretaris.
Sekretaris Majelis Kehormatan Hakim menyelesaikan minutasi berkas sidang Majelis Kehormatan Hakim selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak pembacaan keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
Setelah dilakukan pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim secara musyawarah mufakat atau dengan suara terbanyak, pada sidang berikutnya, Majelis Kehormatan Hakim membacakan keputusan yang terdiri dari irah-irah keputusan, dengan bunyi "Demi Kehormatan, Keluhuran Martabat, serta Perilaku Hakim berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"; identitas Terlapor; duduk permasalahan; pembelaan diri Terlapor; pertimbangan hukum; hingga amar keputusan. Keputusan Majelis Kehormatan Hakim bersifat mengikat dan tidak dapat diajukan keberatan.
2.            Mahkamah Konstitusi
Sanksi yang dijatuhkan kepada hakim yang berada di bawah Mahkamah Konstitusi terdapat pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Rapat Dewan Etik menghasilkan kesimpulan Dewan Etik yang menyatakan bahwa:
a.             tidak terdapat pelanggaran terhadap ketentuan di atas yang diduga dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik;
b.            terdapat pelanggaran ringan terhadap ketentuan di atas yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, yakni Dewan Etik mengambil keputusan untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik kemudian disampaikan kepada Ketua atau W akil Ketua Mahkamah Konstitusi dan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik ditandatangani.
c.             terdapat dugaan pelanggaran berat terhadap ketentuan di atas yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga; atau
d.            Hakim Terlapor atau Hakim Terduga telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali.
Khusus untuk terdapat dugaan pelanggaran berat atau telah mendapatkan teguran lisan 3 (tiga kali), Dewan Etik mengambil keputusan yang menyatakan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik. Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik tersebut disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi dan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik ditandatangani. Penyampaian Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik tersebut disertai dengan usul pembentukan Majelis Kehormatan dan pembebastugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, dan dapat ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat kemudian melakukan Persidangan Majelis Kehormatan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan. Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang tertutup secara umum, dilakukan mendengarkan keterangan Dewan Etik; mendengarkan keterangan pelapor; memeriksa alat bukti; dan/atau mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.
Setelah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan menghasilkan kesimpulan Majelis Kehormatan yang menyatakan bahwa:
a.             Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan merehabilitasi yang bersangkutan;
b.            Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, dan dijatuhkan sanksi terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga berupa teguran lisan; atau
c.             Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat.  Majelis Kehormatan mengambil keputusan melanjutkan pemeriksaan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam Sidang Pemeriksaan Lanjutan disertai rekomendasi pemberhentian sementara.
Setelah dilakukan Sidang Pemeriksaan Pendahuluan, Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diperiksa pada Sidang Pemeriksaan Lanjutan yang tertutup secara umum, kecuali ditentukan lain oleh Majelis Kehormatan, dan terbuka untuk umum dalam membacakan Keputusan Majelis Kehormatan terkait dengan hasil pemeriksaan.
Dalam sidang tersebut dilakukan mendengarkan keterangan Dewan Etik; mendengarkan keterangan pelapor; memeriksa alat bukti; dan mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.
Setelah Sidang Pemeriksaan Lanjutan dilakukan menghasilkan kesimpulan Majelis Kehormatan yang menyatakan bahwa:
a.             Hakim Terlapor atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan merehabilitasi yang bersangkutan;
b.            Hakim Terlapor atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, dan dijatuhkan sanksi terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga berupa teguran lisan; atau
c.             Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat. Keputusan Majelis Kehormatan memuat penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis atau pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.
Setelah Sidang Pemeriksaan Lanjutan, dilakukan Rapat Pleno Majelis Kehormatan secara tertutup untuk umum dilaksanakan untuk mengambil keputusan Majelis Kehormatan terkait dengan hasil Persidangan Majelis Kehormatan.
Perbedaan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sanksinya adalah bahwa sanksi yang diatur pada Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, telah diklasifikasikan mengenai jenis dan tingkat sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh hakim yang diduga melanggar, yakni jika melakukan pelanggaran ringan, maka akan mendapatkan sanksi ringan, begitu pula bagi pelanggaran dan sanksi sedang maupun berat, walaupun ada yang tidak diklasifikasikan jenis dan tingkat sanksi seperti pada Pelanggaran terhadap Pasal 12 dan Pasal 14 dapat diklasifikasikan pelanggaran ringan, sedang atau berat, tergantung dari dampak yang ditimbulkannya. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, terdapat tingkatan sanksi, yakni sanksi ringan dan sanksi berat, namun tidak diklasifikasikan jenis pelanggaran apa yang termasuk dalam tingkatan sanksi yang dikenakan pada hakim yang diduga melakukan pelanggaran seperti yang dicantumkan pada Pasal 21 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, jenis sanksi yang diberikan kepada hakim di bawah Mahkamah Agung lebih bervariasi daripada sanksi yang diberikan kepada hakim di bawah Mahkamah Konstitusi. Misalnya pada sanksi berat, pada Mahkamah Agung, sanksi yang diberikan adalah berupa pembebasan dari jabatan; Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun; penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 3 (tiga) tahun; pemberhentian tetap dengan hak pensiun; dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, sanksi yang diberikan adalah berupa teguran tertulis atau pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Juga pada pemberian sanksi, Mahkamah Agung mempunyai tingkatan sanksi sedang, sedangkan pada Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai tingkatan sanksi sedang.
Perbedaan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi terkait dengan persidangan kode etiknya secara garis besar dapat disebutkan berikut ini:
1.            Sifat persidangan
Di Mahkamah Agung sifat persidangannya adalah terbuka, kecuali persidangannya dinyatakan tertutup oleh majelis. Sedangkan di Mahkamah Konstitusi sifat persidangannya adalah tertutup, kecuali persidangan tersebut ditentukan lain oleh Majelis Kehormatan, namun ada bagian persidangan yang dapat dibuka, yakni dalam membacakan Keputusan Majelis Kehormatan terkait dengan hasil pemeriksaan.
2.            Rangkaian sidang
Rangkaian sidang yang dilakukan pada Mahkamah Konstitusi yang disebut dengan Persidangan Majelis Kehormatan terbagi atas tiga, yakni Sidang Pemeriksaan Pendahuluan; Sidang Pemeriksaan Lanjutan; dan Rapat Pleno Majelis Kehormatan. Jika dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan menghasilkan keputusan bahwa Hakim yang diduga melakukan pelanggaran ringan, maka tidak akan dilanjutkan ke Sidang Pemeriksaan Lanjutan. Sedangkan dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan menghasilkan keputusan bahwa Hakim yang diduga melakukan pelanggaran berat, maka akan dilanjutkan ke Sidang Pemeriksaan Lanjutan. Sedangkan pada Mahkamah Agung, tidak dikenal seperti itu. Jika ada keputusannya, maka sidang dinyatakan selesai.
3.            Putusan sebelum persidangan
Pada Mahkamah Agung, bahwa Tim Pemeriksa bertugas untuk memeriksa hakim yang diindikasikan melakukan pelanggaran kode etik, namun belum dapat memberikan putusan berupa sanksi secara pasti sebelum dilakukan persidangan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim yang menjadi forum untuk melakukan pembelaan dan pemberian putusan. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, Dewan Etik dapat memberikan putusan, baik itu tidak melakukan pelanggaran, melakukan pelanggaran ringan, dan melakukan pelanggaran berat serta telah mendapatkan teguran tiga kali. Khusus melakukan pelanggaran berat dan hakim telah melakukan teguran tiga kali, mereka akan melanjutkan prosesnya dengan melakukan persidangan dan akan diberikan putusannya.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan-pemaparan dan pembahasan-pembahasan dari uraian dalam pembahasan di atas, maka dapat menyimpulkan bahwa:
1.            Tugas dan wewenang hakim di bawah Mahkamah Agung adalah permohonan kasasi; sengketa tentang kewenangan mengadili sesuai Pasal 33 UU MA; permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan Tugas dan wewenang hakim di bawah Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2.            Pada Mahkamah Agung, kode etiknya diatur pada Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pada Mahkamah Konstitusi, kode etiknya diatur pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09 /PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakm Konstitusi. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
3.            Pada Mahkamah Agung, perangkat yang berwenang mengadili hakim yang melanggar kode etik adalah Majelis Kehormatan Hakim sebagai forum untuk pembelaan dan memutuskan hasil sidang dan Tim Pemeriksa sebagai pemeriksa terhadap hakim yang diduga melanggar kode etik. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, perangkat yang berwenang adalah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Etik Hakim Konstitusi, yang mana Dewan Etik melakukan penyelidikan dan memberikan keputusannya. Jika terbukti melakukan pelanggaran berat, maka akan dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan melakukan persidangan dan memberikan hasil putusannya.
4.            Pada Mahkamah Agung, pelanggaran dan sanksinya terbagi tiga tingkatan, yakni ringan, sedang, dan berat, dan persidangannya dilakukan setelah ada hasil pemeriksaan dari Tim Pemeriksa, dan akan diputuskan pada sidang putusan. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, pelanggaran dan sanksinya terbagi atas dua, yakni ringan dan berat, namun pelanggarannya tidak disebutkan jenis-jenis apa yang tergolong pelanggaran ringan maupun berat. Persidangan dilakukan setelah ada putusan dari Dewan Etik yang memutuskan hakim diduga melakukan pelanggaran berat. Rangkaian sidang yang disebut Persidangan Majelis Kehormatan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan, yakni Sidang Pemeriksaan Pendahuluan, Sidang Pemeriksaan Lanjutan dan Rapat Pleno Majelis Kehormatan.

DAFTAR PUSTAKA

INSTRUMEN PERATURAN
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 03/PB/MA/IX/2012 dan 03/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama tentang pemeriksaan terhadap hakim yang melanggar
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

SITUS INTERNET

0 komentar :

Post a Comment