LATAR BELAKANG
Hakim adalah salah satu
pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Tugas hakim adalah
mengkonstatir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus
dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikualifisir,
Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.
Seorang hakim haruslah
independen, tidak memihak kepada siapa pun juga walaupun itu keluarganya, kalau
sudah dalam sidang semuanya diperlakukan sama, juga hakim harus mengetahui apa
saja tugas dan kewenangannya yang sesuai dengan kewenangannya, apakah hakim itu
di bawah Mahkamah Agung atau hakim itu di bawah Mahkamah Konstitusi.
Untuk membedakan itu,
hakim di bawah Mahkamah Agung dan hakim di bawah Mahkamah Konstitusi mempunyai
kode etik sendiri bagaimana supaya dia dapat mengambil sikap. Sampai saat sudah
ada beberapa hakim yang telah melakukan pelanggaran kode etik dan telah
menjalani sidang kode etik yang dilakukan oleh Dewan atau Majelis Kehormatan
Hakim, baik dari Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya
dijatuhi sanksinya.
Sesuai uraian di atas
menjadi latar belakang penulisan makalah ini. Supaya hakim-hakim agar lebih
memperhatikan lagi tugasnya sebagai penegak keadilan di dalam masyarakat
TUGAS DAN WEWENANG
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi yang
pengaturannya terdapat pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan juga masalah
kekuasaan kehakiman yang mana sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, MA dan MK
memegang kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sejajar dengan sejajar pula
dengan lembaga negara lain dari cabang kekuasaan yang berbeda sebagai
konsekuensi dari prinsip supremasi konstitusi dan pemisahan atau pembagian
kekuasaan. Lembaga-lembaga negara lainnya meliputi Presiden, MPR, DPR, DPD dan
BPK. Setiap lembaga negara menjalankan penyelenggaraan negara sebagai
pelaksanaan kedaulatan rakyat berdasarkan dan di bawah naungan konstitusi.
Baik Mahkamah Agung
maupun Mahkamah Konstitusi memiliki tugas dan wewenang yang diberikan kepada
hakim di bawah Mahkamah Agung dan hakim di bawah Mahkamah Konstitusi.
Tugas-tugas dan wewenang-wewenang yang telah diberikan tercantum dalam berbagai
peraturan perundang-undangan dan akan disebutkan di bawah ini.
1.
Mahkamah Agung
Tugas dan wewenang
hakim di bawah Mahkamah Agung terdapat di
Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yakni:
a.
mengadili pada
tingkat kasasi;
b.
menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
c.
mempunyai
kewenangan lain yang diberikan undang-undang.
Selain itu, tugas dan
wewenang dari hakim di bawah Mahkamah Agung diatur pada beberapa undang-undang.
MA bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus (Pasal 28 ayat (1) UU MA):
a.
permohonan
kasasi
Henry
P. Panggabean dalam bukunya yang berjudul Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik
Sehari-hari menjelaskan bahwa peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau
membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan karena dianggap
mengandung kesalahan dalam penerapan hukum. Fungsi dari kasasi itu sendiri
adalah membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua hukum
dan UU di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil (hal. 82).
b.
sengketa tentang
kewenangan mengadili
MA
memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa kewenangan mengadili:
1)
Antara
pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan di lingkungan
peradilan yang lain;
2)
Antara dua
pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang
berlainan dalam lingkungan peradilan yang sama;
3)
Antara dua
pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antar
lingkungan peradilan yang berlainan (Pasal 33 UU MA).
c.
permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap
Permohonan
peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa. Dalam hal ini MA
mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung
ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan hakim (ibid, hal. 110).
d.
pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
(Pasal 31 UU 5/2004).
2.
Mahkamah
Konstitusi
Tugas
dan wewenang hakim di bawah Mahkamah Agung terdapat di Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
yakni:
a.
mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b.
memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
c.
memutus
pembubaran partai politik; dan
d.
memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Di
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, MK berwenang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.
menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.
memutus
pembubaran partai politik; dan
d.
memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Perbedaan yang mendasar
mengenai tugas dan wewenang antara hakim yang ada di bawah Mahkamah Agung
dengan hakim yang ada di bawah Mahkamah Konstitusi adalah Mahkamah Agung
menjadi tempat untuk mengajukan permohonan kasasi dan permohonan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, sedangkan pada Mahkamah Konstitusi tidak mengenal yang disebut dengan
kasasi dan putusan pengadilannya tidak ditinjau kembali karena putusannya yang bersifat
final dan mengikat, yang di sini adalah dibutuhkan kepastian hukum yang
pastinya hasilnya berpengaruh besar kepada masyarakat Indonesia.
Selain itu, pada
Mahkamah Agung, yang menjadi objek pengadilannya adalah menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, yang menjadi objek pengadilannya adalah menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi telah didaulat
untuk mengadili adanya ketidaksesuaian dari undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, sehingga masalah adanya permasalahan peraturan
perundang-undangan yang lain seperti Peraturan Daerah terhadap undang-undang,
maka Mahkamah Agung telah didaulat untuk mengadili masalah tersebut.
Selain di atas,
masing-masing baik Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki kekhususan
terhadap peradilannya, dan telah diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi penyelewengan
kewenangan dan tidak melakukan peradilan yang bukan kewenangannya.
PENGATURAN KODE
ETIK
Masing-masing lembaga peradilan, baik Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi memiliki kode etik yang mengatur setiap hakim, baik hakim
di bawah Mahkamah Agung maupun hakim di bawah Mahkamah Konstitusi. Berikut
adalah kode etik yang diberlakukan dan digunakan:
1.
Mahkamah Agung
Kode Etik
Mahkamah Agung dimuat dalam Peraturan
Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik
Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Yang dimaksud dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah
panduan keutamaan moral bagi setiap hakim, baik di dalam maupun di luar
kedinasan sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tanggal 8 April 2009 tentang Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim.
Untuk mendukung berfungsinya kode
etiknya, kemudian diatur Peraturan
Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia
Nomor: 03/PB/MA/IX/2012 dan 03/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Bersama tentang pemeriksaan terhadap hakim yang melanggar dan Peraturan Bersama
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata
Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim sebagai
forum untuk pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil pemeriksaan dari Tim
Pemeriksa dinyatakan terbukti melanggar dan pemberian sanksi bagi hakim yang
melanggar.
2.
Mahkamah Konstitusi
Kode Etik
Mahkamah Agung dimuat dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan
Perilaku Hakm Konstitusi. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, selanjutnya
disebut Kode Etik Hakim Konstitusi, adalah panduan moral dan etik bagi setiap
Hakim Konstitusi, baik dalam menjalankan tugas konstitusionalnya maupun dalam
pergaulan di masyarakat.
Untuk mendukung
dilaksanakannya kode etik tersebut, diberlakukannya Peraturan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi yang berisi sanksi dan persidangan terhadap hakim yang
diduga melanggar.
DEWAN/MAJELIS
KEHORMATAN HAKIM
Masing-masing lembaga peradilan, baik Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi memiliki Dewan atau Majelis Kehormatan Hakim yang menangani
masalah pelanggaran kode etik yang dilanggari oleh hakim. Berikut adalah
penjelasannya:
1.
Mahkamah Agung
Pada
Mahkamah Agung, dalam mengadili masalah pelanggaran kode etik hakim, telah
dibentuk Majelis Kehormatan Hakim yang diatur pada Peraturan Bersama Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata
Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
Majelis
Kehormatan Hakim adalah forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil
pemeriksaan dari Tim Pemeriksa dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana
di atur dalam peraturan perundang-undangan, serta diusulkan untuk dijatuhi
sanksi berat berupa pemberhentian. Menurut Pasal 2, Majelis tersebut juga
dibentuk bersifat tidak tetap dan akan dibentuk dengan penetapan bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial paling lama 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian dari Mahkamah
Agung atau Komisi Yudisial.
Pada
Pasal 3 Peraturan Bersama Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata
Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim, keanggotaan dari Majelis Kehormatan Hakim
terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim
Agung dan 4 (empat) orang Anggota Komisi Yudisial.
Majelis
Kehormatan Hakim dibentuk bukan sebagai anggota Tim Pemeriksa yang melakukan
pemeriksaan langsung terhadap dugaan pelanggaran, dan diatur pada Peraturan
Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia
Nomor: 03/PB/MA/IX/2012 dan 03/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Bersama. Tim Pemeriksa adalah tim gabungan yang dibentuk bersama oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pemeriksaan bersama guna mendapatkan
keyakinan terbukti atau tidaknya suatu pelanggaran. Susunannya terdiri dari 4
orang anggota, masing-masing 2 orang dari Mahkamah Agung dan 2 orang dari
Komisi Yudisial, dan mereka dibantu oleh 2 orang sekretaris, masing-masing 1
orang dari Mahkamah Agung dan 1 orang dari Komisi Yudisial.
Majelis
Kehormatan Hakim dibantu oleh seorang Sekretaris yang ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Agung atau Ketua Komisi Yudisial. Sekretaris Majelis Kehormatan Hakim
bertugas mencatat jalannya persidangan dan membuat berita acara persidangan.
Dalam
hal usulan penjatuhan sanksi berasal dari Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Agung
menunjuk salah seorang Hakim Agung sebagai Ketua Majelis Kehormatan Hakim dan
satu orang pegawai Badan Pengawasan Mahkamah Agung sebagai Sekretaris Majelis
Kehormatan Hakim. Dalam hal usulan penjatuhan sanksi berasal dan Komisi
Yudisial, Ketua Komisi Yudisial menunjuk salah seorang Anggota Komisi Yudisial
sebagai Ketua Majelis Kehormatan Hakim dan satu orang pegawai Komisi Yudisial
sebagai Sekretaris Majelis Kehormatan Hakim. Majelis Kehormatan Hakim
ditetapkan dalam penetapan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi
Yudisial.
Dalam
hal terdapat Anggota Majelis Kehormatan Hakim yang mengundurkan diri,
berhalangan sementara atau berhalangan tetap, maka Pimpinan Mahkamah Agung RI
atau Ketua Komisi Yudisial RI segera menunjuk penggantinya sesuai dengan asal
lembaga anggota majelis tersebut.
2.
Mahkamah
Konstitusi
Pada
Mahkamah Konstitusi, dalam penyelesaian dalam masalah pelanggaran kode etik,
ada dua perangkat yang dibentuk, yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
dan Dewan Etik Hakim Konstitusi yang keduanya berdasarkan Peraturan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi, dan memiliki tugas dan wewenangnya.
a.
Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi, selanjutnya disebut Majelis Kehormatan, adalah
perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan
mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik.
Keanggotaan
Majelis Kehormatan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah
Konstitusi berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas unsur:
1)
1 (satu) orang
Hakim Konstitusi, yang dipilih dalam Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup;
2)
1 (satu) orang
anggota Komisi Yudisial, yang ditugaskan oleh Komisi Yudisial sesuai dengan
permintaan Mahkamah Konstitusi;
3)
1 (satu) orang
mantan Hakim Konstitusi, yang ditentukan oleh Rapat Pleno Hakim yang bersifat
tertutup;
4)
1 (satu) orang
Guru Besar dalam bidang hukum, yang ditentukan oleh Rapat Pleno Hakim yang bersifat
tertutup; dan
5)
1 (satu) orang
tokoh masyarakat yang ditentukan oleh Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup.
Syarat-syarat yang
dibutuhkan agar dapat menjadi Keanggotaan Majelis Kehormatan adalah sebagai
berikut:
1)
jujur, adil, dan
tidak memihak;
2)
berusia paling
rendah 60 (enam puluh) tahun untuk anggota Majelis Kehormatan;
3)
berwawasan luas
dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim; dan
4)
memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
Keanggotaan Majelis
Kehormatan tersebut kemudian disusun menjadi Susunan Majelis Kehormatan yang
terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota, 1 (satu) orang Sekretaris
merangkap anggota, dan 3 (tiga) orang anggota, yang mana Ketua dan Sekretaris
Majelis Kehormatan dipilih dari dan oleh anggota, dan susunannya ditetapkan
dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi. Majelis Kehormatan dibantu oleh
sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Majelis Kehormatan
mempunyai tugas:
1)
melakukan
pengolahan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan oleh Dewan Etik
mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah
mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali;
2)
menyampaikan
Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi.
Untuk melaksanakan
tugas tersebut, Majelis Kehormatan mempunyai wewenang:
1)
memanggil dan
memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diajukan oleh Dewan Etik untuk
memberikan penjelasan dan pembelaan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat
bukti lain;
2)
memanggil dan
meminta keterangan pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang terkait dengan
dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau alat bukti
lain; dan
3)
menjatuhkan
keputusan berupa sanksi atau rehabilitasi.
b.
Dewan Etik Hakim
Konstitusi
Dewan
Etik Hakim Konstitusi, selanjutnya disebut Dewan Etik, adalah perangkat yang
dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan dan
informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga yang disampaikan oleh masyarakat dan bersifat tetap.
Keanggotaan
Dewan Etik ditetapkan dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi dan berjumlah
3 (tiga) orang yang terdiri atas unsur:
1)
1 (satu) orang
mantan Hakim Konstitusi;
2)
1 (satu) orang
Guru Besar dalam bidang hukum; dan
3)
1 (satu) orang
tokoh masyarakat.
Syarat-syarat yang
dibutuhkan agar dapat menjadi Keanggotaan Majelis Kehormatan adalah sebagai
berikut:
1)
jujur, adil, dan
tidak memihak;
2)
berusia paling
rendah 60 (enam puluh) tahun;
3)
berwawasan luas
dalam bidang etika, moral, dan profesi hakim; dan
4)
memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela.
Dewan
Etik dipimpin oleh Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Dewan Etik, dan Dewan
Etik dibantu oleh sekretariat yang ditetapkan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah
Konstitusi. Masa jabatan anggota Dewan Etik selama 3 (tiga) tahun dan tidak
dapat dipilih kembali.
Dewan
Etik mempunyai tugas:
1)
melakukan
pengumpulan, pengolahan dan penelaahan laporan dan/ atau informasi tentang
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi, yakni:
a)
melakukan
perbuatan tercela;
b)
tidak menghadiri
persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c)
melanggar sumpah
atau janji jabatan;
d)
dengan sengaja
menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
e)
melanggar Kode
Etik Hakim Konstitusi sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi,
yakni:
-
prinsip
independensi
-
prinsip
ketakberpihakan
-
prinsip
integritas
-
prinsip
kepantasan dan kesopanan
-
prinsip
kesetaraan
-
prinsip
kecakapan dan keseksamaan
-
prinsip kearifan
dan kebijaksanaan
f)
melanggar larangan
sebagai Hakim Konstitusi:
-
merangkap
jabatan sebagai pejabat negara lainnya, anggota partai politik, pengusaha,
advokat, atau pegawai negeri;
-
menerima suatu
pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak
langsung;
-
mengeluarkan
pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas suatu perkara yang sedang
ditanganinya mendahului putusan; dan/atau
g)
tidak
melaksanakan kewajiban sebagai Hakim Konstitusi:
-
menjalankan
hukum acara sebagaimana mestinya;
-
memperlakukan
para pihak yang berperkara dengan adil, tidak diskriminatif, dan tidak memihak;
dan
-
menjatuhkan
putusan secara objektif didasarkan pada fakta dan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan.
2)
menyampaikan
laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap tahun kepada Mahkamah
Konstitusi.
Untuk
melaksanakan tugas tersebut, Dewan Etik mempunyai wewenang:
1)
memberikan
pendapat secara tertulis atas pertanyaan Hakim Konstitusi mengenai suatu
perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan di
atas;
2)
memanggil dan
memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan di atas untuk memberikan penjelasan dan pembelaan, termasuk
untuk dimintai dokumen atau alat bukti lain;
3)
memanggil dan
meminta keterangan pelapor, saksi dan/atau pihak lain yang terkait dengan
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
terhadap ketentuan di atas, termasuk meminta dokumen atau alat bukti lain;
4)
menjatuhkan
sanksi berupa teguran lisan kepada Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang
terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan di atas;
5)
mengusulkan
pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan pelanggaran berat
terhadap ketentuan di atas dan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap
Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan dan/
atau tertulis sebanyak 3 (tiga) kali; dan
6)
mengusulkan
pembebastugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang diduga telah melakukan
pelanggaran berat terhadap ketentuan di atas dan Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga yang telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali.
Perbedaan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah
Konstitusi terkait dengan dewan atau majelis kehormatan hakim, yakni perangkat
yang dibentuk dalam menangani masalah pelanggaran kode etik yang dilanggari
oleh hakim di bawah Mahkamah Agung adalah Majelis Kehormatan Hakim, yang
bertugas sebagai forum pembelaan diri bagi hakim yang berdasarkan hasil
pemeriksaan dari Tim Pemeriksa dinyatakan terbukti melanggar ketentuan
sebagaimana di atur dalam peraturan perundang-undangan, serta diusulkan untuk
dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian. yang keanggotaan terdiri atas 3
(tiga) orang Hakim Agung dan 4 (empat) orang Anggota Komisi Yudisial, dan
mereka dibentuk bukan sebagai anggota Tim Pemeriksa yang melakukan pemeriksaan
langsung terhadap dugaan pelanggaran, serta bersifat tidak tetap. Tim Pemeriksa
sendiri adalah tim gabungan yang dibentuk bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial untuk melakukan pemeriksaan bersama guna mendapatkan keyakinan
terbukti atau tidaknya suatu pelanggaran dengan susunan anggota terdiri dari 4
orang anggota, masing-masing 2 orang dari Mahkamah Agung dan 2 orang dari
Komisi Yudisial, dan mereka dibantu oleh 2 orang sekretaris, masing-masing 1
orang dari Mahkamah Agung dan 1 orang dari Komisi Yudisial.
Sedangkan pada Mahkamah Yudisial, terdapat dua
perangkat yang dibentuk, yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan Dewan
Etik Hakim Konstitusi. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini memiliki
tugas melakukan pengolahan dan penelaahan terhadap laporan yang diajukan oleh
Dewan Etik mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga, serta mengenai Hakim Terlapor atau Hakim Terduga yang telah
mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali; dan menyampaikan Keputusan
Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi. Majelis memiliki Susunan Majelis
Kehormatan yang terdiri atas 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota, 1 (satu)
orang Sekretaris merangkap anggota, dan 3 (tiga) orang anggota dengan komposisi
1 (satu) orang Hakim Konstitusi, 1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial, 1
(satu) orang mantan Hakim Konstitusi, 1 (satu) orang Guru Besar dalam bidang
hukum, yang ditentukan oleh Rapat Pleno Hakim yang bersifat tertutup; dan 1
(satu) orang tokoh masyarakat. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi hanya
dibentuk jika ada usulan dari Dewan Etik Hakim Konstitusi sehingga Majelis ini
tidak tetap. Sedangkan Dewan Etik Hakim Konstitusi adalah Dewan yang bertugas
melakukan pengumpulan, pengolahan dan penelaahan laporan dan/ atau informasi
tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi; dan
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara tertulis setiap tahun kepada
Mahkamah Konstitusi. Dewan ini memiliki Keanggotaan Dewan Etik ditetapkan
dengan Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi dan berjumlah 3 (tiga) orang yang
terdiri atas unsur 1 (satu) orang mantan Hakim Konstitusi; 1 (satu) orang Guru
Besar dalam bidang hukum; dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat, dan bersifat
tetap dengan masa jabatan anggota Dewan Etik selama 3 (tiga) tahun dan tidak
dapat dipilih kembali.
SANKSI DAN
PERSIDANGAN KODE ETIK
Setiap hakim yang melanggar, baik itu hakim di bawah
Mahkamah Agung dan hakim di bawah Mahkamah Konstitusi diberikan sanksi sesuai
dengan pelanggaran yang telah dilanggarnya. Selain itu juga, hakim yang diduga
melanggar kode etik harus melakukan persidangan agar membuktikan apakah hakim
yang diduga tersebut terbukti melanggar atau tidak. Berikut adalah
penjelasannya:
1.
Mahkamah Agung
Sanksi
yang dijatuhkan kepada hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung terdapat pada
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial
Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang
Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Di
Pasal 19, sanksinya terbagi atas tiga jenis, yakni sanksi ringan, sanksi sedang
dan sanksi berat. Sanksi-sanksi tersebut diberikan sesuai dengan pelanggaran
yang dilakukan sesuai dengan Pasal 18. Berikut adalah pelanggaran dan
sanksinya:
a.
Sanksi ringan
Sanksi
ringan diberikan kepada para pelanggar yang melakukan pelanggaran ringan, yakni
pada Pasal 6 ayat (2) huruf b dan c;
Pasal 7 ayat (2) huruf a, b dan c; Pasal 7 ayat (3) huruf c, g, h dan k; Pasal
8 ayat (2) huruf b dan c; Pasal 9 ayat (4) huruf c, d dan e; Pasal 9 ayat (5)
huruf g, h, k, l dan m; Pasal 11 ayat (4) huruf d, e dan f; dan Pasal 13 ayat
(1), (2), (3) dan (4). Sanksi yang diberikan adalah berupa teguran lisan;
teguran tertulis; pernyataan tidak puas secara tertulis.
b.
Sanksi sedang
Sanksi
sedang diberikan kepada para pelanggar yang melakukan pelanggaran sedang, yakni
pada Pasal 5 ayat (3) huruf a dan e; Pasal 6 ayat (2) huruf d dan e; Pasal 6
ayat (3) huruf a dan b; Pasal 7 ayat (3) huruf b, e, f dan j; Pasal 9 ayat (4)
huruf b dan g; Pasal 9 ayat (5) huruf a, d dan j; Pasal 11 ayat (3) huruf b; dan
Pasal 11 ayat (4) huruf c. Sanksi yang diberikan adalah berupa penundaan
kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; penurunan gaji sebesar 1
(satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; penundaan
kenaikan pangkat paling lama 1 (satu) tahun; Hakim nonpalu paling lama 6 (enam)
bulan; mutasi ke pengadilan lain dengan kelas yang lebih rendah; dan pembatalan
atau penangguhan promosi.
c.
Sanksi berat
Sanksi
berat diberikan kepada para pelanggar yang melakukan pelanggaran berat, yakni
pada Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, c, d, e dan f; Pasal 5 ayat (3) huruf b, c
dan d; Pasal 6 ayat (2) huruf a; Pasal 7 ayat (3) huruf a, d dan i; Pasal 8
ayat (2) huruf b; Pasal 9 ayat (4) huruf a dan f; Pasal 9 ayat (5) huruf b, c,
e, f dan i; Pasal 10 ayat (2) huruf a dan b; Pasal 11 ayat (3) huruf a; dan Pasal
11 ayat (4) huruf b, d dan g. Sanksi yang diberikan adalah berupa pembebasan
dari jabatan; Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua)
tahun; penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling
lama 3 (tiga) tahun; pemberhentian tetap dengan hak pensiun; dan pemberhentian
tidak dengan hormat.
d.
Pelanggaran
terhadap Pasal 12 dan Pasal 14 dapat diklasifikasikan pelanggaran ringan,
sedang atau berat, tergantung dari dampak yang ditimbulkannya.
Selain sanksi-sanksi di
atas, terhadap hakim yang diusulkan untuk dijatuhi pemberhentian tetap dan
pembelaan dirinya telah ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim, dikenakan
pemberhentian sementara berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Tingkat dan jenis
sanksi yang dijatuhkan terhadap hakim yang terbukti melakukan pelanggaran
berdasarkan tingkat dan jenis pelanggaran di atas dapat disimpangi dengan
mempertimbangkan latar belakang, tingkat keseriusan, dan/atau akibat dari
pelanggaran tersebut.
Sanksi-sanksi di atas berlaku
untuk hakim karier pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat
banding. Sedangkan terhadap hakim di lingkungan peradilan militer, proses
penjatuhan sanksi diberikan dengan memperhatikan peraturan disiplin yang
berlaku bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia.
Khusus untuk tingkat
dan jenis sanksi yang berlaku bagi hakim ad
hoc, terdiri atas sanksi ringan berupa teguran tertulis; sanksi sedang
berupa nonpalu paling lama 6 (enam) bulan; dan sanksi berat berupa pemberhentian
dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatan hakim. Sedangkan tingkat
dan jenis sanksi yang berlaku bagi Hakim Agung, terdiri atas sanksi ringan
berupa teguran tertulis; sanksi sedang berupa nonpalu paling lama 6 (enam)
bulan; dan sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat atau tidak dengan
hormat dari jabatan hakim.
Untuk menindaklanjuti
terkait dengan itu, dilakukanlah persidangan yang dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Hakim sesuai dengan Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia
dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012
tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis
Kehormatan Hakim. di gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. Majelis
Kehormatan Hakim melakukan pemeriksaan usul pemberhentian paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pembentukan Majelis Kehormatan Hakim.
Setelah Majelis Kehormatan Hakim ditetapkan, Ketua Majelis Kehormatan Hakim menetapkan
hari sidang dan memerintahkan Sekretariat Majelis Kehormatan Hakim untuk memanggil
Terlapor.
Panggilan kepada
Terlapor disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari sidang
melalui Pimpinan Pengadilan tempat Terlapor bertugas dengan menggunakan faksimile
atau alat komunikasi lain yang tercatat dan wajib menyampaikan panggilan kepada
Terlapor pada hari diterimanya panggilan tersebut dan mengirim kembali risalah
panggilan yang telah ditandatangani oleh Terlapor pada hari itu juga kepada Sekretariat
Majelis Kehormatan Hakim menggunakan faksimile atau alat komunikasi lain yang
tercatat.
Dalam hal Pimpinan
Pengadilan tidak dapat menyampaikan panggilan kepada Terlapor oleh karena
Terlapor tidak berada di tempat, Ketua Pengadilan melaporkan kepada Sekretariat
Majelis Kehormatan Hakim mengenai hal tersebut dengan memberikan keterangan
mengenai ketidakberadaan Terlapor. Dalam hal ketidakberadaan Terlapor karena
alasan yang sah, maka waktu ketidakberadaan Terlapor atas alasan yang sah
tersebut tidak diperhitungkan sebagai tenggang waktu pemeriksaan.
Sidang majelis
kehormatan hakim bersifat terbuka untuk umum kecuali dinyatakan tertutup oleh
majelis. Jika dalam sidang pertama Terlapor tidak hadir tanpa alasan yang sah,
maka sidang ditunda paling lama 5 (lima) hari kerja untuk memanggil kembali
Terlapor. Dan pada sidang kedua Terlapor kembali tidak hadir tanpa alasan yang
sah, maka Terlapor dianggap tidak menggunakan haknya untuk membela diri, dan
Majelis Kehormatan Hakim menjatuhkan keputusan tanpa kehadiran Terlapor. Jika dalam
hal ketidakhadiran Terlapor di sidang Majelis Kehormatan Hakim tersebut disebabkan
alasan yang sah, maka Majelis Kehormatan Hakim menunda sidang dan masa
penundaan tersebut tidak diperhitungkan dalam jangka waktu pemeriksaan.
Ketua Majelis
Kehormatan Hakim menanyakan identitas Terlapor, menjelaskan pokok-pokok hasil
pemeriksaan dari Tim Pemeriksa, dan mempersilakan Terlapor untuk mengajukan
pembelaan diri. Terlapor sendiri dapat didampingi oleh Tim pembela dari
organisasi profesi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Majelis Kehormatan Hakim
harus memberikan kesempatan yang cukup pada Terlapor untuk membela diri, baik
secara lisan maupun tertulis. Selain itu, Terlapor dapat mengajukan saksi-saksi
dan bukti-bukti lain untuk mendukung pembelaan diri.
Dalam hal pemeriksaan
dipandang cukup, maka Ketua Majelis Kehormatan Hakim menyatakan pemeriksaan
selesai dan selanjutnya sidang diskors untuk memberi kesempatan kepada Majelis Kehormatan
Hakim bermusyawarah. Dalam hal Majelis Kehormatan Hakim harus menunda
persidangan karena pemeriksaan dinilai belum cukup, atau karena alasan lainnya yang
sah, maka penundaan sidang tersebut harus mempertimbangkan jangka waktu
pemeriksaan. Dalam hal musyawarah telah
selesai, Ketua Majelis Kehormatan Hakim menyatakan skorsing dicabut dan sidang
dibuka kembali.
Terlapor dipanggil
untuk masuk dan menghadap Majelis Kehormatan Hakim di dalam ruangan
persidangan. Ketua Majelis Kehormatan Hakim membacakan keputusan Majelis
Kehormatan Hakim. Berita Acara Pemeriksaan dan keputusan Majelis Kehormatan
Hakim ditandatangani oleh Majelis Kehormatan Hakim dan Sekretaris.
Sekretaris Majelis
Kehormatan Hakim menyelesaikan minutasi berkas sidang Majelis Kehormatan Hakim
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak
pembacaan keputusan Majelis Kehormatan Hakim.
Setelah dilakukan pengambilan
Keputusan Majelis Kehormatan Hakim secara musyawarah mufakat atau dengan suara
terbanyak, pada sidang berikutnya, Majelis Kehormatan Hakim membacakan
keputusan yang terdiri dari irah-irah keputusan, dengan bunyi "Demi Kehormatan,
Keluhuran Martabat, serta Perilaku Hakim berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa"; identitas Terlapor; duduk permasalahan; pembelaan diri Terlapor;
pertimbangan hukum; hingga amar keputusan. Keputusan Majelis Kehormatan Hakim
bersifat mengikat dan tidak dapat diajukan keberatan.
2.
Mahkamah
Konstitusi
Sanksi
yang dijatuhkan kepada hakim yang berada di bawah Mahkamah Konstitusi terdapat
pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Rapat
Dewan Etik menghasilkan kesimpulan Dewan Etik yang menyatakan bahwa:
a.
tidak terdapat
pelanggaran terhadap ketentuan di atas yang diduga dilakukan oleh Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga, dan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
Dewan Etik;
b.
terdapat
pelanggaran ringan terhadap ketentuan di atas yang dilakukan oleh Hakim
Terlapor atau Hakim Terduga, yakni Dewan Etik mengambil keputusan untuk
menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan dituangkan dalam Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik kemudian disampaikan kepada Ketua atau W akil Ketua
Mahkamah Konstitusi dan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) hari kerja sejak Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik
ditandatangani.
c.
terdapat dugaan
pelanggaran berat terhadap ketentuan di atas yang dilakukan oleh Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga; atau
d.
Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga telah mendapatkan teguran lisan sebanyak 3 (tiga) kali.
Khusus untuk terdapat
dugaan pelanggaran berat atau telah mendapatkan teguran lisan 3 (tiga kali), Dewan
Etik mengambil keputusan yang menyatakan bahwa Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga diduga melakukan pelanggaran berat dan dituangkan dalam Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik. Berita Acara Pemeriksaan Dewan Etik tersebut
disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi dan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja sejak Berita Acara
Pemeriksaan Dewan Etik ditandatangani. Penyampaian Berita Acara Pemeriksaan
Dewan Etik tersebut disertai dengan usul pembentukan Majelis Kehormatan dan
pembebastugasan Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, dan dapat ditetapkan dengan
Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat kemudian melakukan Persidangan
Majelis Kehormatan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan. Pada Sidang
Pemeriksaan Pendahuluan yang tertutup secara umum, dilakukan mendengarkan
keterangan Dewan Etik; mendengarkan keterangan pelapor; memeriksa alat bukti;
dan/atau mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga.
Setelah Sidang
Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan menghasilkan kesimpulan Majelis Kehormatan
yang menyatakan bahwa:
a.
Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan merehabilitasi yang
bersangkutan;
b.
Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, dan dijatuhkan sanksi
terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga berupa teguran lisan; atau
c.
Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat. Majelis Kehormatan mengambil keputusan
melanjutkan pemeriksaan terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga dalam Sidang
Pemeriksaan Lanjutan disertai rekomendasi pemberhentian sementara.
Setelah dilakukan
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan, Hakim Terlapor atau Hakim Terduga diperiksa
pada Sidang Pemeriksaan Lanjutan yang tertutup secara umum, kecuali ditentukan
lain oleh Majelis Kehormatan, dan terbuka untuk umum dalam membacakan Keputusan
Majelis Kehormatan terkait dengan hasil pemeriksaan.
Dalam sidang tersebut dilakukan
mendengarkan keterangan Dewan Etik; mendengarkan keterangan pelapor; memeriksa
alat bukti; dan mendengarkan penjelasan dan pembelaan Hakim Terlapor atau Hakim
Terduga.
Setelah Sidang
Pemeriksaan Lanjutan dilakukan menghasilkan kesimpulan Majelis Kehormatan yang
menyatakan bahwa:
a.
Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga tidak terbukti melakukan pelanggaran dan merehabilitasi yang
bersangkutan;
b.
Hakim Terlapor atau
Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran ringan, dan dijatuhkan sanksi
terhadap Hakim Terlapor atau Hakim Terduga berupa teguran lisan; atau
c.
Hakim Terlapor
atau Hakim Terduga diduga melakukan pelanggaran berat. Keputusan Majelis Kehormatan
memuat penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis atau pemberhentian tidak
dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga.
Setelah Sidang Pemeriksaan Lanjutan, dilakukan Rapat
Pleno Majelis Kehormatan secara tertutup untuk umum dilaksanakan untuk
mengambil keputusan Majelis Kehormatan terkait dengan hasil Persidangan Majelis
Kehormatan.
Perbedaan
antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi terkait dengan sanksinya
adalah bahwa sanksi yang diatur pada Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan
02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim, telah diklasifikasikan mengenai jenis dan tingkat sanksi terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh hakim yang diduga melanggar, yakni jika
melakukan pelanggaran ringan, maka akan mendapatkan sanksi ringan, begitu pula
bagi pelanggaran dan sanksi sedang maupun berat, walaupun ada yang tidak
diklasifikasikan jenis dan tingkat sanksi seperti pada Pelanggaran terhadap Pasal
12 dan Pasal 14 dapat diklasifikasikan pelanggaran ringan, sedang atau berat,
tergantung dari dampak yang ditimbulkannya. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi,
terdapat tingkatan sanksi, yakni sanksi ringan dan sanksi berat, namun tidak
diklasifikasikan jenis pelanggaran apa yang termasuk dalam tingkatan sanksi
yang dikenakan pada hakim yang diduga melakukan pelanggaran seperti yang
dicantumkan pada Pasal 21 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Selain
itu, jenis sanksi yang diberikan kepada hakim di bawah Mahkamah Agung lebih
bervariasi daripada sanksi yang diberikan kepada hakim di bawah Mahkamah
Konstitusi. Misalnya pada sanksi berat, pada Mahkamah Agung, sanksi yang diberikan
adalah berupa pembebasan dari jabatan; Hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan
dan paling lama 2 (dua) tahun; penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat
lebih rendah untuk paling lama 3 (tiga) tahun; pemberhentian tetap dengan hak
pensiun; dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sedangkan pada Mahkamah
Konstitusi, sanksi yang diberikan adalah berupa teguran tertulis atau
pemberhentian tidak dengan hormat Hakim Terlapor atau Hakim Terduga. Juga pada
pemberian sanksi, Mahkamah Agung mempunyai tingkatan sanksi sedang, sedangkan
pada Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai tingkatan sanksi sedang.
Perbedaan
antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi terkait dengan persidangan
kode etiknya secara garis besar dapat disebutkan berikut ini:
1.
Sifat persidangan
Di
Mahkamah Agung sifat persidangannya adalah terbuka, kecuali persidangannya dinyatakan
tertutup oleh majelis. Sedangkan di Mahkamah Konstitusi sifat persidangannya
adalah tertutup, kecuali persidangan tersebut ditentukan lain oleh Majelis
Kehormatan, namun ada bagian persidangan yang dapat dibuka, yakni dalam
membacakan Keputusan Majelis Kehormatan terkait dengan hasil pemeriksaan.
2.
Rangkaian sidang
Rangkaian sidang yang dilakukan
pada Mahkamah Konstitusi yang disebut dengan Persidangan Majelis Kehormatan
terbagi atas tiga, yakni Sidang Pemeriksaan Pendahuluan; Sidang Pemeriksaan
Lanjutan; dan Rapat Pleno Majelis Kehormatan. Jika dalam Sidang Pemeriksaan
Pendahuluan menghasilkan keputusan bahwa Hakim yang diduga melakukan
pelanggaran ringan, maka tidak akan dilanjutkan ke Sidang Pemeriksaan Lanjutan.
Sedangkan dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan menghasilkan keputusan bahwa
Hakim yang diduga melakukan pelanggaran berat, maka akan dilanjutkan ke Sidang
Pemeriksaan Lanjutan. Sedangkan pada Mahkamah Agung, tidak dikenal seperti itu.
Jika ada keputusannya, maka sidang dinyatakan selesai.
3.
Putusan sebelum persidangan
Pada Mahkamah Agung, bahwa Tim Pemeriksa bertugas
untuk memeriksa hakim yang diindikasikan melakukan pelanggaran kode etik, namun
belum dapat memberikan putusan berupa sanksi secara pasti sebelum dilakukan
persidangan yang dilakukan oleh Majelis
Kehormatan Hakim yang menjadi forum untuk melakukan pembelaan dan pemberian
putusan. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, Dewan Etik dapat memberikan
putusan, baik itu tidak melakukan pelanggaran, melakukan pelanggaran ringan,
dan melakukan pelanggaran berat serta telah mendapatkan teguran tiga kali.
Khusus melakukan pelanggaran berat dan hakim telah melakukan teguran tiga kali,
mereka akan melanjutkan prosesnya dengan melakukan persidangan dan akan
diberikan putusannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil pemaparan-pemaparan dan pembahasan-pembahasan dari uraian dalam
pembahasan di atas, maka dapat menyimpulkan bahwa:
1.
Tugas dan wewenang hakim di bawah Mahkamah Agung adalah
permohonan kasasi; sengketa tentang kewenangan mengadili sesuai Pasal 33 UU MA;
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap; dan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang. Sedangkan Tugas dan wewenang hakim di bawah Mahkamah
Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum.
2.
Pada Mahkamah Agung, kode etiknya diatur pada Peraturan
Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik
Indonesia Nomor: 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pada Mahkamah Konstitusi, kode
etiknya diatur pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09 /PMK/2006 tentang
Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakm Konstitusi. Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
3.
Pada Mahkamah Agung, perangkat yang berwenang mengadili
hakim yang melanggar kode etik adalah Majelis Kehormatan Hakim sebagai forum
untuk pembelaan dan memutuskan hasil sidang dan Tim Pemeriksa sebagai pemeriksa
terhadap hakim yang diduga melanggar kode etik. Sedangkan pada Mahkamah
Konstitusi, perangkat yang berwenang adalah Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi dan Dewan Etik Hakim Konstitusi, yang mana Dewan Etik melakukan
penyelidikan dan memberikan keputusannya. Jika terbukti melakukan pelanggaran
berat, maka akan dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan melakukan
persidangan dan memberikan hasil putusannya.
4.
Pada Mahkamah Agung, pelanggaran dan sanksinya terbagi
tiga tingkatan, yakni ringan, sedang, dan berat, dan persidangannya dilakukan
setelah ada hasil pemeriksaan dari Tim Pemeriksa, dan akan diputuskan pada sidang
putusan. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, pelanggaran dan sanksinya terbagi
atas dua, yakni ringan dan berat, namun pelanggarannya tidak disebutkan
jenis-jenis apa yang tergolong pelanggaran ringan maupun berat. Persidangan
dilakukan setelah ada putusan dari Dewan Etik yang memutuskan hakim diduga
melakukan pelanggaran berat. Rangkaian sidang yang disebut Persidangan Majelis
Kehormatan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan, yakni Sidang Pemeriksaan
Pendahuluan, Sidang Pemeriksaan Lanjutan dan Rapat Pleno Majelis Kehormatan.
DAFTAR PUSTAKA
INSTRUMEN
PERATURAN
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Peraturan Bersama Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim
Peraturan Bersama Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
03/PB/MA/IX/2012 dan 03/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bersama
tentang pemeriksaan terhadap hakim yang melanggar
Peraturan Bersama Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor:
04/PB/MA/IX/2012 dan 04/PB/P.KY/09/2012 tentang Tata Cara Pembentukan, Tata
Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim
Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor: 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi
Peraturan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi
SITUS
INTERNET
felicia2505site.wordpress.com/2013/10/17/tugas-wewenang-ma-mk-ky/
(diakses pada tanggal 23 April 2015)
hukumonline.com/klinik/detail/lt518228f47a2e9/perbedaan-mahkamah-agung-dengan-mahkamah-konstitusi
(diakses pada tanggal 23 April 2015)
korydiana.blogspot.com/2014/12/tugas-dan-wewenang-presiden-wapres-mpr.html
(diakses pada tanggal 23 April 2015)
materimahasiswahukumindonesia.blogspot.com/2015/01/persamaan-dan-perbedaan-mahkamah.html
(diakses pada tanggal 23 April 2015)